2. Tanda visual dalam bahasa rupa (Penjelasan bahasa rupa & semiotika Pertemuan II Dosen : Samodro.SSn.M.Hum. Mata Kuliah : Desain Grafis I ( 6 SKS) (MODUL UNTUK KALANGAN SENDIRI) http://www.mercubuana.ac.id 2. Tanda visual dalam bahasa rupa (Penjelasan bahasa rupa & semiotika PERKEMBANGAN DESAIN GRAFIS DI INDONESIA Perkembangan desain grafis di Indonesia banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi cetak itu sendiri. Tahun 50-60an teknologi cetak masih didominasi teknologi grafir maka tampilan desain grafis (terutama iklan) saat itu banyak menampilkan ilustrasi dibandingkan fotografi. Perkembangan desain grafis di Indonesia selanjutnya banyak dipengaruhi teknologi mesin cetak offset yang pertama kali digunakan (didaerah Ancol). Teknologi baru ini telah merubah cara kerjanya karena percetakan ini tidak lagi menggunakan bantalan. Teknologi offset (dengan teknologi manual) ini mulai digunakan pada tahun 1970-1973. Perkembangan percetakan lebih berkembang lagi dengan menggunakan filem sehingga proses kerjanya tanpa menggunakan klise timah yang berat. Pada awal-awal era 90an beberapa percetakan telah menggunakan computer namun penggunaanya masih sebatas untuk setting huruf dan gambar saja. Saat ini perkembangan teknologi cetak semakin maju pesat dan mudah. Desainer dapat lebih mudah mengimplementasikan gagasannya melalui proses cetak digital yang semakin mudah dan cepat. Di dalam gaya dan ide maka pada awal-awal perkembangan desain grafis di Indonesia masih sangat miskin gagasan. Pada era sebelum tahun 80an maka gagasan umumnya masih seragam,setelah era 80an desain grafis mulai dikaitkan antara produk dengan target audien. Pada karya-karya desain grafis untuk iklan layanan masyarakat maka peran politik penguasa saat itu lebih menentukan dalam gagasan visualnya. Desain grafis pada kepemimpinan Sukarno lebih menekankan gagasan pada kebanggaan identitas bangsa, pada jaman Suharto maka desain grafis banyak menjadi perpanjangan konsep politik Suharto, yang banyak menjabarkan masalah politik, ekonomi dan sosial budaya penguasa saat itu. Pada dasarnya, perubahan budaya bangsa Indonesia dari budaya tradisi yang pluralis yang tersebar diseluruh pelosok daerah hingga perubahan budaya yang menuju moderen yang universal banyak dijumpai pada karya-karya desain grafis di Indonesia tahun 70-80an. Selanjutnya desain grafis yang moderen telah mengacu pada desain-desain dari Barat (Amerika) sehingga terjadi perkembangan
Produk/ gagasan yang Di Desain Nilai Tambah Produk Sebuah desain yang baik harus dapat memberi perhatian visual (attention). Desain tersebut awalnya harus dapat mengganggu secara visual. Selanjutnya desain tersebut harus dapat menarik perhatian (interest), menimbulkan keinginan (desire), menanamkan keyakinan pada sasaran (conviction) dan selanjutnya dapat membangun sikap konsumen/sasaran untuk melakukan tindakan/aksi (action). Saat ini merupakan era yang mudah seseorang menjadi desainer. Salah satu penyebab seseorang dapat menjadi desainer adalah peluang kemudahan teknologi sehingga seseorang yang dapat menguasai teknologi (computer) dan memiliki gagasan ide dapat dengan mudah membuat sebuah karya desain grafis. Menjadi desainer grafis dapat dilakukan oleh seseorang yang tidak belajar melalui pendidikan formal. Disamping itu belum ada organisasi profesi yang mengatur seseorang bekerja sebagai desainer grafis. Fenomena tersebut merupakan dampak dari membanjirnya teknologi baru yang telah memudahkan teknis pekerjaan desain (grafis). Pada sisi lain adalah setiap orang dapat dengan mudah mengklaim dirinya sebagai desainer, seperti halnya menjadi penyanyi (padahal sekolah khusus sebagai penyanyi mungkin dirancang dengan kurikulum yang sangat rumit). Sebagai contoh adalah seseorang yang melewati pendidikan diluar desain (misalnya kedokteran) http://www.mercubuana.ac.id
Karya desain yang dihasilkan merupakan tanda visual yang secara fungsional dapat menginformasikan sesuatu. Seorang desainer grafis selanjutnya harus mempertimbangkan kemungkinan pesan melalui tanda agar dapat dipahami sasaran. Seorang desainer harus memiliki wawasan dan kepekaan terhadap perilaku sasaran. Aspek budaya dan psikologi sasaran merupakan bagian yang harus dipahami seorang desainer. Apabila sasaran yang dituju adalah manusia maka terjadi sebuah proses signifikasi. Proses tersebut harus menimbulkan sebuah atau lebih respons intrepetatif oleh sasaran yang dituju. Proses intrepetatif ini dimungkinkan oleh adanya kode yang dimengerti oleh intrepetan. Pemahaman aspek budaya dan psikologi sasaran adalah bagian yang dapat digunakan untuk memprediksi kode yang dimiliki sasaran. Di dalam melakukan interpretasi terhadap tanda pada sebuah karya desain harus dipahami latar budaya, yakni konvensi budaya masyarakat pendukung tanda tersebut. Charles Sanders Peirce yang menyebut latar budaya merupakan keseluruhan dari peraturan, perjanjian, dan kebiasaan yang dilembagakan yang kita sebut sebagai kode. Pemahaman mengenai kode tanda yang dimiliki sasaran proses terbentuknya umumnya didasari oleh latar budaya sehingga terkonvensi di dalam kehidupan masyarakatnya. Pemahaman ini akan memudahkan menggunakan tanda visual yang dimengerti sasaran. Desainer grafis harus mampu memahami pikiran sasaran sehingga tanda yang dibuatnya akan lebih mudah dipahami karena sasaran memiliki kodenya. Umumnya didalam budaya sebuah masyarakat sasaran telah ada tanda simbolik yang telah lama terkonvensi dalam pikirannya. Namun seiring dengan perkembangan budaya masyarakat sasaran maka tanda-tanda simbolik yang telah terkonvensi tersebut telah dilupakan, sehingga kemungkinan yang lebih mudah dalam melakukan intrepetasi tanda melalui ikonositas. Seorang produsen tanda (desainer) harus merancang tanda dalam kegiatan komunikasi dengan pertimbangan tanda yang dapat dimengerti sasaran. Deskripsi panjang yang menjelaskan mengenai tanda simbolik tersebut hanya dapat dipahami oleh sebagian orang (yang masih ingat saja!), sehingga pemahaman melalui ikonositaslah yang paling mudah. Intrepetasi tanda simbolik hanya dapat dipahami oleh sasaran yang memahami konteks tanda tersebut. Di dalam budaya moderen, pemahaman mengenai falsafah sebuah budaya tersebut mulai menipis sehingga pemaknaan secara ikonositas-lah yang lebih memiliki daya semiotis yang lebih kuat sehingga dapat menembus batas- batas wilayah budaya. Misalnya didalam merancang sebuah logo maka tanda yang digunakan sebaiknya mengacu pada aspek visual yang memiliki daya semiotic yang kuat. http://www.mercubuana.ac.id