UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Resensi Novel Kasih Tak Terlarai Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Apresiasi Sastra Indonesia Dosen Pembimbing : Prana Dwija Iswara M.Pd Disusun Oleh : Nama : Jejen Jaenudin NIM : 0805069 No. Absen : 29 Kelas : Bahasa Indonesia (Dual Modes) Semester : 6 PROGRAM S 1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA KAMPUS SUMEDANG 2009 Lanjutkan
Identitas Buku Sinopsis Kutipan Unsur Intrinsik Pujangga-pujangga Kembali
Identitas Buku Judul Buku : Kasih Tak Terlarai Pengarang : Suman Hs Tebal : 68 halaman Cetakan Ke : 1 Karya Sastra Angkatan : 1920 Kembali
Sinopsis “Kasih Tak Terlarai” Di suatu daerah di Sumatera Timur, ada satu keluarga terpandang di kampung tersebut yang memiliki seorang anak yang badannya kecil namun umurnya sudah dewasa sekitar 18 tahun. Ia anak pertama di keluarganya, serta memiliki dua orang adik. Dalam hidupnya hanya dua kali ia mendapat pujian dari kedua orang tuanya, yang pertama ketika ayahnya membawa kaca mata, kaca mata itu hanya cocok di wajahnya karena walaupun ia kecil namun memiliki wajah yang tampan serta memiliki hidung yang mancung jika di bandingkan dengan kedua adiknya. Yang kedua saat ia menirukan suara adzan di mesjid, yang ternyata suaranya cukup enak di dengar. Keluarganya baru memeluk agama Islam, yang sebelumnya menganut paham kepercayaan terhadap roh, mahkluk halus, dan benda bertuah. Pada bulan Ramadhan tahun 1295 Hijriah adalah tahun pertama keluarga itu ikut merayakan Hari Idul Fitri (Lebaran). Dikampung tersebut ada seorang gadis cantik, manis dan menjadi bintang kampung tersebut, Siti Nurhaida namanya. Lelaki mana yang tidak kenal dan tidak menginginkan dia untuk dijadikan pendamping hidup (istri). Sudah banyak lelaki kampung itu yang meminangnya namun belum ada satupun yang berhasil, hal tersebut dikarenakan dia memiliki seorang ayah yang sombong dan materialistis. Walaupun sudah mengetahui akan hal tersebut namun si Taram nekat untuk mendekati gadis itu. Selang beberapa waktu kemudian, akhirnya perjuangan si Taram mendapatkan hasil yang baik, Nurhaida akhirnya jatuh hati pula pada si Taram. Melihat gelagat aneh dari si Taram, akhirnya orang tua si Taram mengetahui hubungan anaknya dengan Nurhaida. Tanpa pikir panjang, orang tua si Taram mengirimkan utusan untuk meminang Nurhaida. Alangkah bahagianya si Taram saat ia tahu hal tersebut. Hatinya berdegup kencang, dadanya bergemuruh hebat saat menunggu hasil dari pinangan itu. Akan tetapi alangkah hancurnya hati si Taram saat mengetahui bahwa orang tua Nurhaida menolak pinangannya. Kembali Lanjut
Untuk beberapa waktu si Taram terlihat seperti orang yang limbung, tak tahu apa yang harus di perbuat. Sampai suatu hari ia mendapatkan dorongan moral sekaligus cobaan yang lebih hebat dibandingkan dengan penolakan pinangannya, yaitu kenyataan bahwa ia seorang anak pungut yang ia ketahui dari seorang nenek yang bernama nenek Tijah seorang penjual kue di kampungnya. Setelah merenung akhirnya ia tahu penyebab penolakan pinangannya. Tahu dan ikut merasakan perasaan si Taram, nenek Tijah memberikan wejangan supaya ia jangan larut dengan kesedihannya, dan berusahalah untuk berjuang terus. Rasa cinta kedua muda-mudi tersebut sudah sekian erat dan dalamnya sehingga mereka berdua susah untuk melupakan satu sama lainnya. Akhirnya karena perasaan yang menggebu itulah mereka berdua merencanakan untuk meninggalkan kampungnya dan berniat untuk kawin lari.. Setelah membuat persiapan yang matang, mulailah mereka berdua pergi dari kampung tersebut, dengan menyamar menjadi orang Cina. Tujuan pelarian mereka adalah menuju ke Singapura dengan menggunakan perahu. Mengetahui akan hal tersebut, kedua orang tua mereka berusaha untuk mencari mereka kesana-kemari, akan tetapi hasilnya nihil. Si Taram dan Nurhaida bisa memperdayai semua orang yang mencari mereka. Berangkatlah mereka menuju Singapura dengan menggunakan perahu. Diperjalanan mereka berganti perahu dengan perahu ikan, yang semuanya telah dipersiapkan oleh si Taram dengan temannya, yaitu seorang nahkoda perahu ikan. Tibalah mereka di Singapura, tempat yang baru serta jauh dari kampung halaman mereka. Si Taram memilki banyak teman di sana, dengan bantuan temannya juga sehari setelah mereka tiba akhirnya kedua pasangan tersebut dinikahkan. Waktu pun berlalu dengan cepatnya, akan tetapi kedua orang tua mereka tetap berusaha mencari tahu keberadaan mereka. Perjuangan orang tua mereka membuahkan hasil, mereka tahu keberadaan si Taram dan Nurhaida. Encik Abas, orang tua Nurhaida mengirimkan orang suruhan untuk membujuk Nurhaida supaya mau pulang ke kampung halamannya. Orang suruhan tersebut akhirnya berhasil membujuk Nurhaida, yang pada saat itu kebetulan si Taram sedang berdagang ke Johor, karena setelah menetap di Singapura si Taram menjadi seorang pedagang. Berangkatlah Nurhaida dengan orang suruhan tersebut untuk menuju ke kampung halamannya. Selang beberapa waktu, tibalah Nurhaida di kampung halamannya. Alangkah terkejutnya seluruh warga kampung mengetahui kepulangan sang bintang kampung yang sudah lama hilang. Si Taram mengetahui keberangkatan istrinya, ia pun merencanakan untuk kembali ke kampungnya supaya dapat bertemu dengan Nurhaida. Lanjut
Nurhaida masih menjadi bintang di kampungnya, masih banyak yang ingin meminangnya akan tetapi tetap ayahnya tolak. Ada satu pemuda yang ingin Encik Abas jodohkan dengan Nurhaida, Wan Hasan namanya. Namun Nurhaida berkeras hati dan menolak untuk menikah dengan pemuda tersebut. Sama seperti saat ia meninggalkan kampungnya, yaitu dengan menyamar menjadi orang Cina, kali ini berbeda si Taram datang dengan menyamar menjadi orang Arab dengan nama Syekh Wahab dan menjadi seorang pedagang obat-obatan. Beberapa lama kemudian si Taram mendapat kepercayaan di kampung tersebut untuk menjadi guru mengaji, menjadi imam di mesjid, serta menjadi Khotib tatkala Juma’tan. Tanpa di duga Encik Abas berniat untuk mengawinkan Nurhaida dengan Syekh Wahab yang tidak lain adalah si Taram. Saat itu seluruh warga kampung beranggpan jika mendapatkan mantu orang Arab atau pun keturunan Arab maka harkat dan martabat dirinya akan tinggi. Mendengar berita pernikahan tersebut seluruh warga kampung gempar, reaksi beragam pun muncul, sebagian warga kampung ada yang menghujat Nurhaida sebagai wanita yang tidak setia kepada suaminya. Terlepas dari pemasalahan itu, dilaksanakanlah pernikahan antara guru mengaji dengan Nurhaida. Tanpa terasa sudah beberapa bulan Syekh Wahab dan Nurhaida menikah, mereka terlihat bahagia. Semua warga kampung terlihat sibuk, ternyata hari itu bertepatan dengan tanggal 30 Ramadhan, berarti keesokan harinya adalah hari Raya Idul Fitri, hari yang ditunggu oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia untuk saling maaf memaafkan. Gema takdir pun berkumandang sepanjang malam, mengagungkan kebesaran Sang Maha Pencipta yaitu Allah SWT. tibalah saat untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, Syekh Wahab pun di tunjuk untuk menjadi Imam. Siapa yang menyangka di hari besar itu terjadi pula suatu kejadian yang besar, dimana akhirnya Syekh Wahab membuka jati dirinya selama ini, setelah khotbah ia memangkas seluruh janggutnya yang pada akhirnya semua orang tahu bahwa dia adalah si Taram, anak yang telah lama pergi dari kampung itu. Enam bulan setelah kejadian tersebut, si Taram akhirnya tetap menjadi guru mengaji dan imam dalam kampung itu. Kembali
Kutipan Sungguh pun badannya kecil, dan tingginya hanya satu setengah meter, tetapi usianya telah lebih dari 18 tahun. Selama hayatnya itu, hanya dua kalilah baru ia mendapat pujian dari orang tuanya. Yang pertama kali, ketika bapaknya pada suatu hari membawa sebuah kaca mata ke rumahnya ; hanya hidungnyalah kaca mata itu yang boleh melekat, karena di takdirkan Tuhan hidungnya mancung, sedang kaca mata itu bersepitkan pula. Waktu itu bapaknya berkata, “Ambillah kaca mata itu untukmu Taram ! Dalam antara anakku yang tiga orang ini, engkaulah yang terlebih cakap.” (Kasih Tak Terlarai, halaman : 1) Syahdan ketika pujian yang kedua kalinya itu keluar dari mulut bapaknya, ibunya tersenyum-senyum simpul, lalu berkata, “Ya, patutlah, karena ia . . . .” Hingga itu putuslah kalimat ibunya, putus tiada bersambung lagi. Apa mulanya maka demikian, wallahu alam. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 2) Nurhaida cantik, manis, muhtasyam, ia jadi bintang dalam kampunya. Siapa menengok, siapa termenung, siapa memandang, siapa asyik. Gadis remaja yang sebagai Nurhaida itu tak ada dua dalam kampungnya. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 2) Sebagai seekor kumbang inginkan bungan, demikianlah si Taram inginkan Nurhaida. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 8) “Sudikah engkau Nurhaida mengabulkan permintaanku itu kelak ? Wahai engkaulah jantung hatiku. Aduhai, jika permohonanku itu engkau tolak agaknya hilanglah aku dari permukaan bumi ini.” (Kasih Tak Terlarai, halaman : 11) Betapa perasaan hati si Taram dewasa itu tak dapat direncanakan lagi. Dadanya gemuruh laksana ombak menebah pantai. Wahai, apabila orang tua Nurhaida menolak permintaan ini, apalah akan sudahnya . . . Agaknya keindahan dunia ini tak tampak lagi oleh si Taram. Dalam hatinya ia telah berjanji, “Nurhaida mesti disisinya, tidak boleh tidak. Daripada hidup bercerminkan bangkai, baik mati berkalang tanah.” (Kasih Tak Terlarai, halaman : 14) “Ada pun anak angkat ayahmu itu, engkau inilah Taram.” (Kasih Tak Terlarai, halaman : 20) Seorang daripada sahabatnya yang karib itu ke rumahnya. Pada Keesokan harinya dua sejoli itu telah menjadi suami istri. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 34) Lanjut
Kemudian kenyataanlah bahasa orang tua itu datang ke Singapura atas suruhan Encik Abas. Tiada lain maksud yang terkandung dalam hati mereka itu laki-istri, selain daripada hendak membujuk Siti Nurhaida dengan diam-diam pulang pulang balik ke kampungnya. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 39) Nurhaida tertumbuk pikiran, tertarik hati, kabullah ia menurutkan orang tua itu. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 42) Kedatangan kici yang membawa Siti Nurhaida itu, sangat menggemparkan isi kampungnya. Nurhaida yang hilang selama ini, sekarang bersua balik. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 43) Seorang diantaranya indah pakaiannya, berkopiah terbus hitam, berbaju cara Turki. Sanga gagah rupanya Janggutnya yang sangat lebat, misainya yang meranting betung dan hidungnya yang mancung itu, tiada dapat mengubah sifatnya. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 48) Ada pula setengahnya orang-orang kampung itu sangat menyesali Siti Nurhaida. Mereka memandang perempuan itu seorang perempuan lancang, tiada teguh setianya, bertabiat pucuk eru, ke mana angin bertiup,ke situ arah condongnya. Perempuan yang demikian fiilnya tiada harus dibuat istri. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 53) Ketika Syekh Wahab telah habis membaca khotbah, ia melangkah naik ke tingkat atas mimbar itu.Perbuatan khatib itu mengherankan majelis. Seorang pun tak ada yang berdiri semuanya memandang tuan Syekh itu. Di mata masing-masing terbayang tanda keheranan. Syekh Wahab membukakan penutup kepalanya. Kain penudung itu dibentangkannya, kemudian digantungkannya diperbuatnya tabir di hadapannya. Syekh Wahab terlidung dari mata orang banyak. Sekalian yang hadir tampak menganga.Ketakjuban dan keheranan tertulis di muka mereka itu. Perbuatan khatib ini belum pernah dilihat oleh mereka selama hayatnya.Semuanya rasa bermimpi. Lima menit kemudian daripada Syekh Wahab merenggutkan kain penampang tadi . . . Orang banyak memkik dan berteriak. Mesjid itu bagaikan pecah bunyinya. Tuan Syekh itu tak berjanggut lagi. Dagunya licin tiada berambut barang sehelai. Di atas bibirnya tiada tumbuh sehelai misai pun. Rupanya bertukar sekali, jauh bertambah muda. Dahulu ia Syekh Wahab, sekarang ini . . . si Taram, anak angkat batin kampung itu, yang jadi buruan beberapa tahun lamanya. (Kasih Tak Terlarai, halaman : 68) Kembali
Unsur Intrinsik Latar Tema Alur Amanat Sudut Pandang Gaya Bahasa Penjelasan Tokoh dan Penokohan Latar Tema Alur Amanat Sudut Pandang Gaya Bahasa Kembali
Tokoh dan Penokohan Si Taram : baik, penyabar, rendah hati Nurhaida : baik, rendah hati, lemah lembut Orang tua Si Taram : pilih kasih Orang tua Nurhaida : materialistis, sombong Encik Abas (Ayah Nurhaida) Ke dua Adik Taram : baik Polan : pemberani Nahkoda Kici : baik, penyantun Pak Jalil : baik Nenek Tijah : baik, pengertian Amin : baik penurut Wan Hasan : baik Kembali
Tema Tema dari novel “Kasih Tak Terlarai“ adalah kisah percintaan dua pasang anak manusia yang terhalang oleh adat yang membagi tingkat kehidupan masyarakat. Kembali
Amanat Manusia harus tegar dalam menghadapi segala permasalahan dalam hidup, bersabar dalam setiap ujian yang Allah berikan, jangan putus asa dalam menjalani kehidupan walaupun terasa berat. Karena setelah bersama kesulitan itu terdapat kemudahan. Kembali
Latar Latar Tempat Latar Sosial Latar Waktu 1. Sumatera Timur 2. Rumah Si Taram 3. Rumah Nurhaida 4. Mesjid 5. Kandang Ayam 6. Laut 7. Kici (perahu) 8. Singapura 1. Rendah 2. Menengah 3. Tinggi 1. Pagi 2. Siang 3. Sore 4. Malam Kembali
Alur atau Plot Tahapan Pertikaian Tahapan Permulaan Tahapan Perumitan Tahapan Akhir Tahapan Puncak Tahapan Peleraian Kembali
Tahapan Permulaan Kembali Ada satu keluarga terpandang di suatu kampung, yang memiliki seorang anak yang badannya kecil namun umurnya sudah dewasa sekitar 18 tahun. Ia anak pertama di keluarganya, serta memiliki dua orang adik. Dalam hidupnya hanya dua kali ia mendapat pujian dari kedua orang tuanya, yang pertama ketika ayahnya membawa kaca mata, kaca mata itu hanya cocok di wajahnya karena walaupun ia kecil namun memiliki wajah yang tampan serta memiliki hidung yang mancung jika di bandingkan dengan kedua adiknya. Yang kedua saat ia menirukan suara adzan di mesjid, yang ternyata suaranya cukup enak di dengar. Keluarganya baru memeluk agama Islam, yang sebelumnya menganut paham kepercayaan terhadap roh, mahkluk halus, dan benda bertuah. Pada bulan Ramadhan tahun 1295 Hijriah adalah tahun pertama keluarga itu ikut merayakan Raya Hari Idul Fitri Ada seorang gadis cantik, manis dan menjadi bintang kampung tersebut, Siti Nurhaida namanya. Lelaki mana yang tidak kenal dan tidak menginginkan dia untuk dijadikan pendamping hidup. Sudah banyak lelaki kampung itu yang meminangnya namun belum ada satupun yang berhasil, hal tersebut dikarenakan dia memiliki seorang ayah yang sombong dan materialistis. Walaupun sudah mengetahui akan hal tersebut namun si Taram nekat untuk mendekati gadis itu. Selang beberapa waktu kemudian, akhirnya perjuangan si Taram mendapatkan hasil yang baik, Nurhaida akhirnya jatuh hati pula pada si Taram.
Tahapan Pertikaian Kembali Hubungan pun terjalin, semakin lama semakin erat dan tak terpisahkan. Melihat gelagat aneh dari si Taram, akhirnya orang tua si Taram mengetahui hubungan anaknya dengan Nurhaida. Tanpa pikir panjang, orang tua si Taram mengirimkan utusan untuk meminang Nurhaida. Siapa yang tidak bahagia bisa memperistri bintang kampung, begitu pan si Taram. Saat ia tahu hal tersebut, hatinya berdegup kencang, dadanya bergemuruh hebat saat menunggu hasil pinangan itu. Kenyataan berkata lain, alangkah hancurnya hati si Taram saat mengetahui bahwa orang tua Nurhaida menolak pinangannya.
Tahapan Perumitan Kembali Setelah kejadian tersebut, untuk beberapa waktu si Taram terlihat seperti orang yang limbung, tak tahu apa yang harus di perbuat. Sampai suatu hari ia mendapatkan dorongan moral sekaligus cobaan yang lebih hebat dibandingkan dengan penolakan pinangannya, yaitu kenyataan bahwa ia seorang anak pungut yang ia ketahui dari seorang nenek yang bernama nenek Tijah seorang penjual kue di kampungnya. Tersadar akan kenyataan tersebut, ia pun jadi mengetahui penyebab penolakan pinangannya. Melihat raut muka si Taram serta bisa ikut merasakan perasaan si Taram, nenek Tijah memberikan wejangan supaya ia jangan larut dengan kesedihannya, dan berusahalah untuk berjuang terus.
Tahapan Puncak Kembali Rasa cinta kedua muda-mudi tersebut sudah sekian erat dan dalamnya sehingga mereka berdua susah untuk melupakan satu sama lainnya. Akhirnya karena perasaan yang menggebu itulah mereka berdua merencanakan untuk meninggalkan kampungnya dan berniat untuk kawin lari.. Setelah membuat persiapan yang matang, mulailah mereka berdua pergi dari kampung tersebut, dengan menyamar menjadi orang Cina. Tujuan pelarian mereka adalah menuju ke Singapura dengan menggunakan perahu. Mengetahui akan hal tersebut, kedua orang tua mereka berusaha untuk mencari mereka kesana-kemari, akan tetapi hasilnya nihil. Si Taram dan Nurhaida bisa memperdayai semua orang yang mencari mereka. Berangkatlah mereka menuju Singapura dengan menggunakan perahu. Diperjalanan mereka berganti perahu dengan perahu ikan, yang semuanya telah dipersiapkan oleh si Taram dengan temannya, yaitu seorang nahkoda perahu ikan. Tibalah mereka di Singapura, tempat yang baru serta jauh dari kampung halaman mereka. Si Taram memilki banyak teman di sana, dengan bantuan temannya juga sehari setelah mereka tiba akhirnya kedua pasangan tersebut dinikahkan.
Tahapan Peleraian Kembali Kedua orang tua mereka tetap berusaha mencari tahu keberadaan mereka. Perjuangan orang tua mereka membuahkan hasil, mereka tahu keberadaan si Taram dan Nurhaida. Encik Abas, orang tua Nurhaida mengirimkan orang suruhan untuk membujuk Nurhaida supaya mau pulang ke kampung halamannya. Orang suruhan tersebut akhirnya berhasil membujuk Nurhaida. Berangkatlah Nurhaida dengan orang suruhan tersebut untuk menuju ke kampung halamannya. Selang beberapa waktu, tibalah Nurhaida di kampung halamannya. Alangkah terkejutnya seluruh warga kampung mengetahui kepulangan sang bintang kampung yang sudah lama hilang. Si Taram mengetahui keberangkatan istrinya, ia pun merencanakan untuk kembali ke kampungnya supaya dapat bertemu dengan Nurhaida.
Tahapan Akhir Kembali Si Taram datang dengan menyamar menjadi orang Arab dengan nama Syekh Wahab dan menjadi seorang pedagang obat-obatan. Beberapa lama kemudian si Taram mendapat kepercayaan di kampung tersebut untuk menjadi guru mengaji, menjadi imam di mesjid, serta menjadi Khotib tatkala Juma’tan. Tanpa di duga Encik Abas berniat untuk mengawinkan Nurhaida dengan Syekh Wahab yang tidak lain adalah si Taram. Mendengar berita pernikahan tersebut seluruh warga kampung gempar, reaksi beragam pun muncul, sebagian warga kampung ada yang menghujat Nurhaida sebagai wanita yang tidak setia kepada suaminya. Dilaksanakanlah pernikahan antara guru mengaji dengan Nurhaida. Tanpa terasa sudah beberapa bulan Syekh Wahab dan Nurhaida menikah, mereka terlihat bahagia. Semua warga kampung terlihat sibuk, ternyata hari itu bertepatan dengan tanggal 30 Ramadhan, berarti keesokan harinya adalah hari Raya Idul Fitri, hari yang ditunggu oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia untuk saling maaf memaafkan. Gema takdir pun berkumandang sepanjang malam, mengagungkan kebesaran Sang Maha Pencipta yaitu Allah SWT. tibalah saat untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, Syekh Wahab pun di tunjuk untuk menjadi Imam. Siapa yang menyangka di hari besar itu terjadi pula suatu kejadian yang besar, dimana akhirnya Syekh Wahab membuka jati dirinya selama ini, setelah khotbah ia memangkas seluruh janggutnya yang pada akhirnya semua orang tahu bahwa dia adalah si Taram, anak yang telah lama pergi dari kampung itu. Enam bulan setelah kejadian tersebut, si Taram akhirnya tetap menjadi guru mengaji dan imam di kampung tersebut.
Sudut Pandang Third-Person-Limited (Diaan Terbatas) Sudut pandang dalam novel “Kasih Tak Terlarai” adalah sudut pandang orang ketiga. Sudut Pandang Third-Person-Limited (Diaan Terbatas) Kembali
Gaya Bahasa Dalam penulisan novel yang berjudul “Kasih Tak Terlarai” pengarang banyak menceritakan adat istiadat yang terdapat di daerahnya. Pada umumnya dalam setiap novelnya pengarang menggunakan bahasa melayu , pantun, serta terdapat beberapa majas, diantaranya : 1. Majas personifikasi 2. Majas metafora, dan 3. Majas hiperbola. Kembali Lanjut
Riwayat Hidup Penulis Suman H.S adalah seorang diantara pengarang-pengarang prosa pada zaman baru Indonesia yang mempunyai kedudukan tersendiri. Ia lahir di Bengkalis tahun 1904, setelah tamat dari Sekolah Rakyat, ia mengambil ujian guru bantu (kweekeling). Kemudian menyelesaikan pendidikan di Sekolah Guru (Normal-Scholl) di Langsa. Pada tahun 1923, ia menjadi guru di Sekolah Rakyat (H.L.S) di Siak Sri Indrapraja. Kemudian tahun 1930 menjadi Kepala Sekolah Rakyat di Pasir Pengarajan, setelah merdeka ia menjadi kepala Inspeksi Sekolah Rakyat pekan Baru. Dalam Menulis, ia selalu menggunakan bahasa segar penuh humor. Kendatipun ia masih menggunakan bahasa Melayu yang lama, namun pandangannya tentang bahasa telah jauh berbeda dari pengarang sebelumnya. Itulah sebabnya ia tidak banyak digolongkan ke dalam baris pengarang lama. Buah karyanya yang telah diterbitkan adalah : 1. Percobaan Setia 2. Mencari Pencuri Anak Perawan 3. Kawan Bergelut 4. Sajak-sajak dalam majalah Pujanggga Baru Kembali Lanjut
Sekian dan Terima kasih !!! Wassalamualaikum Wr. Wb
Pujangga-pujangga Rustam Effendi (Angkatan ‘20) Sanusi Pane (Angkatan ‘20) Suman Hs (Angkatan ‘33) Chairil Anwar (Angkatan ‘45) Taufiq Ismail (Angkatan ‘66)