Dinamika Konflik, Perjanjian Damai, dan Kesejahteraan Surwandono Direktur Eksekutif IICR (Institute for Islamic Conflict Resoution)
Politik Relasi Konflik di Mindanao
Dinamika Kompleksitas Konflik di Mindanao Konflik Mindanao sebagai Masalah Primordial; khususnya antara etnis Moro dengan etnis Nasrani (tahun 1970-an), saling kecurigaan satu sama lain Meluasnya masalah primordial, karena ada asumsi bahwa pemerintah Filipina identik dengan orang nasrani (Katolik-Konstitusi)) dan orang Moro sebagai Muslim dan berhaluan Fundamentalis (shariah) Ada upaya marginalisasi demografi, social-ekonomi, tanah, adat istiadat dan politik dari regim Filipina terhadap Mindanao (khususnya di era Marcos) Konflik Mindanao, sebagai masalah instrumentalis, sebuah pertarungan elit politik untuk mendapatkan kekuasaan. Terkait dengan asumsi kuatnya tradisi “pengusaha kekerasan” di Mindanao. Konflik mengalami ekskalasi tatkala kepentingan elit Mindanao maupun Filipina mengalami ekskalasi, konflik sebagai bentuk mobilisasi elit kepada massa untuk memperjuangkan kepentingannya.
Konflik Mindanao terjadi tarik menarik, antara problem domestic dengan problem internasional. Filipina senantiasa menyatakan bahwa konflik Mindanao adalah problem domestic sehingga keterlibatan fihak ke III justru memperluas masalah, sedangkan bagi kelompok Moro, konflik Mindanao merupakan problem internasional, keterlibatan fihak ke III menjadi sebuah kebutuhan. Konflik Mindanao sebelumnya inherent dengan konflik Moro, hal ini didasarkan asumsi bahwa ketika berbincang tentang Mindano pasti berbincang tentang Moro. Mindanao similar dengan Moro. Konstruksi terhadap konflik Mindanao mengalami perubahan, bagi orang Mindanao Muslim, setelah melalui pertimbangan historis dan sosiologis, Muslim Mindanao mengidentikan dirinya dengan Moro sebagai alat kohesivitas dalam upaya membangun Bangsamoro Merdeka. Dengan mengidentikan diri sebagai Moro, maka probabilitas untuk dapat mendirikan Negara terpisah dari Filipina akan lebih besar daripada membentuk Mindanao Merdeka. Sebab hanya ada sekitar 13 pulau saja yang terdapat mayoritas Muslim dan sampai tahun 1980, ternyata hanya sekitar 4-5 propinsi saja yang mayoritas Muslim, yakni Basilan, Tawi-Tawi, Sulu, Maguindanao dan Lanao del Sur. Dan bagi pemerintah Filipina, pillihan konflik Mindanao , Muslim tetap dalam konteks Mindanao bukan Moro, karena didasarkan asumsi bahwa dengan tetap mempertahankan konsep Mindanao sebagai upaya untuk mempertahankan teriotorial di wilayah mayoritas Muslim .
Konstruksi konflik Moro yang sebelumnya berbasis konflik etnis berubah menjadi konflik separatism, dari konflik separatism menjadi konflik tentang otonomi, dan berubah menjadi konflik dengan nuansa terorisme. Separatisme sebenarnya hanya menghasilkan dua kelompok yang berseberangan yakni Muslim Mindanao di satu sisi dengan pemerintah Filipina di sisi lain, namun dengan disepakatinya Tripoli Agreement yang menawarkan solusi otonomi bukan federasi bagi konflik Mindanao Muslim justru melahirkan faksionalisasi konflik, di dalam faksi Muslim Mindanao muncul 3 kelompok besar, yakni MNLF, MILF, Abu Sayyaf, di sisi lain faksi kelompok Nasrani yang sebelumnya sudah tereduksi dalam aspirasi pemerintah kembali menguat, karena pilihan otonomi bagi Moro justru memkhawatirkan bagi kelompok Nasrani akan politik balas dendam dari Muslim Mindanao terhadap Moro, di sisi pemerintah Filipina pilihan otonomi membuat langkah kebijakan represif terhadap Mindanao Muslim menjadi dilematis. Terdapat perbedaan cara pandangan yang sangat divergen dalam politik terhadap Mindanao di dalam Konggres, partai politik dan militer. Kuatnya konstruksi kelompok hawkish dibandingkan dengan kelompok doves, terkait dengan entrepreneur of violence, baik di dalam faksi Moro maupun militer Filipina. Kelompok hawkish mendominasi wacana dalam konflik Mindanao, dalam kelompok Muslim Mindanao kelompok hawkish lebih didominasi oleh kelompok dengan idiologi Fundamentalis seperti MILF, maupun ASG sedangkan kelompok hawkish di Filipina lebih didominasi oleh kelompok konservatif baik di Parlemen maupun di dalam struktur militer.
Politik Identitas MNLF dan MILF Variable MNLF MILF Idiological orientation Secular-Nationalist Islamic-Revivalist Leadership style Centralized Consultative Etnic allegiance Tausug Maguindanao Historical Sultanate Sulu Educational Background from elite University of Philippines Al-Azhar Family Common Elite Role of Ulama not significant Significant Maximum objectivity Independent State Islamic Independent State
Kontribusi Sumber Alam Mindanao Bagi Filipina Items Kontribusi Suplai beras 25% Suplai Cattle and Tuna 67% Suplai jagung, ayam, ikan 50% Suplai buah-buahan 100% Suplai Plywood, venner 90% Nikel 63.00% Emas 48.30% Sumber daya hutan 35% Pertanian 38%
Muhammadiyah Perlu Mendesain Agar perjanjian Damai menjadi produktif Beberapa Lesson Learned Dari Proses Perjanjian Damai Dalam Konflik Mindanao: Muhammadiyah Perlu Mendesain Agar perjanjian Damai menjadi produktif
Derajat Legitimasi Pemerintah Filipina Tatkala Menginisiasi Perjanjian Perdamaian Untuk Mindanao cenderung rendah
Politik Negosiasi Dalam Regim Manila Rapuh
Derajat Angka Pengangguran Justru Meningkat Pasca Perjanjian Damai 1996
Pendapatan Per Kapita Penduduk Mindanao Justru Menurun Pasca Perjanjian Damai
Indeks Kesejahteraan di Mindanao Justru Menurun Pasca Perjanjian Damai
Tingginya Politisasi Negosiasi Yang Menyebabkan Perjanjian Damai Menjadi Tidak Produktif Politisasi Delegasi Conflict Output dan Outcome Buruk Politisasi Presisi Politisasi Obligasi Regim Konversi Negosiasi Yang Ambigu
Derajat Kemiskinan di Mindanao Justru Meningkat Pasca Perjanjian Damai
Prosentase Bantuan USAID untuk Mindanao (Issue Kesejahteraan Minor)
Prosentase Penggunaan Budget Pasca Perjanjian Damai Justru Elitis
Bagaimana Muhammadiyah Harus Bersikap ? Membangun Regim Perdamaian Yang Partisipatif-konstruktif, bukan regim yang berwatak elitis-instrumentalis Mengurangi ruang politisasi dalam regim negosiasi dalam proses pelembagaan regim perdamaian dalam masyarakat melalui peningkatan kapasitas penduduk dan organisasi sipil dalam masyarakat yang mengalami konflik dalam skema DDR yang partisipatif