EUTHANASIA
Definisi Euthanasia adalah hak untuk menentukan kematiannya sendiri bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada harapan untuk hidup.
Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan dokter untuk memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan dunia medis. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang bersistem liberalis dan berpaham sekuler.
Sebagai bagian dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju, seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra, baik dari sudut pandang dunia medis, yuris atau religi. Dengan informasi teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya, memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini.
Permasalahan inilah yang akan dikaji penulis, dengan mengkomparasikan kasus euthanasia yang terjadi di luar negeri dan meninjau pengaturannya di Indonesia dari sudut pandang hukum pidana Indonesia (KUHP) dan hukum Islam, mengingat permasalahan yang akan dibahas belum mempunyai peraturan yang khusus.
Berangkat dari hal tersebut diatas, penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sumbang saran dalam dunia ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana serta dapat membuka wacana pemikiran tentang perlunya diundangkan peraturan tersendiri tentang euthanasia.
Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Euthanasia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan korban, yakni permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat diterapkan berkaitan dengan euthanasia adalah pasal mengenai pembunuhan, yakni pasal 338, 340, 344 dan 345 KUHP. Terdapatnya asas lex specialis de rogat legi generalli dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku euthanasia dijerat dengan pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan menggunakan pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang mengatur pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadinya kematian seorang lain akibat perbuatannya
Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat pada euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa’ 93 dan Surat Al-Israa 33. Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi; “Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum qishash”(HR. Ibnu Majjah). Sedang pada euthanasia pasif / negatif (taisir al-maut al-munfa’il), yang merupakan tindakan penghentian perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi, tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri.
Bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), terdapat pro dan kontra dalam hal mengeuthanasiakan penyakit ini. KH. Ibrahim Husain, misalnya yang mendukung euthanasia bagi penderita AIDS, dengan mempertimbangkan dua segi, yakni ; penderita AIDS mengalami penderitaan yang berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan dan karena mengingat daya tular penyakit tersebut. (Husain dalam Assyaukanie, 1998 : 180). Pendapat ini juga didukung oleh Abdul Madjid, akan tetapi harus dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk didalamnya pertimbangan medis.
Sedangkan larangan euthanasia bagi penderita AIDS dikemukakan oleh DR Sedangkan larangan euthanasia bagi penderita AIDS dikemukakan oleh DR. Sujudi serta Masjfuk Zuhdi. Pendapat ini diikuti oleh penulis, dengan memandang dari dua segi, yakni segi agama, bahwa penyakit itu datangnya dari Allah, yakni sebagai cobaan atau ujian dan dari segi hak asasi penderita, bahwa ODHA mempunyai hak untuk hidup dalam komunitas masyarakat, serta hak-hak lain yang timbul sebagai anggota masyarakat. Dan secara etik, euthanasia tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia, seperti dalam ketentuan kode etik kedokteran Indonesia serta dalam lafal sumpah dokter.
Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persoalan euthanasia berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya bangsa yang sampai sekarang belum dapat diterima kehadirannya dan dinyatakan dilarang. Untuk itu, agar dapat tercapainya kepastian hukum, yang mencerminkan keberadaaan negara hukum, maka perlulah kiranya dipertimbangkan penyusunan undang-undang atau peraturan yang menyangkut tentang euthanasia dan perlu juga kiranya dipertimbangkan mengenai euthanasia bagi penderita AIDS, serta berbagai aspek pertimbangan lainnya.
Deskripsi Alternatif Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan dokter untuk memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan dunia medis. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang bersistem liberalis dan berpaham sekuler, dengan beranggapan bahwa manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri (euthanasia), bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada harapan untuk hidup.
Sebagai bagian dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju, seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra, baik dari sudut pandang dunia medis, yuris atau religi. Dengan informasi teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya, memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini.
Permasalahan inilah yang akan dikaji penulis, dengan mengkomparasikan kasus euthanasia yang terjadi di luar negeri dan meninjau pengaturannya di Indonesia dari sudut pandang hukum pidana Indonesia (KUHP) dan hukum Islam, mengingat permasalahan yang akan dibahas belum mempunyai peraturan yang khusus.
Berangkat dari hal tersebut diatas, penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sumbang saran dalam dunia ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana serta dapat membuka wacana pemikiran tentang perlunya diundangkan peraturan tersendiri tentang euthanasia.
Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Euthanasia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan korban, yakni permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat diterapkan berkaitan dengan euthanasia adalah pasal mengenai pembunuhan, yakni pasal 338, 340, 344 dan 345 KUHP. Terdapatnya asas lex specialis de rogat legi generalli dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku euthanasia dijerat dengan pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan menggunakan pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang mengatur pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadinya kematian seorang lain akibat perbuatannya
Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat pada euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa’ 93 dan Surat Al-Israa 33. Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi; “Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum qishash”(HR. Ibnu Majjah). Sedang pada euthanasia pasif / negatif (taisir al-maut al-munfa’il), yang merupakan tindakan penghentian perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi, tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri.
Bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), terdapat pro dan kontra dalam hal mengeuthanasiakan penyakit ini. KH. Ibrahim Husain, misalnya yang mendukung euthanasia bagi penderita AIDS, dengan mempertimbangkan dua segi, yakni ; penderita AIDS mengalami penderitaan yang berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan dan karena mengingat daya tular penyakit tersebut. (Husain dalam Assyaukanie, 1998 : 180). Pendapat ini juga didukung oleh Abdul Madjid, akan tetapi harus dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk didalamnya pertimbangan medis.
Sedangkan larangan euthanasia bagi penderita AIDS dikemukakan oleh DR Sedangkan larangan euthanasia bagi penderita AIDS dikemukakan oleh DR. Sujudi serta Masjfuk Zuhdi. Pendapat ini diikuti oleh penulis, dengan memandang dari dua segi, yakni segi agama, bahwa penyakit itu datangnya dari Allah, yakni sebagai cobaan atau ujian dan dari segi hak asasi penderita, bahwa ODHA mempunyai hak untuk hidup dalam komunitas masyarakat, serta hak-hak lain yang timbul sebagai anggota masyarakat. Dan secara etik, euthanasia tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia, seperti dalam ketentuan kode etik kedokteran Indonesia serta dalam lafal sumpah dokter.
Dengan demikian, persoalan euthanasia berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya bangsa yang sampai sekarang belum dapat diterima kehadirannya dan dinyatakan dilarang. Untuk itu, agar dapat tercapainya kepastian hukum, yang mencerminkan keberadaaan negara hukum, maka perlulah kiranya dipertimbangkan penyusunan undang-undang atau peraturan yang menyangkut tentang euthanasia dan perlu juga kiranya dipertimbangkan mengenai euthanasia bagi penderita AIDS, serta berbagai aspek pertimbangan lainnya.