WAYANG KULIT maulfisr.lecture.ub.ac.id
Sejarah Wayang Kulit Ada dua pendapat tentang asal-usul wayang: Wayang lahir dan berasal dari Jawa Pendapat ini dikeluarkan oleh beberapa peneliti Barat dan peneliti Indonesia, antara lain Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt Wayang berasal dari India Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers.
Sejak tahun 1950-an, menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012).
Jenis-Jenis Wayang Wayang Kulit Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditatah dan diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan. Wayang Golek Wayang terbuat dari kayu terutama kayu mahoni dan diberikan baju sesuai dengan karakter pewayangan. Wayang Beber Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang
Wayang Wong atau Wayang Orang Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut Wayang Suluh Wayang Suluh adalah wayang yang terbuat dari kulit dan berbentuk manusia biasa, dengan tokoh wayang keseharian, misalnya P Lurah, P Haji, Ibu Guru, Bapak Guru, petani, saudagar, anak sekolah, mahasiswa dan lainya. Wayang Suket Wayang suket merupakan bentuk tiruan dari berbagai figur wayang kulit yang terbuat dari rumput (bahasa Jawa: suket). Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita perwayangan pada anak-anak di desa-desa Jawa.
Nilai Filosofi dalam Wayang Gunungan Blumbangan Di balik gunungan Blumbangan ini dapat kita lihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan candrasengkalan yang berbunyi “geni dadi sucining jagad” yang mempunyai arti 3441 dan apabila dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Gunungan Gapuran Gunugnan Gapuran (Gerbang) sendiri digunakan pada masa pemerintahan Suushunan Pakubuwono 2, dengan sengkalan ” Gapura lima retuning bumi” 1659 J=1734 M.
Filosofi dalam Punakawan Ki Lurah Semar Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan Nala Gareng Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Keadaan fisik Nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Petruk Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bagong Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.