PENGEMBANGAN PRAGMATIK Oleh Susandi
Kecenderungan antisintaksisme Pragmatika Linguistik Definisi Kecenderungan sosial-kritis Pragmatik Perkembangan Pragmatik Tradisi Filsafat Tradisi etnometodologi Beberapa tema dalam pragmatik Tindak tutur Politenesss/Kesantunan Presuposisi Hubungan antara sesuatu Yang Dikatakan dengan sesuatu yang lain Yang dikatakan itu Lokusi Ilokusi Perlokusi K. Berpakaian K. Berbuat K. Berbahasa Teori Relevansi/Prinsip Teori Prinsip Sopan Santun Prinsip Kesantunan Rasional dan Muka Prinsip Kerjasama Prinsip Kesantunan Formal Asertif Direktif Komisif Ekspresif Dieklaratif
Definisi Pragmatik Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersaebut [penekanan ditambahkan] (Cruse, 2000:16).
Menurut Yule (1996:3) ada empat definisi pragmatik yaitu Bidang yang mengkaji makna pembicara Bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya Bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunukasikan oleh pembicara Bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Mey (1998) seperti dikutip oleh Gunarwan(2004:5),mengungkap-kan bahwa pragmatik tumbuh dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu Kecenderungan antisintaksisme Kecenderungan sosial-kritis Tradisi filsafat Tradisi etnometodologi
Deiksis Relevansi Implikatur Pragmatik Tindak Tutur Kesantunan Presuposisi
TINDAK TUTUR Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –benar atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak.
Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori: Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.
Contoh: “Bagaimana kalau kita…kita kawin!” Tindak tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategori sekaligus yaitu : tindak tutur perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin direktif karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu (kawin dengan penutur) komisif karena mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya (kawin dengan mitra tutur) isbati karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan) tindak tutur taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan secara konvensional untuk menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra tutur melakukan sesuatu yang disebutkan dalam tindak tutur.
Implikatur Implikatur percakapan mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama”antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu.
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama. Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat maksim, yaitu (1) maksim kuantitas, memberi informasi sesuai yang diminta; (2) maksim kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) maksim relasi, memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) maksim cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkap-kan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan.
Contoh: A: “Kamu masih di sini.” B: “Bus ke Muntilan baru saja lewat.” Kalau hanya melihat kedua ujaran A dan B itu kita tidak memperoleh keterkaitan, karena A berbicara (mungkin dengan keterkejutan atau keheranan masih di sini, di Jogja) tentang B yang ada di depannya, sedangkan B berbicara tentang bus yang ke Muntilan. B tidak perlu heran, karena ada kebenaran bahwa “B ada di sini”. Meskipun A berujar demikian. Mengapa? Karena B menyadari bahwa A tahu betul seharusnya B sudah berangkat ke Muntilan (dan tidak “di sini”). Sebaliknya, A juga tidak perlu heran karena B mengucapkan kalimat itu karena kalimat B tadi merupakan alasan mengapa dia belum berangkat (dan arena itu masih di sini). Jadi, implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis makna yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.
Teori Relevansi Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, maksim yang terpenting dalam teori Grice adalah maksim relevansi. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya.
DEIKSIS Menurut Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Menurut Nababan (1987) Deiksis orang, ditentikan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa Deiksis tempat ialah pemberian tempat pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar.
KESANTUNAN Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingg kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".
Kesantunan Berpakaian Kesantunan Berbahasa Kesantunan Berpakaian Kesantunan Berbuat Tatacara bertindak atau gerak gerik ketika meng- Hadapi sesuatu atau dalam Situasi tertentu Berpakaianlah yang sopan di tempat umum, berpakaianlah yang rapi sesuai dengan keadaan Tatacara berkomunikasi Lewat tanda verbal Atau tatacara berbahasa
Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip. Penerapan prinsip kesopanan dalam berbahasa Penghindaran pemakaian kata tabu Penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus Penggunaan pilihan kata honorifik
Kesantunan sebagai fenomena pragmatik Konsep kesantunan ini kemudian berkembang menjadi lima teori kesantunan berbahasa Teori Relevansi Sperber dan Wlson (1989) Leech memperkenalkan sejumlah maksim: Principle Politeness Prinsip sopan santun Brown dan Levinson membedakan dua jenis muka: positive face dan negative face P. kesantunan rasional dan muka Prinsip kerjasama Grice (1975) memperkenalkan prinsip Kerjasama yang memuat 4 maksim
PRESUPOSISI Intuisi dasar di belakang konsep ‘presuposisi’ itu adalah hubungan antara sesuatu yang dikatakan (atau bisa dikatakan) dan sesuatu yang lain dari yang dikatakan itu. Untuk memahami definisi ini perlu dipahami konsep yang terkait, yaitu entailment (mengandung serta). Proposisi p mengandung presuposisi q jika dan hanya jika p mengandung q dan kenegatifan p juga mengandung q.
Contoh susunan yang mengandung presuposisi Harold menyesal melukai Sandra. Yang dipresuposisi: Harold melukai Sandra Penyakit Hubert kambuh lagi. Yang dipresuposisi: Hubert sebelumnya pernah sakit