Penyertaan dan Pengulangan dalam Melakukan Tindak Pidana Faiq Tobroni, SHI., MH
Pengertian dan Dasar Hukum Penyertaan (DEELNEMING/COMPLICITY) diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP., yang dibagi dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu: Pembuat/Dader (Pasal 55) yang terdiri dari: a) pelaku (pleger); b) yang menyuruhlakukan (doenpleger); c) yang turut serta (medepleger); dan d) penganjur (uitlokker). Pembantu/Medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari: a) pembantu pada saat kejahatan dilakukan; dan b) pembantu sebelum kejahatan dilakukan. Orang yang turut serta (Medepleger). Penganjur (Uitlokker).
Penjelasan Pembuat/Dader . Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan. Orang yang menyuruh lakukan (Doenpleger) adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis). Unsur-unsur pada doenpleger adalah: a). alat yang dipakai adalah manusia; b). alat yang dipakai berbuat; dan c.) alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiel) tidak apat dipertanggungjawabkan adalah: a). bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44); b) bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48); c). bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 (2)); d.) bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik; dan e). bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan ybs. Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
Penjelasan 3. Orang yang turut serta (Medepleger) Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengejakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama. Syarat adanya medepleger: a). ada kerjasama secara sadar kerjasama dilakukan secara sengaja untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang; dan b). ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik ybs. 4. Penganjur (Uitlokker) Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan (Pasal 55 (1) angka 2). Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruhlakukan (doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak pada: Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif)yang tersebut dalam undang- undang (KUHP), sedangkan menyuruhlakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan; Pada penganjuran, pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan pembuat materiel tidak dapat dipertanggungjawabkan. Syarat penganjuran yang dapat dipidana a). ada kesengajaan menggerakkan orang lain; b). menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP; c). putusan kehendak pembuat materiel ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut; d). pembuat materiel melakukan/mencoba melakukan tindak pidana yang dianjurkan; dan e). pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan Pasal 163 bis KUHP.
Penjelasan 5. Pembantuan (Medeplichtige) Sebagaimana disebutkan alam Pasal 56 KUHP, Pembantuan ada dua jenis: Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya terletak pada: 1). pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan; dan 2) pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri; dan 3) pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana; dan 4.)Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pad niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula/tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
Pertanggungjawaban pembantu Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian: pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana: 1) membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 (4)) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan; 2) membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (Pasal 415),;3) meniadakan surat-surat penting (Pasal 417). pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu tindak pidana: 1) membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 (3)); 2) dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349); 3) Sedangkan pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.
menolong orang lain untuk bunuh diri (Pasal 345) C. Penyertaan yang tak dapat dihindarkan (Noodzakelijke Deelneming/Necessary Complicity) Penyertaan yang tak dapat dihindarkan terjadi apabila tindak pidana yang dilakukan tidak dapat terjadi tanpa adanya penyertaan dengan orang lain. Jadi tindak pidana itu terjadi kalau ada orang lain sebagai penyerta. Delik-delik yang termasuk dalam kategori ini adalah: menyuap/membujuk orang lain untuk tidak menjalankan hak pilih (Pasal 149); membujuk orang lain untuk masuk dinas militer negara asing (Pasal 238); bigami (Pasal 279); perzinahan (284); melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah 15 tahun (Pasal 287); dan menolong orang lain untuk bunuh diri (Pasal 345)
Pengulangan
Pengertian Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana danntelah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama seperti dalam concursus realis, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive pidana penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana penjara maksimum dijatuhkan selama 15 tahun. Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
Dasar Hukum dan Macam Recidive KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. KUHP membedakan recidive kejahatan ini menjadi dua kelompok besar, yaitu: a. Recidive kejahatan kelompok sejenis, yang tersebar dalam 11 pasal kejahatan KUHP, yaitu Pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (2), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2). Syaratnya secara umum adalah: 1). Kejahatan yang diulangi harus sama/sejenis; 2). Antara kejahatan yang terdahulu dengan kejahatan yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap; 3). Pelaku melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencaharian, kecuali Pasal 216, 303 bis dan 393; dan 4). Pengulangan tindak pidana dalam tenggang waktu tertentu, yaitu: a). 2 tahun sejak adanya putusan hakim yang tetap (Pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis, dan 321); dan b). 5 tahun sejak adanya putusan hakim yang tetap (Pasal 155, 157, 161, 163, dan 393).
Macam Recidive Pemberatan pidana yang dapat dijatuhkan dalam recidive kejahatan sejenis ini, juga tampak berbeda-beda, yaitu: Pidana tambahan berupa pencabutan hak menjalankan pencahariannya; Pidana pokok ditambah 1/3. Pidana penjara dikalikan 2 X (berlaku khusus Pasal 393) b. Recidive kejahatan kelompok jenis Recidive kejahatan kelompk jenis diatur dalam Pasal 486, 487, dan 489 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut dimasukkan beberapa kejahatan yang masuk kelompok jenis, yaitu: Pasal 486 tentang kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan yang terdiri atas: Pasal 244-248 (pemalsuan mata uang); Pasal 263-264 (pemalsuan surat); Pasal 362,363,365 (pencurian); Pasal 368 (pemerasan); Pasal 369 (pengancaman); Pasal 372,374,375 (penggelapan); Pasal 378 (penipuan); Pasal 415,417,425,432 (kejahatan jabatan); Pasal 480,481 (penadahan). Pasal 487 tentang kejahatan terhadap orang yang terdiri atas: Pasal 131,140,141 (penyerangan dan makar kepada Kepala Negara); Pasal 338,339,340 (pembunuhan); Pasal 341,342 (pembunuhan anak); Pasal 344 (euthanasia); Pasal 347-348 (abortus); Pasal 351,353,354,355 (penganiayaan); Pasal 438-443 (kejahatan pembajakan pelayaran); Pasal 459-460 (insubordinasi). Pasal 488 tentang kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbit/percetakan, yakni: Pasal 134-137 (penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden); Pasal 142-144 (penghinaan kepada Kepala Negara sahabat); Pasal 207-208 (penghinaan kepada penguasa badan umum); Pasal 310-321 (penghinaan kepada orang pada umumnya); dan Pasal 483,484 (kejahatan penerbit/percetakan).
Persyaratan Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk recidive kelompok jenis ini adalah: Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan terdahulu. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan recidive jika orang melakukan pencurian (Pasal 362), kemudian melakukan pembunuhan (Pasal 338), dan kemudian melakukan penghinaan (Pasal 310). Kejanggalannya adalah adanya beberapa tindak pidana yang tidak dimasukkan dalam beberapa kelompok jenis ini, seperti Pasal 104 (delik makar), Pasal 281-303 (delik-delik kesusilaan), Pasal 356 (bentuk) terkualifikasi tindak pidana Pasal 351-355), dan Pasal 349 (bentuk terkualifikasi delik abortus Pasal 346-348). Antara kejahatan yang terdahulu dengan kejahatan yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu berupa pidana penjara.
Persyaratan (2) Tenggang waktu melakukan pengulangan tindak pidana adalah: a). belum lewat 5 tahun; b). belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana. Sebagai contoh: Pada tahun 2000, A melakukan tindak pidana pembunuhan (Pasal 338) dijatuhi pidana penjara 10 tahun. Kemungkinan tenggang waktu recidivenya adalah: Apabila A menjalani keseluruhan pidana, tenggang waktu recidivenya 2000 + 10 tahun + 5 tahun = 2015; Apabila A menjalani sebagian, misalnya 5 tahun kemudian (tahun 2005) A mendapatkan pelepasan bersyarat, maka tenggang waktu recidivenya 2000 + 5 + 5 = 2010; Apabila A menjalani sebagian karena melarikan diri, misal setelah 7 tahun di penjara A melarikan diri, maka tenggang waktu recidivenya adalah sebelum tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana penjara terdahulu. Jadi tenggang waktu recidivenya = 2000 + 7 + 16 tahun = 2023. Dalam recidive kelompok jenis ini, pemberatan pidananya adalah ancaman pidana pokok maksimum ditambah 1/3. Dalam Pasal 486 dan Pasal 487, yang dapat diperberat adalah pidana penjara. Sedangkan dalam Pasal 488, pemberatan berlaku bagi semua jenis pidana pokok.
Recidive Pelanggaran Recidive Pelanggaran Sama seperti recidive kejahatan, recidive pelanggaran dalam KUHP menganut sistem recidive khusus, dalam arti bahwa hanya pelanggaran- pelanggaran tertentu saja yang dapat dijadikan recidive. Terdapat 14 jenis pelanggaran dalam KUHP yang jika dilakukan dipidana sebagai recidive, yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549. Persyaratan recidive pelanggaran yang diatur dalam masing-masing pasal adalah: pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis. Khusus Pasal 492, dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 536 dan sebaliknya. Pasal 302 dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 540 dan 541. Antara pelanggaran yang terdahulu dengan pelanggaran yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Belum tenggang waktu pengulangannya, yaitu: a) belum lewat waktu 1 tahun, untuk pelanggaran Pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549; dan b). belum lewat waktu 2 tahun, untuk pelanggaran Pasal 501, 512, 516, 517, dan 530.