Wayang Golek Kebudayaan Asli Indonesia Wayang golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan. Banyak orang beranggapan bahwa seni wayang berasal dari Negeri India. Padahal menurut R. Gunawan Djajakusumah dalam bukunya Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, hal itu tidak benar. Menurutnya, wayang adalah kebudayaan asli Indonesia (khususnya di Pulau Jawa). Perkataan wayang berasal dari Wad an Hyang, artinya leluhur, tapi ada juga yang berpendapat yaitu dari kata bayangan. Adapun yang berpendapat bahwa wayang berasal dari negeri India mungkin melihat dari asal ceritanya yaitu mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata (berasal dari Kitab Suci Hindu). Tetapi selanjutnya cerita-cerita itu diubah dan direkayasa disesuaikan dengan kebudayaan di Jawa. Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat populer. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan “bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu, dan lain-lain. Di Jawa Barat seni wayang dinamakan ‘Wayang Golek’. Artinya, menjalankan seni wayang dengan menggunakan boneka terbuat dari kayu hampir menyerupai muka dan tubuh sosok manusia gambaran wayang. Ada empat macam figur pada wayang golek, yaitu: Figur Rahwana (goleknya memakai makuta dengan model sekar kluwih dan ukirannya menyerupai ukiran zaman Kerajaan Pajajaran dan Mataram dengan keturunannya yaitu Suyudana dan Dursasana). Figur Arjuna (menggambarkan sosok pejuang sejati yang tampan dan gagah berani, bajunya memakai supit urang, seangkatannya seperti Bima dan Gatotkaca). Figur Garuda Mungkur (direka muka garuda dengan lidahnya keluar). Figur Bineka Sari (seperti pohon cemara disusun ke atas seperti pada wayang Kresna, Baladewa, Arimbi, Rama, dan Indra, figur Kuluk, asesoris bajunya memakai gambar garuda atau sumping seperti terdapat pada wayang Batara Guru, Karna, dan Kumbangkarna). Figur-figur wayang golek tersebut dibuat ada yang menggunakan patokan (ugaran) dan berdasarkan seni bakatnya sendiri (berdasarkan selera masing-masing). Pembuat wayang selama ini terdapat di daerah Bogor dan Cibiru. Bagian-bagian seni wayang golek terdiri dari: Dalang (yang memainkan boneka golek berdasarkan ceritanya); goleknya itu sendiri (jumlahnya ratusan); nayaga group atau orang yang memainkan gamelan, kendang, gong, rebab (alat musk gesek), dan juru kawih serta juru alok. Semua bagian tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Satu dengan lainnya bersinergi sesuai irama dan jalan ceritanya. Asal-usul Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit, karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 M, Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun ‘wayang purwo’ sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu. Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek. Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah cerita panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988). Jenis-jenis Wayang Golek Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan cerita babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabarata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970-1980. Pembuatan Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir, dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat, yaitu: merah, putih, prada, dan hitam. Nilai Budaya Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman-seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi contoh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat istiadat bangsa.