PERKEMBANGAN TARI KLASIK GAYA YOGYAKARTA Oleh : Arum Yunita M NIM : 08209241024
PERKEMBANGAN PENGGARAPAN Unsur-unsur yang sudah ada dalam tari tersebut diperkaya dengan penambahan dan penciptaan unsur-unsur baru sesuai dengan tingkat kemajuan jaman, tanpa megnurangi nilai-nilai dasar yang sudah ada. Perkembangan dalam konteks ini berhubungan erat dengan masalah kualitas seni, orientasi, inovasi, baik dari segi tehnik maupun bentuk fisik tari tersebut. Garapan disini diartikan cukup luas, termasuk tata busana, tata pentas dan segala sesuatu yang terkait dalam satu kesatuan tari itu sendiri. Pada saat terciptanya, Tari Klasik Gaya Yogyakarta merupakan jenis kesenian khusus dipertunjukan untuk kaum ningrat pada masa kerajaan Mataram.
Masa Pertumbuhan (Sri Sultan Hamengku Buwana I s/d Sri Sultan Hamengku Buwana VII, Tahun 1775 s/d 1921) Tari klasik gaya yogyakarta lahir bersama tumbuhnya Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Beliau sangat mencintai seni, sehingga beberapa guru tari terkemuka dari Surakarta dibawa pasa saat beliau memerintah Kasultanan Yogyakarta. Setelah Perjanjian Giyanti, Sri Susuhunan Paku Buwono III menganjurkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwana I melanjutkan pelestarian tari klasik gaya Mataram. Sedang Paku Buwono III akan memulai corak gaya tari yang baru. Itulah sebabnya Tari Klasik Gaya Yogyakarta disebut Beksa/Joget Mataram, karena tari tersebut bermula dari Kraton Mataram sebelum pecah menjadi dua kerajaan.
Beberapa pertunjukan kraton
Ciptaan Sultan Hamengku Buwana I antara lain : Beksan Trunojoyo, Lawung Alus, Entheng dan beberapa beksan lainnya. Beberapa hal penting yang patut dicatat pada masa periode ini adalah : Segi Orientasi yang kemudian akan tetap menjadi dasar perkembangan dari joget Mataram dan wayang wong Mataram. Dalam hal ini Sultan ingin mempergelarkan pertunjukan yang dapat memberikan contoh sikap ksatria serta kepahlawanan seperti yang tercermin dalam cerita wayang. Menanamkan sikap gagah berani dalam melawan musuh dan keangkara murkaan. Hal ini dapat dilihat dalam gaya joget Mataram yang lugas, serius dan kenceng. Kostum penari pada periode ini masih sangat sederhana. Meskipun demikian justru dengan kostum tersebut, penari dituntut lebih berat dalam masalah penjiwaan.
Contoh kostum
Perkembangan kostum Sebagai contoh untuk hiasan pada penari laki-laki hanya dipergunakan 3 macam corak, yaitu : - Destar tepen untuk peran prajurit dan ksatria - Songkok untuk peran raja - Udeng gilik dengan topeng untuk peran raksasa Sedangkan untuk peran wanita hanya jamang, sumping ron dengan gelung bokor.
Pola pertunjukkan Pola pertunjukan : menggunakan pola wayang kulit dengan bentuk panggung sempit tapi panjang. Pementasan diistana biasanya dilangsungkan di Tratag Bangsal Kencana, yang merupakan sebuah bangunan beratap tapi tanpa dinding.
Pola gerak Pola Gerak : berdasarkan pola gerak wayang kulit, gerak tangan dan terbukanya tungkai secara garis hanya mengarah kesamping kiri atau kanan badan. Begitu pula untuk gerakan perang, dilakukan dengan gerakan maju kesamping kiri dan kanan lantai pentas. Ada dua gerak pokok dalam perang, yaitu “jeblosan” dan “nitir”. Jeblosan adalah gerak berpapasan, sedang nitir adalah gerak maju kesamping bagi penyerang atau mundur kesamping bagi yang diserang Disamping itu gerak gerik khusus diluar pola wayang kulit dan menunjukan ciri ari peran yang dibawakan oleh orang tersebut diciptakan pula antara lain : ukel, pacak gulu dan sebagainya. Cerita disampaikan melalui “pocopan” (dialog) antara tokoh dalam cerita atau diceritakan oleh dhalang. Namun karena perkembangan dan usia dhalang yang semakin tua, maka cerita yang semula dibawakan tanpa teks kemudian dicatat dalam buku
Periode pembakuan (zaman Sultan HB VIII s/d tahun 1960) Pada masa Sultan HB VIII ini boleh dikatakan bahwa Tari klasik gaya Yogyakarta mengalami kemajuan pesat. Banyak sekali diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam kesenian Joget Mataram. Mulai dari tata busana sampai dengan penambahan ragam tari dengan penyempurnaan gerak-geraknya. Pada masa ini berdiri pula HABIRANDA, sebuah sekolah pedalangan yang didirikan dengan sponsor Java Institut dan memperoleh ijin serta perlindungan dari Sultan sendiri.
Periode pengembangan/pembaharuan (1960 – 2000) Dengan lahirnya dua lembaga pendidikan tari, yaitu KONRI (1961) yang kemudian bernama SMKI dan ASTI (1963), tari klasik gaya Yogyakarta mengalami perkembangan dan pembaharuan dalam banyak segi. Antara lain masuknya unsur-unsur teatre modern dalam corak garapan, lebih berkembang gendhing gendhingnya, beraneka ragam busananya dan sebagainya.
Perkembangan masa kini PERKEMBANGAN DALAM ARTI PENYEBARLUASAN Tari klasik gaya Yogyakarta bermula tumbuh di dalam lingkurangan istana. Setelah Perang dunia I timbul cetusan kaum muda di Jawa untuk mengembangkan tari tersebut di kalangan masyarakat umum. Mereka menyadari bahwa kehidupan kraton besaerta kerabat bangsawan sebagai pemimpin telah dikucilkan dari realita kehidupan masyarakat jelata. Keadaan inilah yang dipakai oleh kaum penjajah untuk memecah belah masyarakat demi kelangsungan niat agar seluruh bangsa ini tetap dalam genggaman penjajah tanpa tahu kapan berakhirnya keprihatinan. JONG JAVA atas dasar kesadarannya mengirimkan utusan menemui tokoh-tokoh tari kraton Yogyakarta dan mendorong agar mengadakan pelajaran/sekolah tari dan karawitan
trimakasih