Politik Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Nasional Bambang Widjojanto
FAKTA SOSIOLOGIS INDONESIA De facto, Indonesia adalah adalah suatu negara yang memiliki keragaman penduduk dengan beragam latarbelakang sosial dan budaya. Keragaman dimaksud juga telah diikat dan diangkat dengan sebuah motto ”Bhinneka Tunggal Ika”. Keragaman itu secara politik diikat menjadi satu oleh satunya bangsa, tanah air dan bahasa, yaitu Indonesia; Secara de jure, keragaman sosial budaya juga disertai dengan keragaman hukum adat dan kebiasaan dimana disebagian masyarakat Indonesia hukum adat dan kebiasaan tersebut masih hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, seperti di: Papua, Dayak, Samin, Badui dan lain sebagainya;
Indonesia adalah negara dengan penduduknya mayoritas beragama Islam tetapi Indonesia bukanlah Negara Islam. Kendati Hukum Islam tidak menjadi sendi dan dasar hukum untuk tata kehidupan masyarakat secara keseluruhan tetapi dalam soal hukum tertentu digunakan hukum Islam, yaitu antara lain mengenai: perkawinan dan waris; Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa ”negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia...”.
Pada aras politik, karakter kekuasaan berkembang melalui gagasan desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kebijakan daerah kecuali kebijakan yang menyangkut hal-hal antara lain: keamanan, keuangan, luar negeri; Politik Ekonomi dan pengelolaan kekayaan alam berkembang kearah liberalisasi sedangkan konstitusi meletakannya dalam faham sosialisme
BENTUK & TUJUAN NEGARA Negara Hukum yang Demokratis “…Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur…” “…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…” {Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 38I ayat (5) dan Pembukaan UUD}
dalam bidang hukum pidana yang bersumber dari nilai-nilai POLITIK HUKUM ? Kebijakan dasar dalam bidang hukum pidana yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan
POLITIK HUKUM Konfigurasi politik sebagai variabel bebas dapat mempengaruhi karakter produk hukum sebagai variabel terpengaruh; pembentukan hukum konfigurasi kekuatan politik yang ada di parlemen dan/atau kelompok ”vested interest” akan berpengaruh dan mempengaruhi karakter produk hukum yang dihasilkan parlemen tersebut; Contoh Pembuatan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
Nilai yang Berkembang di dalam Masyarakat Adanya kebutuhan Transitional Justice yang melindungi kepentingan korban; Adanya “pergulatan” antara Kantianisme vs Utilitarianisme; Adanya “pergulatan” antara sistem civil law dan common law; Adanya nilai “masyarakat adat” vs masyarakat digital; Adanya pemahaman yg bersifat Sekulerisme vs Religiusitas
“DILEMA” DALAM POLITIK HUKUM Legalitas vs “Living Law” Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menegaskan keberpihakan pada “living Law” nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat; Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Kantianisme vs Utilitarianisme Sebagian studi rakyat menginginkan hukum mati tetap diberlakukan “tanpa syarat” u/ kejahatan tertentu; Putusan Mahkamah Konstitusi masih “menjustifikasi” adanya hukuman mati; Sebagian kalangan hukuman mati sudah “kurang relevan”; dan dalam pergaulan u/ kerjasama internasional u/ kejahatan transnasional
TRANSITIONAL JUSTICE? Di dalam RUU KUHP Justice yg berpihak pada korban kejahatan Ada “perubahan” dari teori absolut menuju relativisme; Ada Pergerakan dari Punishers menuju ke Reducers; Pemidanaan belum sepenuhnya dapat menimbulkan Efek Deterent; dan belum dieefektifkan sebagai akat untuk mencegah suatu kejahatan.
(1) Pemidanaan bertujuan: Pasal 54 (RUU KUHP) (1) Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan e. memaafkan terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan : a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. (2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pasal 60 RUU KUHP (1) Jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. (2) Jika pidana penjara dan pidana denda diancamkan secara alternatif, maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan, kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif, dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut.
Peraturan Perundangan yang Dapat Menetapkan Politik Hukum?. MPR berwenang menetapkan dan merubah Undang Undang Dasar (sesuai Pasal 3 ayat {1} UUD 1945); DPR bersama Presiden berwenang mengajukan Rancangan Undang Undang, membahasnya untuk mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presdien, serta selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi Undang Undang (Pasal 5 ayat {1} juncto Pasal 20 ayat {1} {2} {3} {4} UUD 1945); Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Peraturan Pemerintah (PP), serta Peraturan Presiden (Perpres) seperti diatur di dalam Pasal 22 ayat (1) juncto Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 UUD 1945; Peraturan Daerah