KECENDERUNGAN KECENDERUNGAN PERGESERAN PARADIGMATIK DALAM DISIPLIN ADMINISTRASI PUBLIK & IMPLIKASINYA Bahan Matrikulasi Sabtu, September 2012 15.30-18.00 oleh: Drs. Sudarmo, MA., Ph.D
DEFINISI PARADIGMA Core ideas Practices A set of integrated ideas which stand together to define a territory of understanding. Paradigms represent frameworks for action Paradigms have their own integrity, values and assumption
PERGESERAN PARADIGMA The Old Public Administration (OPA)/Bureaucratic Governance The New Public Management (NPM)/Market Governance The New Public Service (NPS)/Democratic Governance Sound Governance
Ide-Ide Administrasi Negara dalam NPS: (1) Melayani warga negara (bukan pelanggan/customers): kepentingan publik merupakan hasil dari sebuah dialog tentang nilai-nilai yang dipegang bersama ketimbang kumpulan dari kepentingan-kepentingan pribadi para individu. Dengan demikian, para pelayan publik (pegawai negeri) tidak semata-mata tanggap terhadap permintaan-permintaan “customer/pelangan” tetapi lebih memusatkan perhatian pada pembangunan hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan warha negara dan membangun kepercayaan serta kolaborasi diantara warga negara Isu yang muncul adalah: responsivitas, social capital, cooperation/collaboration diantara stakeholders, network policy, partnership/kemitraan.
Ide NPS (2) Berusaha menemukan kepentingan Publik. Para administrator publik/pelayan publik harus berkontribusi untuk membangun persepsi tentang berbagi kepentingan publik secara kolektif. Tujuannya adalah bukanlah untuk menemukan pemecahan masalah secara cepat yang dikendalikan oleh pilihan individu yang cenderung untuk memaksimumkan kepentingan pribadi tetapi lebih ditekankan pada penciptaan kepentingan bersama dan tangungjawab bersama. Isu yang bisa muncul adalah cooperation/ collaboration /kemitraan antara state, suprastate dan non-state (termasuk sektor private bisnis/ dan community non-bisnis—misal lembaga adat atau lembaga swadaya masyarakat).
Ide NPS (3) Menempatkan nilai “citizenship” lebih tinggi ketimbang nilai “kewirausahaan/ entrepreneurship”. Kepentingan publik lebih baik dikembangkan oleh para pelayan publik dan warganegara yang dilakukan untuk memberikan kontribusi yang “bermakna/bernilai” bagi masyarakat ketimbang jika dilakukan oleh para manager berwasasan wirausaha yang bertindak seolah-olah uang publik sebagai miliknya. Isu yang muncul: akuntabilitas publik, korupsi, maladministrasi, kesalahan prosedur, konsistensi antara aturan dan implementasi, transparansi, tingkat ketepatan sasaran alokasi dana, penyalahgunaan alokasi, efisiensi, konflik, otoritas formal VS legitimasi dan otoritas horisontal.
Ide NPS (4) Berpikir secara strategik dan bertindak secara demokratik. Kebijakan-kebijakan dan program-program publik yang memenuhi kebutuhan pubik bisa menjadi kebijakan-kebijakan dan program-program yang paling efektif dan bertanggung jawab yang bisa dicapai melalui usaha-usaha bersama secara kolektif dan mealui proses kolaboratif. Implikasi: administrasi negara perlu memberikan kesempatasn dan akses partisipasi warga negara dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan, berbagi tanggungjawab, penghindaran adanya kooptasi mengingat partsisipasi bisa berubah menjadi kooptasi, pembangunan manusia seutuhnya (bukan sekedar fisik-modernisasi), kepemimpinan kolektif, menghindari personal rule, pembangunan social capital.
Ide NPS (5) Adanya pengakuan bahwa Akuntabilitas bukanlah nilai yang sederhana yang mudah diterapkan dalam tataran praktis. Para pelayan publik seharusnya lebih banyak perhatian/banyak membantu daripada hanya “berorientasi pada pasar”. Mereka juga harus bertindak berdasarkan aturan, hukum konstitusional, nilai-nilai komunitas, norma-norma politik, standar profesional, dan kepentingan-kepentingan warganegara. Implikasinya: kemungninan dilakukan diskresi bagi upaya mendirikan rasa keadilan pada kelompok yang “termarginalkan” agar kehidupannya menjadi lebh baik taanapa haris merugikan kelompok lainnya.
Ide NPS (6) Melayanani ketimbang memberikan bimbingan/ mengontrol masyarakat. Semakin pentingnya untuk ditekankan bahwa para pelayan publik perlu untuk menggunakan sistem kepeminpinan berdasarkan nilai-nilai bersama (nilai-nilai kolektif) ketimbang berusaha mengontrol atau membimbing/membina masyarakat ke suatu arah baru sesuai dengan keinginan state. Implikasinya: (1) peningkatan kualitas pelayanan yang berbasis pada kepentingan bersama dan keadilan, (2) kualitas pelayanan VS keadilan, (3) kolaborasi otoritas vertikal dan horisontal untuk memperkuat legitimasi, (4) gaya kepemimpinan catalytic.
Ide NPS (7) Mengharagi manusia sebagai manusia (nguwongake uwong) bukan sekedar alat produktivitas. Organisasi-organisasi publik dan jaringan dimana mereka berpartisipasi kemungkinana akan lebih berhasil dalam jangka panjang jika mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama merdasarkan saling menghargaai sesama manusia. Isu yang bisa muncul: pembangunan hak-hak asasi manusia (HAM) VS pembuatan keputusan secara sentralistik, HAM & Partisipasi/kooptasi, kepemimpinan informal VS kepemimpinan managerial
Sound Governance Governance: Kontinum antara state-non state-Suprastate (1) State: eksekutif, legislatif, judikatif, polisi, militer, supra-state. (2) Supra state: lembaga-lembaga international (IMF, World Bank, United Nation, Non state: (3) Private (bisnis, pasar) & (4) Society (lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, organisasi lokal berbasis warisan budaya lokal yang terus terpelihara--misal: kraton surakarta, mangkunegaran, kraton cirebon, kraton ngayogyakarta/hamengkubuwana, pakualaman dsb).