ANALISIS STRATEGI DALAM MEMASARKAN POTENSI WISATA ACEH Oleh : Drs. H. A. Dahlan TH, ketua PWI Aceh (Disampaikan pada World Bank seminar series, di Aula Fakultas Ekonomi Unsyiah, Darussalam Banda Aceh, 24 April 2008)
Potensi dan peluang Aceh untuk mengembangkan diri dalam dunia pariwisata sudah cukup lama terbuka, tapi tidak bisa berkembang karena baik masyarakat maupun pemerintah daerah sama-sama memandang sebelah mata terhadap semua obyek wisata yang ada serta wisatawan itu sendiri. Bahkan yang lebih sinis lagi ada sebagian warga masyarakat masih beranggapan turis atau wisatawan adalah sumber malapetaka yang bisa merusak tatanan, kebiasaan dan syariah.
Lihat saja bagaimana suasana pantai kita yang luas tapi minim pengunjungnya, karena selain sarana dan prasarana pendukung tidak ada, juga nyaris rutin razia oleh orang-orang pemerintah dan kelompok tertentu dalam masyarakat sehingga tidak ada ketenangan dan kenyamanan bagi wisatawan dan pengunjung.
Jika kita rinci ada sekitar 113 obyek wisata di Aceh mulai dari objek wisata alam, obyek wisata sejarah dan obyek wisata bahari seperti Goa Putri Pukes, Benteng Indra Patra, Kerkhoff, Rumah Adat, Benteng Jepang dan sebagainya. Obyek wisata bahari yang ada di Sabang dan obyek wisata hutan, air terjun serta banyak lagi kekayaan akan dimiliki Aceh yang menjadi obyek wisata. Begitu banyak obyek wisata di Aceh tapi penanganannya selalu tidak maksimal baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Bencana alam tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 telah meninggalkan berbagai bekas yang mestinya juga merupakan obyek wisata terlangkah dan termahal di dunia, tapi pada kenyataannya wilayah jangkauan tsunami itu sendiri nyaris tidak diketahui lagi oleh turis luar karena sudah ditaburi bangunan dan rumah-rumah warga .
Selain objek wisata stunami, di Aceh mestinya juga ada dan terpelihara tempat-tempat yang dianggap basis konflik baik masa Operasi Militer (DOM) maupun Darurat Militer (DM), yang kemudian bisa dijadikan obyek wisata seperti “Rumoh Geudong, Bukit Tengkorak, Rawa Cot Trieng dan lain sebagainya”, tapi semuanya sekarang tidak ada yang dijadikan obyek wisata.
Pengalaman Vietnam yang setelah selesai perang dengan Amerika dijadikan desa Chu Chi Tunel (sekitar 70 km setelah kota Saigon / Ho Chi Min City) sebagai obyek wisata sejarah hanya dengan mengandalkan terowongan tikus dan bekas-bekas tank tempur AS, adalah bisa dijadikan contoh oleh daerah bekas konflik seperti Aceh. Harus diakui pasca perang, Vietnam tidak lagi marah dan dendam kepada Amerika, tapi justru mengambil keuntungan financial dengan cara mengundang serdadu-serdadu Amerika dan penduduk dunia lainnya untuk berkunjung ke lokasi bekas pembantaian di desa Chu Chi Tunel itu untuk membawa dollar.
Akibat tidak ada promosi dan sosialisasi seperti itu, maka tidak salah jika hingga sekarang ini masih ada sebagaimana kelompok warga yang menafsirkan wisatawan atau turis itu pembawa malapetaka bagi daerah pelanggaran Syariat Islam, bencana alam dan kutukan dari Tuhan.
Begitu juga dengan Biro Perjalanan Umum kita lihat berapa banyak Travel Biro di Aceh yang hanya hari-hari bertugas menjual tiket pesawat saja, padahal kita yakin BPU itu mampu membawa turis ke seluruh obyek wisata yang ada di Aceh. Tapi itu tidak berani dilakukan (mungkin dengan alasan keamanan dan kenyamanan wisatawan itu sendiri).
Kondisi ini lah yang kemudian dimanfaatkan Sumatera Utara, Sumatera Barat dan luar pulau Sumatera. Artinya, turis-turis asing yang datang ke Sumatera cukup mengunjungi obyek wisata di Medan, Prapat/ Danau Toba, Bukit Tinggi dan Padang. Sedangkan ke Aceh, terutama Banda Aceh, Sabang, Takengon dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) hanya dilakukan atas keinginan masing-masing turis itu sendiri, bukan secara group. Akibatnya yang datang ke Aceh ini kita kenal dengan sebutan “Turis Sandal Jepit” bukan turis bisnis.
Dengan kehadiran turis semacam itu, tentu industri Pariwisata seperti tempat penginapan, restoran, rumah sourvenir tidak akan tumbuh merata di Aceh, hanya terpusat di kota besar saja, bukan di lokasi obyek wisata itu sendiri. Aceh memang tidak cukup hanya dengan kebanggaan karena banyak memiliki obyek wisata, jika pemahaman kepada masyarakat bahwa obyek wisata itu uang dan promosi pariwisata itu tidak dilakukan pemerintah, dunia usaha serta BPU dan Pers, maka apa yang dimiliki Aceh itu justru akan berubah fungsi menjadi semak belukar atau lokasi gersang yang sia-sia. Padahal pembangunan sektor pariwisata itu adalah sumber alam yang tidak habis-habisnya sepanjang masa.
Kalau memang benar Aceh ada niat menyeimbangkan dan menjadikan obyek wisata sebagai mesin uang dan lahan penampungan tenaga kerja, maka perlu dibuat strategi pemasaran yang profesional, bukan alakadar saja.
Strategi yang harus dilakukan : Mendata kembali seluruh obyek wisata di Aceh yang tersisa pasca konflik dan Tsunami. Mengukur kembali letak, jarak antara satu obyek wisata dengan obyek wisata lain dalam sebuah zone hingga dari dan ke titik awal turis itu menuju. Misalnya turis manca negara yang turun pesawat udara di Blang Bintang, berapa jauh berapa lama tiba di hotel atau langsung ke obyek wisata yang dituju dengan ukuran jarak dan waktu yang tepat.
Pastikan jalan dan lokasi yang dituju itu aman, nyaman serta mendapat penerimaan yang ramah dari masyarakat. Pastikan kendaraan yang difungsikan turis itu nyaman dan penuh bahan bakar sehingga untuk perjalanan minimal 50 km pulang pergi tidak mengisi BBM di jalan. Driver dan guide yang ada dalam kendaraan bersama turis juga harus ramah dan profesional. Pastikan proses pencatatan keimigrasian di Bandara tidak berbelit-belit.
Pastikan semua lokasi wisata, yang dituju turis itu bersih, sehat dan tersedia segela keperluan minimal. Sediakan peta lokasi dan buku panduan obyek wisata yang menarik. Jalin kerjasama yang kompak antara BPU, Travel, Hotel, Rumah Makan/ Restoran dan Pengrajin Sourvenir untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Upayakan jalan pergi dan jalan pulang dari dan ke obyek wisata tidak sama, maksudnya turis lebih senang pergi dan pulang dari jalan yang berbeda sehingga seluruh keindahan alam yang di lalui bisa dinikmati oleh turis.
Tanyakan kepada turis apakah ia puas atau tidak dalam kita memberikan pelayanan dari kesempurnaan dimasa datang.
Harus diingat bahwa semua turis yang datang kesuatu daerah atau negara itu adalah pribadi-pribadi yang punya uang. Daerah atau negara, badan usaha atau masyarakat yang menerima kunjungan wisatawan adalah pihak yang diuntungkan atas kedatangan mereka. Maka pelayanan dan strategi pemasaran potensi wisata harus dikemas dan dipersiapkan sedemikian rupa dengan promosi dan sosialisasi yang luas sehingga mereka tertarik untuk datang ke Aceh. Terima kasih. Banda Aceh, 24 April 2008