Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehSugiarto Suparman Pranoto Telah diubah "7 tahun yang lalu
1
PERIODISASI SASTRA MENURUT NURSINAH SUPARDO
Nama: Nuraini Asriningsih Fitriani Nur Hidayah Marta Handayani
2
PERIODISASI SASTRA MENURUT NURSINAH SUPARDO
Nj. Nursinah Supardo, menurutnya periodisasi sastra dibagi menjadi: 1) Angkatan Abdullah atau zaman peralihan, 2) Angkatan balai pustaka 3) Angkatan pujangga baru 4) Angkatan Jepang 5) Angkatan 45
3
KESUSASTRAAN PERALIHAN / KESUSASTRAAN ZAMAN ABDULLAH
1. Pengertian Kesusastraan pada masa ini disebut kesusastraan peralihan karena adanya gejala-gejala masa peralihan, antara sastra lama dan sastra baru yang mendapat pengaruh dari Barat. Kesusastraan zaman ini dipelopori oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Kesusastraan zaman ini tidak berkembang karena Abdullah tidak memiliki seorang pun pengikut sehingga dapat dikatakan bahwa kesusastraan zaman ini adalah kesusastraan Abdullah semata. Perbedaan kesusastraan zaman ini dengan zaman sebelumnya dapat diktegorikan berdasarkan isi dan bahasanya.
4
ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura. Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" karena ada banyak sekali karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2] Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu.
5
ANGKATAN PUJANGGA BARU
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistis dan elitis. Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun ), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu : Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
6
ANGKATAN JEPANG A. SITUASI SASTRA DI MASA JEPANG Menilik jangka waktunya sebenarnya sastra Indonesia di masa Jepang kurang penting untuk dibicarakan tersendiri. Sastra Indonesia di masa Jepang berlangsung hanya ±3,5 tahun; waktu yang amat singkat bagi pertumbuhan suatu kebudayaan. Akan tetapi, dilihat dari peranan sastra masa itu bagi perkembangan selanjutnya, maka sastra Indonesia di masa Jepang perlu diberi tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Jassin menganggap bahwa zaman Jepang adalah masa pemasakan jiwa revolusi, yang kemudian meletus pada tanggal 17 Agustus Dilihat dari pertumbuhan kebudayaan Indonesia, zaman Jepang adalah penempaan pengalaman hidup dengan berbagai penderitaan sehingga memungkinkan timbulnya keragaman dan kedewasaan sastra kemudian. Banyak pengarang Angkatan 45 yang mulai berakar pada sastra Indonesia di masa Jepang antara lain Chairil Anwar, Idrus, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Walaupun demikian, sastra Indonesia di masa Jepang tidak perlu dipandang sebagai suatu angkatan tersendiri karena pada hakikatnya pada masa itu tidak ada satu konsepsi atau ide yang jelas yang hendak diperjuangkan oleh para pengarang, yang tentunya dapat dilihat atau yang tercermin dalam karya sastra mereka. Memang ada perbedaan gaya bahasa, sikap, dan pandangan hidup, dibandingkan dengan sastra sebelum perang, tetapi semua itu tidak bersumber pada adanya kesamaan konsepsi para pengarang pada masa itu. Macam-macam sikap para pengarang bangsa kita menerima kedatangan Jepang. Sikap itu dapat kita lihat dari sastra yang mereka hasilkan, walaupun sebenarnya belum tentu apa yang terjelma dalam karya sastra tersebut benar-benar mencerminkan seluruh pribadinya. Ada beberapa pengarang yang menyebutkan kedatangan Jepang di Indonesia dengan gembira dan penuh harapan, walaupun kemudian mereka menyadari apa maksud Jepang yang sebenarnya. Sikap ini antara lain tampak pada puisi Usmar Ismail. Bagaimana sikap Usmar Ismail pada mulanya tercermin pada bait terakhir puisi yang berjudul Kita Berjuang.
7
ANGKATAN 45 Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.