Tugas UAS Pai 2010 Oleh: Umi Hanisah
A. Nasab Anak Di Luar Nikah 1. Nasab anak di luar nikah berdasarkan hukum Islam. Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang artinya: “Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hatidalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri- isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka (sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
2. Nasab Dalam Hukum Perkawinan Indonesia Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah. Hukum perkawinan di Indonesia ini meliputi : a. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 b. Peraturan pemerintah no.9 tahun 1975 c. Kompilasi hukum Islam
3. Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional. Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Yang dimaksud dengan anak di luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain: a. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya
B. Pendapat MUI dan MK Tentang Anak Di Luar Nikah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan tentang status anak di luar nikah. Putusan ini mengubah pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang sebelumnya tidak mengakui anak di luar nikah. Keputusan MK yang tertuang dalam Nomor 46/VIII/2010 pada 17 Februari 2012 tentang anak yang lahir di luar perkawinan ini banyak menuai kontroversi dari pemuka agama. MK memutuskan anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata (status hukum) dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Menurut Mahkamah Konstitusi, pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) dari frasa "yang dilahirkan di luar perkawinan" perlu memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas dan perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Melihat keputusan yang dikeluarkan oleh MK ternyata ditentang keras oleh pemuka agama. Baik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan orgamisasi Islam lainnya. Bahkan MUI sampai mengeluarkan fatwa. Fatwa MUI tersebut adalah “anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Selain itu, anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan ibunya serta keluarga ibunya”. Fatwa MUI tersebut jelas menentang keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa anak di luar nikah mendapatkan perlindungan hukum. Ketua Dewan Pimpinan MUI, Ma'ruf Amin mengatakan keputusan fatwa ini menggunakan hukum agama Islam. Dalam agama Islam kata dia, anak dari hasil zina, itu dari segi nasabnya tidak bisa dinisbahkan pada orang tuanya. “Fatwa MUI ini justru meneguhkan perlindungan terhadap anak. Salah satunya, dengan mewajibkan lelaki yang mengakibatkan kelahiran anak untuk memenuhi kebutuhan anak. Selain itu, fatwa juga melindungi anak dari kerancuan nasab yaitu anak dari dari hasil zina tidak punya hubungan nasab, wali nikah dan waris.
Kelemahan dan Kelebiahan MK Kelebihan 1. Masa depan anak lebih terjamin. 2. Kehidupan anak terlindungi. 3. Nasib anak di luar nikah menjadi jelas. 4. Lelaki yang mengakibatkan kelahiran anak berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak. Kelemahan 1. Masyarakat menjadi bingung atas putusan yang berbeda-beda. 2. Menimbulkan pertentangan dan perselisihan di berbagai kalangan.
MUI Kelebihan 1. Lebih Islami 2. Bedasar atas hukum agama Islam. Kelemahan 1. Lelaki yang mengakibatkan kelahiran anak menjadi tidak peduli karena tidak adanya kewajiban memenuhi kebutuhan anak. 2. Kewajiban memenuhi kebutuhan anak hanya pada Ibu. 3. Masa depan anak tidak terjamin dan kurang mendapatkan perlindungan.
C. Kesimpulan Hukum Islam menetapkan nasab sebagai legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan hubungan darah, sebagai akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan pengakauan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya, notabenenya anak tersebut berhak mendapatkan hak dan kewajibannya dari ayahnya, selanjutnya mempunyai hak dan kewajiban pula dari keturunan ayahnya. Status anak di luar nikah yakni anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut Hukum Islam disamakan dengan anak zina dan anak li’an. Konsekwensinya adalah tidak ada hubungan nasab anak dengan bapak biologisnya, tidak ada hak dan kewajiban antara anak dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Bila kebetulan anak itu adalah perempuan, maka bapak biologisnya tidak dapat untuk menjadi wali. Sehingga yang dapat menjadi wali anak luar nikah hanya khadi. Dalam hukum perkawinan di Indonesia pengaturan tentang nasab anak di luar nikah, hanya secara implisit di pahami bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, ini berarti anak tersebut tidak mendapatkan hak dan kewajiban dari bapak biologisnya. Tidak ada anak yang mau dilahirkan dari hasil perzinahan. Semua anak yang lahir ke dunia dalam keadaan suci. Anak memiliki hak untuk tumbuh kembang dan hidup layak. Hal tersebut juga sudah tertuang dalam Undang-undang perlindungan anak. Dalam undang-undang tersebut setiap anak memiliki hak yang sama. Termasuk di antaranya memiliki akta kelahiran dengan mencantumkan nama bapaknya. Di dalam undang-undang disebutkan setiap anak berhak mengetahui siapa ayah dan ibunya. Melindungi hak anak berbeda dengan mendukung perzinahan. Jika memang yang harus dihukum adalah orang tuanya yang berzina. Jangan menghukum seorang anak yang tidak berdosa.