Kaca Spion: Renungan Andi Noya “Kick Andy” Metro TV

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
Renungan Awal Tahun (click the mouse button to view) •"Bayangkan hidup sebagai suatu permainan ketangkasan dimana kita harus memainkan keseimbangan 5 buah.
Advertisements

Semuanya Indah Jangan Menangis Mama
Menulis Cerpen dengan Media Lagu
Doa Keutuhan (Pemulihan dan Pemuridan) Sesi 2 ©2014, 2007, 2006 Freedom for the Captive Ministries.
Hadiah Terbaik Untuk Diri Sendiri
Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke  dunia.
Belanja di Toko Kebahagiaan Seorang muda yang selalu resah dan gelisah menemui seorang bijak dan bertanya, “Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk.
Lima Pintu Menuju Keindahan dan Kebahagiaan
MENULIS BERITA KRIMINAL
Bacalah mungkin penting bagi qta!
Bacalah dengan teliti, ini sangat penting!
BERSYUKUR sumber: milis agusman_1981
Untuk Sharing Pembelajaran
MY DAD MY BEST EVER BY: MF to CQ.
My Mother And Me Cinta, perjuangan, kasih karunia,
BAB XI IDE BISNIS.
Doa Keutuhan (Pemulihan dan Pemuridan) Sesi 2 ©2014, 2007, 2006 Freedom for the Captive Ministries.
ANEH tapi NYATA ! Berikut Matematika sederhana, latihan berhitung
PENGHIANATAN.
Doa Keutuhan (Pemulihan dan Pemuridan) Sesi 3 ©2014, 2007, 2006 Freedom for the Captive Ministries.
SAHABATKU Setelah melihat tayangan ini maka engkau akan menemukan betapa berbahagianya kita, pikirkan apalagi yang perlu dikuatirkan ? RENUNGKAN ITU.
SARANA PENDIDIKAN AHLAK MULIA
Kasih Sejati Seorang Ibu
Empat orang isteri.
Doa Keutuhan (Pemulihan dan Pemuridan) Sesi 3 ©2014, 2007, 2006 Freedom for the Captive Ministries.
Unsur Pembangun Karya Sastra
Bagaimana Agar Bersedekah Membuat Anda Kaya?
Prinsip 90/10 Click to advance.
Melaksanakan Janji dengan
Tertawa di Pasar Burung
10 Sikap Hidup Hidup Bahagia.
Sepucuk Surat untuk Anakku
PRODUK DAN PELAYANAN CUMI PELITA SEJAHERA
BAHASA INDONESIA KELAS V SEMESTER GANJIL BAHAN AJAR.
YANG TIDAK BISA DIUCAPKAN AYAH
Bersyukur dan Bahagia Alkisah, ada seorang pedagang kaya yang merasa dirinya tidak bahagia. Dari pagi-pagi buta, dia telah bangun dan mulai bekerja. Siang.
Pemburu dan Peternak Domba
MENGIDENTIFIKASI TEKS CERITA PENDEK
Aku Bukan Ayam Seorang petani menemukan sebutir telur di ladangnya. Ukuran telur itu tidak jauh berbeda dengan telur-telur ayam yang dia miliki. Oleh karena.
Anak, Masa Depan Kita Topik ini terinspirasi dari sebuah lagu indah “Greatest Love of All”. Anak-anak adalah masa depan kita karena kita tidak pernah terlepas.
Anda Berharga di Mata Tuhan
Pendalaman Alkitab untuk KTB – CM UKSW :
Mimpi adalah komunikasi antara tubuh, pikiran, dan jiwa kita
Harimau dan Prajurit Alkisah, di sebuah kerajaan, sang raja mempunyai kegemaran yang tidak lazim, yakni mengukur kekuatan prajuritnya dengan cara mengadu.
Mencari Kebahagiaan Alkisah pada suatu senja temaram, tampak seorang perempuan cantik berusia empat puluhan, berpakaian indah dan santun, turun dari mobil.
PENGAMPUNAN: BERDAMAI DENGAN MASA LALU DAN MERAJUT MASA DEPAN
Buku harian ayah.
Burung dengan sebelah sayap
Apa pun yang Terjadi, Bersyukurlah!
Basic Workshop Menulis
Penjual Keripik Pisang
Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke  dunia.
Renungan.
PIKIRLAH SEBELUM BERBUAT
GAYA BAHASA PADA ANAK.
Prinsip dan Keyakinan Alkisah, di dalam sebuah hutan belantara hiduplah sebuah keluarga yang harmonis. Keluarga tersebut terdiri dari bapak, ibu, dan seorang.
Sebuah Cerita Kehidupan…
Nabi Yusuf By Ibam.
Ingatlah lima aturan sederhana supaya bahagia
Alya Diska Febrianggi Kelas X AP 2
Burung dengan sebelah sayap
Penataan Lalu Lintas di Kawasan Stasiun Tanah Abang
Oleh: Alifah Fajriyyatul Izzah (02)
Burung dengan sebelah sayap
Burung dengan sebelah sayap
PIKIRLAH SEBELUM BERBUAT
Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke  dunia.
Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke  dunia.
Pembuat kasut Pada masa dahulu,
Ketegaran Hidup Sang Raja Koran
Transcript presentasi:

Kaca Spion: Renungan Andi Noya “Kick Andy” Metro TV Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana. Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia. Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV. Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul.

Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda? Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah. Kegundahan yang aneh. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya. Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya. Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah. Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya. Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan hidup sebulan. Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?

Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya. Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan. Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani. Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ”Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Cita rasamu sudah meningkat,” ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, “Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras.” Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.

Ketakutan itu memang sangat kuat Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak. Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok. Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul. Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin dalam diri saya lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit. Refleksi: Mengapa harus sombong dengan kekayaan yang kita miliki, karena kekayaan tiada berguna sama sekali, lebih baik menghidupkan lagi rasa toleransi yang ada pada diri untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik… (kaya sombong saja bisa membuat Tuhan marah, apalagi kalau miskin sombong)…