“ Mil di Bawah Laut” dan Gubuk Penceng: Sebuah teka-teki astronomi Berikut ini adalah kutipan dari buku Vingt Mille Lieues sous les mers (Dua Puluh Ribu Mil di Bawah Laut) karya Jules Verne, Bagian Kedua, Bab XV: “Le lendemain, 22 mars, à six heures du matin, les préparatifs de départ furent commencés. Les dernières lueurs du crépuscule se fondaient dans la nuit. Le froid était vif. Les constellations resplendissaient avec une surprenante intensité. Au zénith brillait cette admirable Croix du Sud, l’étoile polaire des régions antarctiques.” –Jules Verne, Vingt Mille Lieues sous les mers: Deuxième partie, Chapitre XV, Accident ou incident ? (Pagi berikutnya, 22 Maret, pukul enam pagi, persiapan untuk keberangkatan telah dimulai. Berkas senja terakhir meleleh bersama malam. Dingin begitu terasa. Rasi-rasi bintang bersinar terang mengagumkan. Di zenith bersinar Salib Selatan yang mengagumkan, bintang kutub di daerah antarktika. –Jules Verne, Dua Puluh Ribu Mil di Bawah Laut: Bagian Kedua, Bab XV, Kecelakaan atau insiden?) Pertanyaannya, terkait dengan kutipan di atas adalah: 1. Mungkinkah Salib Selatan berada di zenith, bila kita berada di Kutub Selatan? 2. Jika tidak, kalau begitu pada lintang berapakah Nautilus berada? 3. Apakah Salib Selatan nampak sebagai “bintang kutub di daerah antarktika” (“l’étoile polaire des régions antarctiques”)? Sumber: Problem No dalam buku Astronomical Problems (1969) oleh Boris Vorontsov-Velyaminov. Jawabannya adalah (1) tidak, (2) sekitar 60 derajat Lintang Selatan, dan (3) tidak. Vorontsov-Velyaminov rupanya ingin menyinggung kenyataan bahwa Jules Verne mencampuradukkan pengertian rasi/konstelasi dengan bintang–yang membentuk rasi. Rasi atau konstelasi adalah gambar-gambar yang dibentuk oleh astronom di jaman kuna dengan cara menarik garis-garis khayal di langit dari satu bintang ke bintang lain. Tentu saja gambar yang dibentuk terserah imajinasi para astronom, dan kebanyakan berasal dari mitologi-mitologi lokal (ataukah sebaliknya? Mitologi lokal berasal dari usaha astronom menjelaskan pergerakan benda langit?). Oleh karena itu, setiap kebudayaan memiliki rasi-rasinya masing-masing. Sekelompok bintang yang sama dapat diartikan berbeda oleh kebudayaan (bahkan individu) yang berbeda, sesuai dengan imajinasi masing-masing. Coba saja lihat dua gambar di bawah. Orang-orang Yunani dan Babylonia kuno membayangkan gambar di kiri sebagai seorang pemburu yang kemudian diberi nama “Orion” oleh orang-orang Yunani, dan jadilah tatanan bintang tersebut diberi nama “Rasi Orion.” Salib Selatan, atau Crux, adalah salah satu rasi yang tercipta dari penjelajahan bangsa Eropa dalam pencarian jalur menuju sumber rempah- rempah. Karena Bumi bulat, maka tidak semua porsi langit dapat terlihat dari suatu tempat manapun di Bumi. Kelengkungan Bumi itu sendiri yang menutupi sebagian porsi langit. Oleh karena itu, saat pertama kali menjelajahi Samudra, untuk pertama kalinya pelaut-pelaut Eropa melihat langit yang menaungi Bumi bagian selatan. Pemetaan langit selatan pun dilakukan, salah satunya oleh Frederick de Houtman. Frederick dan adiknya, Cornelis, bersama-sama menjadi orang-orang Belanda pertama yang mencapai kepulauan Indonesia. Bersama dengan astronom Pieter Keyzer, Frederick memetakan langit selatan dan menghasilkan katalog bintang yang kemudian dijadikan basis oleh Johannes Bayer dalam penyusunan atlas Uranometria. Dari sini terciptalah Crux atau Salib Selatan. Ratusan tahun kemudian, di abad modern (tepatnya pada tahun 1930), Ikatan Astronomi Internasional (IAU) lalu mengadopsi 88 rasi yang kini kita kenali bersama-sama, bersama dengan batas-batas resminya. Salib Selatan adalah rasi dengan areal paling kecil, namun mengandung bintang-bintang yang paling terang di langit. Kekeliruan Jules Verne di paragraf di atas adalah ia menulis Salib Selatan sebagai “bintang kutub
daerah Antartika.” Kesalahannya ada dua: Pertama, Salib Selatan bukanlah bintang, melainkan rasi yaitu sekelompok bintang-bintang yang diimajinasikan membentuk gambar (dalam hal ini: Salib). Kesalahan kedua terkait dengan bintang kutub. Bila kita memotret langit dalam jangka waktu yang lama, kita dapat melacak pergerakan bintang di langit. Bintang bergerak melingkar mengikuti gerak rotasi Bumi pada sumbunya. Namun, bintang Polaris tidak ikut bergerak karena posisinya berada persis di atas sumbu rotasi Bumi. Bintang kutub adalah bintang yang posisinya persis di atas sumbu rotasi Bumi. Sebagaimana kita ketahui, Bumi berputar bagaikan gasing raksasa pada sebuah sumbu. Di permukaan Bumi, lokasi kedua sumbu ini berada di tempat yang kita namakan Kutub Utara dan Kutub Selatan. Bila kita berada persis di Kutub Utara dan melihat langit yang persis ada di atas kita, maka kita akan melihat sebuah bintang cukup terang yang diberi nama Polaris atau Bintang Utara. Karena lokasinya yang sangat spesial ini, para pramuka di Bumi Belahan Utara diajari untuk dapat mengenali bintang dan rasi tempat bintang ini berada, agar mereka dapat menentukan arah bila tersesat. Karena rotasi Bumi inilah maka semua benda langit bagaikan bergerak dan dari waktu ke waktu berubah posisinya: terbit di Timur dan tenggelam di Barat. Namun, karena Polaris terletak persis di atas sumbu rotasi Bumi, maka bintang tersebut tidak bergerak dan diam di langit. Posisi spesial Polaris membuat Kong Hu-Cu menjadikannya contoh dalam sebuah perumpamaannya: “Jadilah pemimpin yang bijaksana, niscaya engkau akan seperti Bintang Utara: Ia diam di tempatnya sementara bintang-bintang lain memposisikan diri di sekitarnya.” Bila di Langit Utara ada Bintang Kutub bernama Polaris, adakah Bintang Kutub di Langit Selatan? Ternyata ada juga, sebuah bintang bernama Sigma Octantis. Apabila kita mungkin pernah mendengar nama Polaris atau Bintang Utara, mengapa Sigma Octantis terasa asing di telinga? Hal ini karena Sigma Octantis adalah bintang redup yang hampir-hampir tak terlihat mata telanjang. Dalam terminologi astronomi, Sigma Octantis punya magnitudo 5.5 (ambang kemampuan mata adalah sekitar magnitudo 6), sementara Bintang Utara jauh lebih terang: magnitudonya 2. Artinya, Polaris 25 kali lebih terang daripada Sigma Octantis. Oleh karena itu, wajarlah apabila kita lebih mengenal Polaris daripada Sigma Octantis: tanpa alat, kita lebih mudah menemukan Polaris. Sebagai gantinya, pramuka-pramuka di Langit Selatan umumnya diajari untuk dapat mengenali Crux atau Salib Selatan ini. Di negeri kita ini, Rasi Salib Selatan lebih dikenal sebagai Rasi Gubuk Penceng, karena imajinasi nenek moyang kita yang bangsa petani lebih cocok membayangkan kelompok bintang tersebut sebagai sebuah saung yang miring. Rasi ini tidak persis berada di sekitar Sigma Octantis, letaknya sekitar 30 derajat dari “Bintang Selatan” tersebut. Namun, sumbu terpanjang salib tersebut menunjuk ke arah Sigma Octantis. Oleh karena itu, apabila kita dapat menemukan rasi ini di langit dan menarik garis pada sumbu terpanjang salib tersebut, kita dapat menemukan arah selatan. Apabila kita berada persis di Kutub Utara, maka Polaris akan berada tepat di atas kita. Apabila kita berada persis di Kutub Selatan, maka Sigma Octantis akan berada persis di atas kepala kita. Dalam narasi Jules Verne, dia menulis bahwa Salib Selatan berada di zenith, persis di atas kepala. Karena Salib Selatan letaknya sekitar 30 derajat dari Sigma Octantis, maka tidak mungkin Kapten Nemo bisa berada di Kutub Selatan apabila ia mengamati Salib Selatan berada persis di zenith. Dengan demikian jawaban pertanyaan nomor satu adalah tidak. Kalau begitu, di manakah lokasi Kapten Nemo? Tentunya sekitar 30 derajat dari Kutub Selatan, yang berlokasi di 90 derajat Lintang Selatan. Jadi lokasi Nautilus ada di Lintang 60 derajat Selatan.