DINAMIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA PI POL PEM DINAMIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
PEMERINTAHAN DI MASA KOLONIAL HINDIA BELANDA Di bawah 3 peraturan, Yaitu: Reglement op het beleid der regering van nederlandzch indie ( STB 1855/2): Konsep sentralisasi, namun asas dekonsentrasi juga diterapkan sehingga saat itu telah terbentuk pula daerah2 administrative Wet houdende decentralisatie van her bestuur in nederlands indie ( S 1903/329 ): Asas desentralisasi mulai diterapkan, terbentuklah daerah2 otonom meski kekuasaan masih terbatas Bestuurshervormings ordonantie ( STB 1922/216 ): Undang-undang tentang perubahan tata pemerintahan. Selain desentralisasi, dekonsentrasi juga digunakan
PEMERINTAHAN DI MASA PENDUDUKAN JEPANG Perkembangan pemerintahan di masa pendudukan Jepang bersifat sentralistik, dekonsentrasi dan militerisitik Jepang membagi bekas wilayah Hindia Belanda ke dalam 3 daerah pemerintahan yaitu: Pemerintahan militer AD berkedudukan di Jakarta untuk wilayah Jawa dan Madura, Pemerintahan militer AD berkedudukan di Bukittinggi untuk wilayah Sumatra, Pemerintahan militer AL berkedudukan di Makassar untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat
PEMERINTAHAN PASCA KEMERDEKAAN ( ORDE LAMA ) UU no 1/1945: Setting sosial politik merupakan transisi dari kolonialisme menuju kemerdekaan. Dibentuk 8 Provinsi yang dikepalai oleh Gubernur dan Karesidenan yang dikepalai Residen ( Dibantu KND ) UU no 22/1948: Agresi militer belanda. Dibentuk 7 Daerah otonom tingkat provinsi. Wilayah RI dibagi ke dalam daerah2 otonom, dengan tiga tingkatan yaitu Provinsi, kabupaten dan desa. UU no 1/1957: Setting sosial politik: Menganut demokrasi Liberal, dengan sistem parlementariat dan persaingan politik yang tinggi. Dibentuk daerah Swatantra ( Daerah otonom )
UU no 6/1959: UU ini belum sempat diberlakukan akibat pergolakan politik semasa demokrasi parlementer dan adanya ancaman disintegrasi bangsa karena pemberontakan di beberapa daerah seperti PRRI/Permesta, sehingga dikeluarkanlah dekrit Presiden Penetapan Presiden no 6/1959 dan penetapan Presiden no 5/1960: Setting politik adalah terjadinya pergolakan politik dalam negeri dengan jatuh bangunnya kabinet dan pertarungan partai politik. Pembagian wilayah RI menjadi daerah otonom serta tingkatannya masih tetap mengikuti UU no 1/1957. Hanya namanya yang mengalami perubahan dari daerah swatantra menjadi daerah, sedang pemerintahannya disebut dengan pemerintah daerah
UU no 18/1965: Setting sosial politik adalah saat-saat dimana terjadi puncak perebutan kekuasaan antara Soekarno, TNI AD dan PKI, ditambah ada intervensi dari Amerika Serikat. Wilayah RI dibagi menjadi Provinsi atau Kotaraya sebagai Dati I, Kabupaten atau kotamadya sebagai dati II, dan kecamatan atau kotapraja sebagai dati III. Pada pelaksanaannya dat I dan II terbentuk, sedangkan Dati III belum terbentuk
PEMERINTAHAN SELAMA ORDE BARU UU no 5/1974: menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind, dimana titik berat lebih pada asas dekonsentrasi dan desentralisasi. Wilayah negara dibagi ke dalam daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administrasi saja, dimana tidak ada perbedaan yang tegas antara daerah otonom dan daerah administratif Pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu daerah tingkat I, daerah tingkat II sebagai daerah otonom, dan kemudian wilayah administratif berupa propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan. Hubungan antara daerah tingkat I dan II adalah hirarki
PEMERINTAHAN MASA TRANSISI Rezim yang muncul pasca transisi dapat dibedakan menjadi 3 bentuk: Tetap otoriter ( continued authoritarianism ), instalasi demokrasi ( democratic instalation ), pemantapan demokrasi ( consolidating democracy ) dimana bentuk yang ketiga inilah yang merupakan pola keberhasilan dari suatu fase transisi menuju demokrasi Liberalisasi politik di Indonesia mulai ditempuh oleh pemerintahan BJ Habibie ( meski tindakan pemerintah habibie tersebut lebih bersifat responsif karena tekanan keras dari masyarakat, dan bukan inisiatif murni ) yakni dengan melaksanakan pemilu 1999 dengan aturan main baru sebagai pengganti 5 paket UU politik 1985, pembebasan terhadap Tapol, kebebasan pers, jaminan HAM yang lebih baik
UU no 22/1999: tentang pemerintahan daerah atau otonomi daerah UU no 22/1999: tentang pemerintahan daerah atau otonomi daerah. Karakteristik menonjol UU ini adalah sistem otonomi yang bersifat bertingkat dan residual tidak berlaku lagi, menganut asas desentralisasi untuk daerah kabupaten atau kota, dekonsentrasi dan desentralisasi untuk daerah provinsi dan medebewind untuk desa. Sehingga titik berat otonomi daerah diletakkan kepada daerah kabupaten dan kota, bukan pada daerah provinsi ( Provinsi sebagai wilayah adminstrasi dan daerah otonom )
Pembagian keuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagai respon dari tuntutan masyarakat,maka lahirlah UU no 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Berdasarkan UU ini penyelenggaran tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari APBN dan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur atau penyerahan kewenangan kepada bupati/walikota diikuti pembiayaannya
Otonomi daerah menurut UU no 32 tahun 2004: Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan UU no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Asas-asas otonomi daerah: Desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind
Hal-hal yang menjadi urusan pemerintah pusat: Politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, Yustisi, Moneter dan fiscal, agama Sumber pendapatan otonomi daerah: PAD ( pajak, retribusi, pengelolaan kekayaan alam), Dana perimbangan ( dana bagi hasil , PBB, sumberdaya alam ), DAU ( dari APBN ), DAK ( dari APBN hal khusus ) Level Desa ( Otonomi Desa ): Pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah desa dan BPD Sumber pendapatan desa: Pendapatan asli desa, bagi hasil pajak/retribusi daerah, bagian dari perimbangan keuangan pusat dan daerah, Bantuan pusat/daerah, bantuan pihak ketiga