PERMASALAHAN ILMU KALAM A. Masalah-Masalah Dalam Ilmu Kalam 1. Akal dan Wahyu Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok di atas, masing masing bercabang dua. Pertama, masalah mengetahui Tuhan; melahirkan dua masalah, . yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan. Kedua, masalah baik dan jahat; melahirkan dua masalah, yaitu mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengetahui baik dan jahat.
Menurut Mu'tazilah, sebagaimana dikemukakan para tokoh-nya, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk wajib pula.
Dalam hal ini Abu Al-Hudzail menegaskan bahwa sebelum turun wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika tidak berterima kasih kepada-Nya, ia akan mendapat siksa. Baik dan jahat, menurutnya, juga dapat diketahui akal; demikian pula orang wajib mengerjakan yang baik, misalnya bersifat adil; dan wajib menjauhi yang buruk, seperti berdusta dan berlaku zalim.
Menurut Al-Syahrastani, kaum Mu'tazilah sependapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui akal. Sebelum mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, tentu orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, orang harus terlebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang temu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.
Menurut Mu'tazilah, jika keempat masalah itu dapat diketahui dengan akal, maka apa fungsi wahyu bagi keempat masalah itu? Menurut Abu Hasyim, untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu tidak mempunyai fungsi apa-apa; untuk mengetahui cara beribadah kepada Tuhan wahyu diperlukan. "Akal," lanjutnya, "betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat mengaodi kepada Tuhan."
Selanjutnya, wahyu bagi Mu'tazilah, berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan siksa di akhirat. Abd Al-Jabbar mengatakan, akal tidak dapat mengetahui bahwa pahala untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tidak mengetahui bahwa siksa bagi suatu perbuatan buruk lebih besar daripada siksa untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini hanya dapat diketahui melalui wahyu. Menurut Al-Jubbai, wahyulah yang menjelaskan perincian pahala dan siksa yang akan diperoleh manusia di akhirat. Al-Khayyath menainbalikan, "Fungsi wahyu (dikirim melalui para rasul) berfungsi untuk menguji manusia, apakah ia patuh kepada Tuhannya atau menentang kepada-Nya.
Jadi, menurut Mu'tazilah, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi. Maksudnya, wahyu memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh akal.
Menurut Asy'ariah, sebagaimana dikatakan Al-Asy'ari sendiri, segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia. Menurutnya, memang betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pulalah, dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh akan mendapat siksa. Dengan demikian, akal, menurut Al-Asy'ari, dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia dan, karena itulah, diperlukan wahyu.
Dalam pandangan Maturidiah, sebagaimana dikemukakan Al-Maturidi, akal manusia mampu mengetahui adanya Tuhan dan mampu mengetahui kewajiban berterima kasih kepada-Nya, Mengetahui (percaya) kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya, sebelum adanya wahyu, wajib pula seperti yang dikatakan Mu'tazilah..
Menurut Abduh, Maturidiah dan Mu'tazilah sependapat bahwa perintah dan larangan erat kaitannya dengan sifat dasar suatu perbuatan. Dengan kata lain, pahala dan siksa bergantung pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Kata Al-Maturidi, akal mengetahui sifat baik yang ada dalam perbuatan baik dan sifat buruk yang ada dalam perbuatan buruk; pengetahuan inilah yang menyebabkan akal berpendapat, mesti ada perintah dan larangan Tuhan. Adanya perintah dan larangan Tuhan itu wajib menurut akal. Adapun mengenai kewajiban manusia mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk sebelum datangnya wahyu, tidak dijumpai dalam pendapat Al-Maturidi.