ROTASI Pertemuan 9-10 Mata kuliah : K0014 – FISIKA INDUSTRI Tahun : 2010 ROTASI Pertemuan 9-10
Gerak rotasi merupakan Gerak benda sembarang bentuk berputar terhadap suatu sumbu putar. 1. Pergesran, Kecepan dan Percepatan Sudut (1) . Pergeseran sudut ( ) : dalam radian , 1 rad = 3600 / 2 = 57,30 r Bina Nusantara
* Kecepatan sudut rata-rata didefinisikan sebagai pergeseran sudut terhadap selang waktu : * Kecepatan sudut sesaat : satuan kecepatan sudut : rad/s , putaran/s , atau rotasi per menit (rpm) Bina Nusantara
* Percepatan sudut rata-rata didefinisikan sebagai perubahan kecepatan sudut terhadap selang waktu * Percepatan sudut sesaat : Satuan percepatan sudut : rad/s2 Bentuk Integral dari persamaan gerak rotasi : Kecepatan sudut : = dt Posisi / pergeseran sudut : = dt 5 Bina Nusantara
2. Gerak Rotasi Dengan Percepatan Sudut Konstan Untuk gerak rotasi dengan percepatan sudut α = konstan , bentuk persamaan geraknya identik dengan persamaan gerak linier dengan percepatan konstan, yaitu : ω = ω0 + α t θ = ½ ( ω + ω0 ) t θ = θ0 + ω0 t + ½ α t2 Bina Nusantara
Hubungan Variabel Gerak Rotasi dan Gerak Linier Setiap benda yang berotasi, disamping melakukan gerak rotasi, pada waktu bersamaan juga melakukan gerak translasi/gerak linier. Hubungan antara variabel gerak rotasi dan gerak linier tersebut adalah : S = r S = pergeseran linier V = r r = jari-jari lintasan aT = r aT = percepatan tangensial r S Bina Nusantara
Contoh : Sebuah mesin berputar dengan kecepatan sudut konstan, yaitu : 1500 putaran/menit. Kemudian mesin dimatikan, dan mesin berhenti berputar dalam waktu 2,5 menit . Tentukan : a. Percepatan sudut mesin (anggap konstan) . b. Jumlah putaran mesin dari saat dimatikan hingga berhenti berputar. Penyelesaian : a. Dari : ω = ω0 + α t ω =0 (berhenti) , ω0 = 1500 putaran/menit = 50π rad/s , t = 2,5 menit = 150 s. maka : α = (ω - ω0 )/ t = ( 0 – 50 π)/ 150 = -1,05 rad/s2 Tanda negatif(-) artinya diperlambat b. θ = ½ ( ω + ω0 ) t = ½ (0 + 50 π ) 150 = 3750 π rad = 1875 putaran Bina Nusantara
3. Torsi (Momen Gaya ) Torsi (momen gaya ) adalah kemampuan suatu gaya menghasilkan perputaran (rotasi) benda terhadap suatu poros atau sumbu putarnya. m θ Sebuah benda bermassa m, berjarak dari sumbu putar (sumbu rotasi) dan mengalami gaya . 9 Bina Nusantara
(1) τ = r F = maksimum bila r dan F saling tegak lurus Torsi oleh gaya F dalam merotasikan benda adalah : τ = r x F ( torsi merupakan suatu besaran vektor ) Torsi τ tegak lurus terhadap bidang yang dibentuk oleh r dan F , artinya τ tegak lurus terhadap r dan tegak lurus terhadap F . Besarnya torsi tersebut adalah : τ = r F Sin θ Dari persamaan di atas terlihat bahwa : (1) τ = r F = maksimum bila r dan F saling tegak lurus (θ = 900 ) (2) τ = 0 , bila θ = 00 dan θ = 1800 Bina Nusantara
Artinya : bila r dan F searah atau berlawan arah, maka torsi oleh gaya F adalah = 0 (3) τ = 0 bila r = 0 dan atau F = 0 Torsi negatif: bila perputaran searah dengan arah perputaran jarum jam Torsi positif : bila perputaran berlawan arah dengan perputaran jaran jam 11 Bina Nusantara
Untuk benda berbentuk kontinyu, momen inersianya adalah : 4. Momen Inersia ( I ) Momen inersia suatu benda adalah : penjumlahan hasil kali massa setiap partikel dengan kuadrat jaraknya dari sumbu putar. Untuk sistem dengan n buah partikel yang massanya m1, m2, ..... , mn dan berjarak r1, r2, ..... , rn dari sumbu putar , momen inersianya adalah : kg.m2 Untuk benda berbentuk kontinyu, momen inersianya adalah : r = jarak elemen massa terhadap sumbu putar dm = elemen massa Bina Nusantara
(1) Cincin atau silinder tipis Momen inersia untuk beberapa bentuk benda (1) Cincin atau silinder tipis Jari-jari R dan massa M, sumbu putar berimpit dengan sumbu cincin : I = M R2 (2) Silinder pejal atau piringan tipis Sumbu putar berimpit dengan sumbu silinder : I = (½) M R2 (3) Batang / tongkat tipis Sumbu putar tegak lurus batang dan melewati pusat batang I = (1/12) M L2 L = panjang batang M = massa batang Bina Nusantara
Sumbu putar tegak lurus pelat dan melewati pusat pelat (4) Pelat pejal Sumbu putar tegak lurus pelat dan melewati pusat pelat I = (1/12) M (L2 + d2 ) L = panjang pelat d = lebar pelat M = massa pelat (5) Bola Pejal Sumbu putar melewati pusat bola pejal I = (2/5)M R2 R = jari-jari bola pejal M = massa bola pejal (6) Bola tipis Sumbu putar melewati pusat bola tipis I = (2/3)M R2 R = jari-jari bola tipis M = massa bola tipis Bina Nusantara
Teorema Sumbu Sejajar Benda yang berotasi terhadap suatu sumbu, dimana sumbu tersebut sejajar dengan sumbu yang melewati pusat massa, dan jarak kedua sumbu adalah h, maka berlaku : I = Ipm + M h2 Ipm = momen inersia terhadap sumbu putar yang melewati pusat massa Bina Nusantara
Hubungan torsi (τ ) dan momen inersia (I ) dalam gerak rotasi adalah ekivalen dengan hubungan gaya ( F ) dan massa ( m ) dalam gerak translasi, yaitu : τ = I α ( Hk. Newton II untuk Rotasi ) atau I = τ / α α = percepatan sudut Bina Nusantara
Daya oleh torsi : P = dW/ dt = τ dθ/ dt Atau : P = τ ω 5. Energi Kinetik Rotasi Usaha yang dilakukan torsi ketika sebuah benda menempuh sudut dθ adalah : dW = τ dθ Daya oleh torsi : P = dW/ dt = τ dθ/ dt Atau : P = τ ω Kerja total yang dilakukan pada sistem = perubahan energi kinetik sistem. Untuk benda yang berotasi terhadap sumbu rotasi yang melalui pusat massanya energi kinetiknya adalah jumlah energi kinetik masing-masing partikel dalam benda: EKR = Σ(½miVi2 ) = Σ{½mi ( ri ω)2} = ½ Σmi ri2ω2 atau : EKR = (½) I ω2 ( energi kinetik rotasi ) I = momen inersia Bina Nusantara
EKT = (½) m V2 = energi kinetik translasi 6. Menggelinding Benda dikatakan menggelinding, bila disamping berotasi juga melakukan gerak translasi. Energi kinetik total benda yang menggelinding = energi kinetik translasi + energi kinetik rotasi EK = EKT + EKR EKT = (½) m V2 = energi kinetik translasi EKR = (½) I ω2 = energi kinetik rotasi Bina Nusantara
7. Momentum Sudut ( l ) Momentum sudut dari suatu partikel : l = r x p dengan p = m V = momentum linier sebuah partikel besar momentum sudut : l = r mV = r m ωr = mr2ω Atau : l = I ω I = mr2 = momen inersia Untuk sistem dengan n partikel, momentum sudutnya: L = Σ (ri x pi ) ri x pi = momentum sudut partikel ke i dan L = I ω Bina Nusantara
Kekekalan Momentum sudut Hukum kedua Newton untuk rotasi dapat dinyatakan sebagai berikut : τeks = dL/dt = d(Iω)/dt ; τ = torsi eksternal pada sistem Torsi eksternal neto yang bekerja pada sistem sama dengan laju perubahan momentum sudut sistem. Untuk benda tegar momen inersia I adalah konstan, maka : τ = I dω /dt = I α Dalam hal torsi eksternal neto yang bekerja pada sistem adalah nol, maka : dL / dt = 0 atau L = konstan ( hukum kekekalan momentum sudut ) Bina Nusantara
8. Kesetimbangan Statik Kesetimbangan statik : kesetimbangan dari suatu benda tegar / benda padat. Benda tegar merupakan benda padat yang tetap tegar / tidak berubah bentuknya bila dikenai gaya maupun torsi . (1) Syarat Kesetimbangan Statik Benda tegar berada dalam kesetimbangan statik, bila tidak mempunyai percepatan linier dan percepatan sudut. Maka kesetimbangan suatu benda tegar harus memenuhi dua macam kesetimbangan, yaitu kesetimbangan gaya, dan kesetimbangan torsi - Kesetimbangan gaya : F = 0 ; FX = 0 ; FY = 0 - Kesetimbangan torsi : τ = 0 21 Bina Nusantara
Langkah-langkah Dalam Menyelesaikan Masalah Statik (1) Kenali gaya-gaya ( besar dan arahnya ) yang berkerja pada benda (2) Buat diagram gaya-gaya tersebut pada suatu sistem koordinat. Pilih sistem koordinat yang memudahkan perhitungan . (3) Uraikan gaya-gaya tersebut atas komponen- komponennya. (4) Pilih sebarang sumbu rotasi benda yang tegak lurus bidang X-Y 5. Terapkan hukum kesetimbangan benda tegar, yaitu : FX = 0 ; FY = 0 ; τ = 0 Bina Nusantara
Contoh Kesetimbangan Statik (1) Sebuah tangga serbasama, panjang 5 m dan massa 10 kg, bersandar pada dinding yang licin. Kaki tangga berada 3 m dari dinding (lihat gambar). Tentukan koefisien gesekan statik antara tangga dan lantai agar tangga tidak tergelincir. F1 F2v F2 mg fs 3 m Bina Nusantara
ΣFY = 0 = F2V – mg = 0 F2V = mg = 10 (10) = 100 N Gaya-gaya yang bekerja pada tangga : Gaya berat W = mg Gaya oleh dinding F1 Gaya oleh lantai F2 , dengan komponen vertikal F2V dan komponen horizontal fS . Diagram gaya-gaya tersebut ditunjukan pada gambar. Dari sayarat kesetimbangan : ΣFx = 0 = F1 – fS F1 = fS = μS F2V ΣFY = 0 = F2V – mg = 0 F2V = mg = 10 (10) = 100 N Ambil titik kontak tangga-lantai sebagai sumbu rotasi, hingga : torsi oleh F2V dan fS akan sama dengan nol Maka : Στ = F1 (4 ) – mg (1,5 ) = 0 F1 = 37,5 N = fS μS = fS/ F2V = 37,5/100 = 0,375. Bina Nusantara