WILAYAH LAUT
Wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya Wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya. Tanah di bawah laut terdiri dari dasar laut dan tanah di bawah dasar laut. Wilayah laut terbagi atas wilayah yang dikuasai oleh suatu negara (negara pantai) dengan laut tidak dikuasai negara.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pengaturan hukum laut, yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal waters) 2. Perairan Kepulauan (Archiplegic waters) termasuk di dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional 3. Laut Teritorial (Teritorial waters) 4. Zona Tambahan (Contingous waters) 5. Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusif economic zone) 6. Landas Kontinen (Continental Shelf) 7. Lepas Laut (High Seas) 8. Kawasan dasar laut internasional (International Sea-bed area)
1. Perairan Pedalaman Perairan Pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal. Di kawasan ini, negara meiliki kedaulatan penuh, sama seperti kedaulatan negara di daratan. Tidak ada Hak Lintas Damai di kawasan ini
2. Laut Teritorial Laut Teritorial adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi dari 12 mil laut. Di kawasan ini kedaulatan negara penuh termasuk atas ruang udara di atasnya. Hak Lintas Damai diakui bagi kapal- kapal asing yang melintas.
Hak Lintas Damai adalah menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan bersifat damai tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai. Hak Lintas Damai adalah hak bagi kapal asing sehingga merupakan kewajiban bagi negara pantai untuk memberikan
Pelaksanaan Hak Lintas Damai haruslah : Tidak mengancam atau menggunakan kekerasan yang melanggar Integritas Wilayah, Kemerdekaan, dan politik negara pantai. Tidak melakukan latihan militer atau sejenisnya tanpa seizin negara pantai. Tidak melakukan kegiatan yang bertujuan mengumpulkan informasi tertentu yang melanggar keamanan ketertiban negara pantai. Tidak melakukan tindakan propaganda yang melanggar keamanan ketertiban negara pantai. Tidak melakukan peluncuran, pendaratan dari atas kapal apapun termasuk kapal militer. Tidak melakukan bongkar muat komoditas, penumpang, mata uang yang melanggar aturan customs, fiscal, immigration, or sanitary laws negara pantai. Tidak melakukan aktivitas yang menyebabkan pencemaran. Tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan. Tidak melakukan kegiatan penelitian. Tidak melakukan kegiatan yang mengganggu ke sistem komunikasi negara pantai. Kapal-kapal selam harus menampakkan dirinya di permukaan serta menujukkan bendera negaranya.
Pertentangan yang menarik timbul dengan ditetapkan dalam pasal 10 (1f) UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara bahwa dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang memberi izin lintas damai kepada kapal- kapal asing untuk melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan UNCLOS 1982 yang sama sekali tidak memberikan hak kepada negara pantai untuk mengeluarkan atau tidak mengeluarkan izin terhadap lintas damai bahkan negara pantai dilarang menetapkan persyaratan yang berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai.
Mengingat indonesia sudah meratifikasi UNCLOS melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Maka tentunya ada hal yang bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 dengan UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Indonesia. Hal ini juga berpotensi menimbulkan gugatan dari pihak asing yang merasa dirugikan akibat diberlakukan undang- undang tersebut, UU tersebut bertentangan dengan Konvensi Internasional dimana Indonesia sudah terikat didalamnya.
3. Zona Tambahan Zona tambahan adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal. Di Zona ini kekuasaan negara terbatas untuk mencegah pelanggaran- pelanggaran terhadap aturan bea cukai, fiskal, imigrasi, dan perikanan.
4. Landas Kontinen Landas Kontinen meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2.500 meter.
5. Zona Ekonomi Eksklusif ZEE adalah zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Di zona ini negara pantai memiliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap : Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan Riset ilmiah kelautan Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
6. Laut Lepas Laut Lepas tidak dapat diletakkan di bawah kedaulatan ataupun dikuasai oleh suatu negara manapun. Kawasan ini adalah laut yang tidak masuk dalam kawasan laut sebagaimana yang disebut di poin-poin sebelumnya (Poin 1-5). Berlaku berbagai prinsip kebebasan dalam batas-batas hukum internasional, seperti kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan pipa, pembuatan pulau buatan serta instalasi lain, kebebasan menangkap ikan, juga penelitian ilmiah.
7. Dasar Laut Samudra Dalam (Sea Bed Area) Dasar laut samudra dalam yaitu kawasan dasar laut yang tidak terletak di dalam yurisdiksi negara mana pun. Suatu kemajuan diperoleh oleh negara-negara berkembang di kawasan ini dengan diakuinya prinsip warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind) serta terbentuknya badan otorita hukum laut internasional sebagai tindak lanjutnya. Apabila sebelumnya berlaku prinsip freedom exploitation tanpa ada kewajiban memberikan kontribusi pada masyarakat internasional maka dengan diakuinya prinsip common heritage of mankind, maka siapa saja yang mengeksploitasi kawasan tersebut wajib memberikan kontribusi 1%-7% kepada masyarakat internasional yang dibayarkan melalui badan otorita hukum laut internasional.
Wilayah Laut Indonesia dan Beberapa Permasalahan Hukumnya Sebagai negara kepulauan Indonesia termasuk negara yang paling diuntungkan dengan keberadaan UNCLOS. Indonesia memperoleh tambahan wilayah yang sangat signifikan dengan diakuinya hak negara kepulauan untuk menarik garis dasar lurus kepulauan menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Perairan yang semula laut bebas menjadi perairan kepulauan. Perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta km2. Saat ini Luas wilayah laut Indonesia sekitar 5.176.800 km2.
Sebagai konsekuensinya negara kepulauan harus menetapkan dan mengumumkan alur laut kepulauannya bagi kapal asing. Di alur laut kepulauan berlakulah hak lintas damai bagi kapal asing yang isinya sama dengan yang berlaku di laut teritorial. Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 2002 menetapkan bahwa kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas melalui Aur Laut Kepulauan (ALK).
PP Nomor 37 Tahun 2002 menetapkan 3 ALK : ALK I dapat dipergunakan untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut kepulauan dari Laut Cina Selatan ke Samudra Hindia dan Sebaliknya. Melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda. ALK II dapat dipergunakan untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut kepulauan dari Laut Sulawesi ke Samudra Hindia atau Sebaliknya. Melintasi Selat Makassar, Laut Flores, dan selat Lombok. ALK III terbagi menjadi ALK IIIA- ALK IIIE. ALK IIIA dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia atau sebaliknya melalui Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Laut Sawu. ALK IIIB dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia atau sebaliknya melalui Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti. ALK IIIC dari Samudra Pasifik ke Laut Arafura atau Sebaliknya melalui Laut Maluku, Laut Seram dan Laut Banda. ALK IIID dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia dan sebaliknya melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu. ALK IIIE dari Samudra Hindia ke laut Sulawesi.
Meskipun mempunyai banyak perjanjian dengan negara perbatasan/tetangga, namun tidak berarti Indnesia tidak memiliki masalah perbatasan laut lagi. Contoh-contoh permasalahan : Tahun 2005, Malaysia melalui Petronas memberikan hak eksplorasi pada Shell di perairan Kalimantan Timur (Blok Ambalat dan Ambalat Timur) yang sudah diklaim indonesia Penangkapan nelayan Indonesia oleh Australia karena dituduh memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara tersebut. Menurut pemerintah ada 3 hal yang menyebabkan hal tersebut : pertama, persoalan ekonomi yang dimanfaatkan oleh cukong- cukong yang membiayai dengan imbalan besar. Kedua, Nelayan benar-benar tidak tahu dimana batas laut Indonesia karena rata-rata tidak dilengkapi oleh intrumen GPS. Yang ketiga, karena bencana alama seperti badai sehingga mereka terbawa sampai ke wilayah perairan Australia.
Wilayah Ruang Angkasa (Outer Space)
Bila Negara memiliki kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas udaranya, maka tidak demikian dengan ruang angkasa. Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa terjabar dalam Space Treaty 1967. Prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle dan Freedom exploitation principle.
Prinsip yang pertama atau non kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda-benda langit merupakan milik bersama umat manusia (common heritage of mankind), tidak dapat diklaim atau diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara. Adapun Prinsip yang kedua adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai. Dalam pengeksploitasian ini berlaku prinsip persamaan (equity). Penjabaran lebih lanjut dari prinsip ini adalah dikenalnya prinsip first come first served.
Prinsip first come first served yang diusung negar maju dalam realitanya sangat merugikan negara berkembang dan terbelakang yang tidak memiliki teknologi untuk mengeksploitasi ruang angkasa tersebut. Sebagai contoh, Pemanfaatan Geostationary Orbit (GSO) di atas katulistiwa yang merupakan ruang yang sangat terbatas hanya memberikan keuntungan pada negara maju. Meskipun bila ditarik garis lurus vertikal ke atas GSO ada di atas wilayah Indonesia, namun Indonesia tidak kuasa melarang beroperasinya berbagai satelit asing yang diorbitkan di sana termasuk satelit pengintai. Indonesia memang pernah memperjuangkan agar GSO masuk menjadi bagian wilayah Indonesia, tapi demikian perjuangan ini akhirnya gagal dengan diratifikasinya Space Treaty 1967 oleh Indonesia.