Teori perubahan sosial dan hukum M. Syafi’ie
Pengantar Dasar kajian dari ilmu sosial adalah mempelajari fenomena kehidupan masyarakat. Dalam perkembangannya, obyek studi yang sama, orang dapat memiliki fokus yang berbeda dan memiliki sudut pandang berbeda Manusia adalah makluk sosial. Kajian terkait bagaimana manusia berinteraksi, apa yang terjadi yang ketika berinteraksi dan bagaimana interaksi berdampak terhadap perubahan sosial adalah kajian yang paling menarik dalam kehidupan manusia. Sosiologi hukum kata Soetandyo ialah cabang kajian sosiologi. Sosiologi hukum akan banyak memusatkan pada ikhwal hukum yang terwujud sebagai bagian dari pengalaman dalam pengalaman hidup masyarakat sehari-hari. Sosiologi hukum mempelajari hidup hukum sebagaimana ada dan terwujudkan di tengah- tengah masyarakat
Hukum menurut pemikir sosial Karl Marx : hukum bukan model idealisasi moral masyarakat. Hukum adalah pengembangan amanat kepentingan ekonomi para kapitalis. Hukum bukan manifestasi politik sosial, tapi ekonomi politik kapitalistik. Emile Durkheim : hukum merupakan moral sosial yang pada hakekatnya adalah ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam satu masyarakat. hukum adalah cerminan solidaritas. Tak ada masyarakat yang eksis tanpa adanya solidaritas. Max Weber : hukum memiliki rasionalitasnya yang substantif tatkala substansi hukum terdiri dari aturan-aturan umum in abstracto yang siap dideduksikan guna menghukumi berbagai kasus yang kongkret. Sebaliknya, hukum tidak ada rasionalitasnya yang substantif tatkala dalam tatanannya setiap perkara diselesaikan atas dasar kebijakan politik/etik yang unik, emosional, tanpa bisa merujuk ke aturan-aturan umum yang objektif pula
Teori-teori sosial Ada banyak teori tentang perubahan sosial. Mulai dari yang fungsional yang menjelaskan fakta bahwa perubahan benar-benar terjadi dalam masyarakat, sampai dengan ide modernitas yang menempatkan pengetahuan sebagai dasar pijak kesempatan kepada masyarakat untuk menciptakan hidup yang baik. Teori sosial bisa dikontekstualisasi dengan hukum. Menurut Soetomo, berikut adalah beberapa teori-teori sosial : Teori fungsional struktural -> teori ini mendasarkan pada fakta sosial. Setidaknya ada dua fakta sosial : struktur sosial dan prananta sosial. Teori ini menekankan pada keberaturan, harmoni, komplementer dan terintegrasi. Teori ini mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Tokoh pemikiran ini antara lain Ritzer/1980, Poloma /1987 dan Turner/1986)
Lanjutan 2. Teori Konflik -> Teori dibangun dari paradigma teori fungsional struktural, yaitu fakta sosial. Pertama, menurut teori fungsional struktural masyarakat berada dalam posisi yang statis dan bergerak dalam posisi seimbang, tapi menurut teori ini masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur- unsurnya. Kedua, teori fungsional struktural setiap elemen atau institusi dianggap saling memberi dukungan, bagi teori konflik, setiap elemen memberi sumbangan bagi disintegrasi sosial. Ketiga, teori fungsional melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai dan moralitas umum, tapi bagi teori konflik, keteraturan masyarakat itu adalah akibat dari tekanan dan pemaksaan dari golongan yang berkuasa. Bukan berdasar konsensus. Sentral dari teori ini adalah wewenang dan posisi, yang keduanya adalah fakta sosial. Distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak adil menjadi faktor penentu konflik sosial. Tokoh teori ini adalah Ralp Dahrendorf
Lanjutan 3. Teori interaksionalisme simbolik -> Teori ini mendasarkan pada tindakan sosial (social action) yang menjadi pemikiran Max Weber. Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dan pranata sosial. Keduanya membantu membentuk tindakan manusia penuh arti dan penuh makna. Weber mengatakan bahwa, sosiolog juga manusia, mengapresiasi lingkungan sosial dimana mereka berada, memperhatikan tujuan-tujuan warga masyarakat dan sebab itu berupaya memahami tindakan mereka Weber seperti Marx tetap melihat hubungan-hubungan tak setara sebagai sentral dalam kehidupan sosial. Tapi Weber juga menolak konsep Marxis bahwa ketidaksetaraan kelas selalu terpenting. Weber juga mendefinisikan kelas berbeda dengan Marx yang menyebut kepemilikan sarana produktif sebagai kelas. Weber mendefinisikan kelas sebagai segala macam kesempatan hidup yang dihasilkan oleh pasar.
Perubahan hukum : Lawrence M. Friedman Perubahan hukum sudah pasti terjadi. Tinggal besar atau pun kecilnya. Perubahan hukum sangat tergantung pada perubahan sosial. Tidak semua perubanan hukum terjadi dalam level yang besar, kebanyakan terjadi dalam skala kecil. Perubahan jenis apapun, termasuk penambahan titik koma dalam Undang-undang, adalah contoh dari perubahan hukum Ada empat tipe perubahan hukum : Perubahan yang berawal dari luar sistem hukum, yakni dari masyarakat, tetapi hanya mempengaruhi sistem hukum saja dan berhenti disana Perubahan yang berawal dari luar sistem hukum dan melewati sistem hukum tersebut (dengan atau tanpa proses internal tertentu) kemudian sampai ke titik dampak di luar sistem hukum, yakni masyarakat Perubahan yang berawal dari dalam sistem hukum dengan menghasilkan dampak di dalam sistem hukum juga Perubahan yang berawal dari sistem hukum, kemudian menembus sistem hukum tersebut dengan dampak akhir di luarnya, yakni di masyarakat
Lanjutan Tuntutan sosial dan menghasilkan perubahan di bidang hukum yang pada gilirannya mengarah pada perubahan sosial yang besar. Di era modern, sarana pokok untuk proses perubahan ini adalah legislasi, walau adakalanya lewat sebuah putusan pengadilan Perubahan revolusioner di dalam dan melalui hukum sangat luas. Setidaknya, perubanan itu terbagi : Perancangan (planning) -> perubahan yang melembagakan tatanan hukum baru. Peruntuhan (disruption) -> perubahan melalui penghancuran atau pelucutan suatu tatanan hukum yang mapan. Perubahan dikala revolusi, bisa berdampak keduanya : planning dan disruption)
Perubahan hukum : Satjipto rahardjo Perubanan serta dinamika masyarakat memiliki saham penting bagi munculnya sosiologi hukum. Salah satunya di era industrialisasi abad kedua puluh. Industrialisasi yang berkelanjutan melontarkan persoalan-persoalan sosiologisnya sendiri : urbanisasi, nuansa demokrasi yang memerlukan prinsip-prinsip demokrasi, dan lain- lain. Satjipto memaknai hukum : pertama, hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum tidak ada untuk dirinya melainkan untuk sesuatu yang luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a procces, law in making)