OPERATIONAL HTI REVIEW RPP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DAN DAMPAKNYA TERHADAP INVESTASI KEHUTANAN Ir. NANA SUPARNA Disampaikan dalam : FGD PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT Jakarta, 22 Juli 2014 REVIEW RPP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DAN DAMPAKNYA TERHADAP INVESTASI KEHUTANAN Ir. NANA SUPARNA Disampaikan dalam : FGD PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT Jakarta, 22 Juli 2014
MENGAPA HTI PENTING 1.Produksi/eksport produk kayu berbahan baku hutan alam terus menurun, dan belum ada tanda-tanda bisa pulih kembali : -Ekspor sawnwood sejak tahun 2004 dikalahkan oleh Thailand & Malaysia -Ekspor produk sekunder sejak tahun 2009 digeser oleh Vietnam & Malaysia -Ekspor Plywood sejak tahun 2004 dikalahkan oleh China & Malaysia. Ini membuktikan bahwa bisnis HPH terus menurun dan belum ada tanda-tanda bisa pulih kembali, sehingga keberhasilan bisnis HTI merupakan faktor penyelamat bisnis kehutanan saat ini. 2.Produk pulp/kertas memberikan harapan, volumenya terus meningkat, dan saat ini menempati urutan ke-9 untuk produk pulp dan ke-12 untuk kertas dunia. 3.Kayu merupakan green product, jika kebutuhan kayu tidak dapat dipenuhi, maka produk substitusi kayu (baja ringan, aluminium, plastik, kalsium silikat dll) yang tidak ramah lingkungan akan bertambah banyak 4.Pembangunan HTI membuka isolasi daerah tertinggal, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi regional dan nasional. 5.Berperan positif dalam mengelola hutan produksi yang terlantar, sehingga berkontribusi pada penyerapan CO 2 dan menurunkan emisi karbon
5,75 jt Ha sudah dilepas untuk kebun Htn Sekunder tdk dibebani Hak (terlantar) = 36,99 jt Ha (8,05 jt Ha Moratorium) Izin HTI & HTR = 10,2 jt Ha Izin HPH = 22,8 jt Ha PERKEMBANGAN LUAS HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA Total Kawasan Hutan Produksi Juta Ha Sumber : APHI, diolah dari berbagai sumber PERKEMBANGAN LUAS HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA
Persebaran HTI di Beberapa Propinsi Dengan Kawasan Bergambut Dominan Persebaran HTI di Beberapa Propinsi Dengan Kawasan Bergambut Dominan
LATAR BELAKANG 1. UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan : Bab XI Pasal 96 : Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf (e) dan (g) dan Pasal 6 ayat (1) huruf (a), huruf (g) dan huruf (j), menyatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi antara lain kedayagunaan dan kehasilgunaan dan keterbukaan. Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, keadilan, keseimbangan, keserasian dan keselarasan. 2. APHI sebagai salah satu stakeholder penting yang akan menerima dampak atas diberlakukannya RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistim Gambut, kurang dilibatkan dalam pembahasan penyusunan RPP tersebut. 3. Pengelolaan lahan gambut di IUPHHK sangat bervariasi tergantung pada tipikal, ketebalan dan luas bentangannya.
SUBSTANSI & REVIEW RPP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN MASALAH 1.Pembatasan ketebalan gambut 3 m atau lebih (Pasal 9) Review : Pembatasan ketebalan gambut akan mengubah pola pengelolaan dan peruntukkan kaw. budi daya gambut yang sudah/sedang berjalan saat ini. Pembatasan ketebalan gambut 3 m atau lebih sebagai fungsi lindung ekosistim gambut tidak memiliki dasar kajian ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan Pembatasan ketebalan gambut tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap pengelolaan gambut yang menerapkan teknologi pengelolaan air (>2jt ha lahan gambut dengan ketebalan >3m telah diusahakan sebagai lahan budi daya).
SUBSTANSI & REVIEW RPP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN MASALAH Lahan gambut yang tidak diusahakan secara legal dan terlantar justru lebih banyak mengalami kerusakan, sebab tidak dikelola dengan menggunakan teknologi dan tidak ada pihak yang dapat diminta pertanggung jawabannya. 2. Penetapan fungsi lindung ekosistim gambut minimal 30% dari luas kesatuan hidrologis gambut pada puncak kubah gambut dan sekitarnya (Pasal 9 Ayat 3) Review : Penetapan hal tersebut merupakan hasil penelitian yang sifatnya spesifik lokasi (Dr. suwardi et all)
SUBSTANSI & REVIEW RPP PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN MASALAH 3. Ekosistim gambut dengan fungsi budi daya dinyatakan rusak, apabila : (1) Muka air di drainase lebih dari 1 m di bawah permukaan gambut, dan/atau (2) Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa dibawah lapisan gambut. (Pasal 23 ayat 3) Review : Kerusakan gambut berdasarkan muka air drainase tidak tepat digunakan, sebab : (1) permukaan gambut tidak rata, (2) pengukuran sulit dilakukan, ketinggian air tergantung musim, dan (3) tergantung jenis pohon yang ditanam Pirit yang muncul di permukaan dapat diatasi dengan menggunakan teknologi pengaturan air dan pemilihan komoditas yang tepat.
DAMPAK TERHADAP INVESTASI KEHUTANAN DAMPAK TERHADAP INVESTASI KEHUTANAN Ketidak pastian jaminan berusaha pemegang IUPHHK-HTI yang konsesinya berada di lahan gambut. Investor yang sedang melaksanakan pembangunan HTI terancam ketidakpastian hukum atas legalitas konsesi yang telah diberikan oleh pemerintah. Ketidak pastian pasokan bahan baku industri yang bersumber dari IUPHHK-HTI.
USULAN APHI Berdasarkan best practise baik di Indonesia maupun negara lain, kawasan gambut dapat dimanfaatkan dengan memanfaatkan pengaturan air dan program yang baik. Oleh karena itu APHI mengusulkan : Penetapan fungsi lindung ekosistem gambut agar diarahkan pada puncak kubah gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih dan letaknya tidak sporadis. Gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih di luar puncak kubah gambut, agar tidak menjadi kriteria penetapan fungsi lindung ekosistem gambut. Penetapan fungsi lindung ekosistem gambut agar menggunakan pendekatan hasil penelitian spesifik berdasarkan lokasi, sehingga tidak ada penetapan secara kuantitatif yang berlaku secara umum.
USULAN APHI Penetapan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut agar tidak diatur dalam RPP tetapi cukup dalam Peraturan Menteri sektor terkait, karena pengelolaan lahan gambut setiap sektor memiliki karakteristik tersendiri. Penyusunan RPP agar didasarkan pada pendekatan sistem pengelolaan lahan gambut secara holistik yaitu memaksimalkan pemanfaatan/budidaya lahan gambut untuk kepentingan pembangunan nasional, dengan tetap meminimalkan dampak negatif dan kondisi-kondisi yang berpotensi merusak ekosistem gambut serta melakukan upaya-upaya perbaikannya melalui input metode, teknologi, manajemen dan pembelajaran dari pengelolaan gambut (best practices) di lapangan.
Pengelolaan Gambut di HTI
KAMI MENCARI SOLUSI, TIDAK SEKEDAR MEMPROVOKASI TERIMA KASIH