Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
1. Dasar Hukum (antara lain) :
HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN 1. Dasar Hukum (antara lain) : a. UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun; b. PP No. 4/1988 tentang Rumah Susun; c. Peraturan Kepala BPN No. 2/1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian Serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun; d. Peraturan Kepala BPN No. 4/1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Catatan: Dalam konsep Rancangan Undang-Undang Pertanahan Nasional disebut : Hak Milik atas Satuan Gedung Bertingkat.
2
2. Tujuan pembangunan rumah susun dirumuskan sebagai berikut :
a. Untuk pemenuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat; b. Untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras dan seimbang; c. Untuk meremajakan daerah - daerah kumuh; d. Untuk mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan; e. Untuk mendorong pemukiman yang berkepadatan tinggi.
3
3. Pengertian a. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan- satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. b. Dalam sistem Rumah Susun terdapat 2 elemen pokok dalam sistem pemilikannya, yaitu: i. Pemilikan yang bersifat perorangan yang dapat dinikmati secara terpisah; ii. Pemilikan bersama yang tidak dapat dimiliki secara perorangan tetapi dimiliki bersama dan dinikmati bersama
4
c. Satuan rumah susun, yaitu ruang yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah yang mempunyai sarana perhubungan ke jalan umum. d. Pemilikan bersama obyeknya, yaitu : i. Bagian bersama, yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Contohnya fondasi, balik, dinding luar, lantai, atap, tangga, lift, jaringan pipa dan lain-lain; ii. Benda bersama, yaitu benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Contohnya taman, lapangan parkir, kolam renang, lapangan bermain, dan lain-lain. iii. Tanah bersama, yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batas- batasnya dalam persyaratan izin bangunan.
5
BAGIAN BERSAMA SARUSUN BENDA BERSAMA
TANAH BERSAMA (M/S/P) BENDA BERSAMA
6
4. Berdasarkan pasal 7 UU No
4. Berdasarkan pasal 7 UU No. 16/1985, Rumah Susun hanya dapat dibangun di atas tanah yang dikuasai dengan : a. Hak Milik; b. Hak Guna Bangunan; c. Hak Pakai atas tanah negara; d. Hak Pengelolaan 5. Apabila Rumah Susun dibangun di atas tanah Hak Pengelolaan, maka yang perlu diperhatikan adalah : a. Hak Pengelolaan hanya dapat diberikan kepada badan- badan hukum yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah atau/dan Pemerintah Daerah. b. Penyelenggara Pembangunan wajib menyelesaikan status Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan tersebut sebelum menjual satuan rumah susun.
7
6. a. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS). adalah pemilikan
6. a. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) adalah pemilikan perseorangan atas satuan- satuan rumah susun dan hak bersama yang meliputi : i. Hak bersama atas bagian bersama; ii. Hak bersama atas benda bersama; iii. Hak bersama atas tanah bersama; yang kesemuanya merupakan satu kesatuan hak yang tidak terpisahkan. b. Pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, 36, dan 42 UUPA.
8
7. Untuk menjamin kepastian hak bagi pemilik satuan rumah susun, Pemerintah memberikan alat pembuktian yang kuat berupa Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang terdiri dari: a. Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur atas tanah hak bersama; b. Gambar Denah Tingkat Rumah Susun, yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki; c. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
9
PROSES PELAKSANAAN SERTIPIKASI RUMAH SUSUN
(Berdasarkan PP No. 4/1998) Pelaksanaan sertipikasi Rumah Susun sebagai berikut : 3. 4. 5. 1. 2. Perencanaan Pembangunan Rumah Susun (Ps. 9 dan 10) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (Ps. 30) Selesai Menbanguan Pencadangan Tanah/Ijin Lokasi Pembebasan Tanah 5a. 3a. 3b. Pengesahan Pertelaan (Ps. 31) Permohonan Hak Atas Tanah dan Sertipikat (HPL/HGB) Pengajuan Hak Sertipikat HGB bersamaan Developer 9. 8. 7.. Jual Beli HMSRS (Akta PPAT) Sertipikasi HMSRS (a/n Developer) Akta Pemisahan dibuat Developer dan disahkan Pemda 6. 10. Izin Layak Hun (ps. 35)i Pendaftaran Peralihan HMSRS a/n Pembeli Sertipikat HMSRS A/n Pembeli 11. AD/ART Perhimpunan Penghuni UU dan PP memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur secara detail berbagai bentuk perizinan yang ditetapkan oleh UU dan PP yang pelaksanaannya harus diatur dalam Peraturan Daerah (PERDA). Berbagai Daerah karena otonomi yamg diberikan dapat berbeda-beda cara mengaturnya terutama menyangkut instansi yang menanganinya
10
NPP PETA PENDAFTARAN Disahkan oleh WaGub (melalui Kanwil BPN)
Gambar & Batas Pemilikan bersama/ Perseorangan Hak PERTELAAN NPP Kewajiban Koefisien Roya Partial Uraian : Hak & Kewajiban -Hitungan NPP Disetujui oleh Kanwil BPN
11
8. Pembebanan Hak Rumah Susun yang sudah selesai dibangun dan yang akan dibangun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan kesatuan dengan tanah tersebut, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Dengan tujuan untuk meningkatkan pembangunan rumah susun, melalui pasal 12 ayat 2 UURS, telah diberikan kemungkinan untuk membebani Hak Tanggungan atas tanah beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang diberikan (kredit konstruksi).
12
9. Roya Parsial Apabila Hak Tanggungan hapus karena sebab-sebab tertentu maka perlu ada penghapusan/roya pada buku tanah/sertipikat hak atas tanah serta buku tanah/sertipikat hak tanggungannya. Dengan berlakunya UURS, dapat dilakukan roya sebagian (roya parsial) dengan syarat harus diperjanjikan terlebih dahulu dalam akta pemberiannya (pasal 16 UURS).
13
Akta Kredit Konstruksi
ROYA PARTIAL: RUMAH SUSUN HT NPP1 HMSRS DEV HT NPP1 HMSRS A HT NPP1 HMSRS A HGB (B1) an. Developer HT NPP2 HMSRS DEV HT NPP2 HMSRS B HT NPP1 HMRSR A HT NPP3 HMSRS DEV HT NPP3 HMSRS C HT NPP1 HMSRS A Akta Pemisahan AKTA PPAT APHT KPR HT KPR Akta Kredit Konstruksi Hak Tanggungan Roya Partial
14
10. Eksekusi Apabila debitur wanprestasi maka kreditur berhak menjual benda-benda milik debitur yang dijadikan jaminan hutang untuk memperoleh kembali piutangnya, dengan mengambil sebagian atau seluruh dari hasil penjualan tersebut. Untuk menghindari kemungkinan yang tidak dikehendaki dalam penjualan secara lelang umum tersebut, maka pasal 17 UURS telah membuka kemungkinan dilaksanakannya eksekusi di bawah tangan dengan ketentuan : a. Atas kesepakatan debitur dan kreditur serta menguntungkan semua pihak; b. Dilakukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak- pihak yang berkepentingan; c. Diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan; d. Tidak ada yang keberatan.
15
11. Perhimpunan Penghuni Para penghuni suatu lingkungan rumah susun diwajibkan membentuk perhimpunan penghuni. Perhimpunan penghuni yang diberi kedudukan sebagai badan hukum ini berkewajiban mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan, penghunian, dan pengelolaan rumah susun yang mereka huni bersama. Selain bertugas mengelola dan memelihara rumah susun beserta lingkungannya, perhimpunan penghuni juga bertugas mengatur tata tertib penghuniannya, sehingga dapat diwujudkan ketertiban, ketentraman dan keserasian dalam lingkungan rumah susun yang bersangkutan.
16
IMPLIKASI HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH TERHADAP BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH
17
IMPLIKASI HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH TERHADAP BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH
Pasal 4 ayat (4) Undang-undang Tahun 1996 menyebutkan bahwa : “Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Hak Tanggungan yang bersangkutan”. Artinya apabila pemegang hak atas tanah tersebut hanya mau membebankan hak atas tanahnya saja tanpa bangunannya harus dimungkinkan, sehingga apabila terjadi ingkar janji dan dilakukan eksekusi, maka yang dapat dieksekusi tersebut hanya hak atas tanahnya.
18
Pasal 4 ayat (5) menyebutkan bahwa :
“Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik”. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan hanya dapat terjadi apabila pemilik hak atas tanah tersebut melakukan penandatanganan serta atas Hak Tanggungan yang dimohon oleh pemilik bangunan. Dapat diartikan bahwa pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan atau tanaman atau hasil karya harus dibebankan berikut hak atas tanah di mana bangunan atau tanaman itu berdiri diatasnya. Ketentuan Pasal 4 ayat (5) mungkin dalam praktek akan sulit dilakukan
19
Berdasarkan asas pemisahan horisontal rumah, bangunan dan tanaman terpisah dari tanah di mana benda-benda itu berdiri, dan karena itu rumah atau bangunan perlu mempunyai identitas tersendiri yang terlepas dari identitas tanah di mana rumah atau bangunan itu berdiri, sehingga diharapkan rumah atau bangunan akan merupakan benda terdaftar dan memiliki tanda bukti pemilikan sendiri.
20
Sebagai konsekuensi dari asas pemisahan horisontal maka rumah dan bangunan yang telah terdaftar dan memiliki tanda bukti pemilikan yang terpisah dari tanahnya itu dapat dijaminkan terpisah dari hak atas tanahnya. Bagi rumah atau bangunan terdaftar itu diharapkan dapat berlaku Hak Tanggungan atas bangunan.
21
Selama masa transisi sebelum rumah atau bangunan merupakan benda terdaftar dengan tanda bukti pemilikan tersendiri, ketentuan Pasal 4 ayat (5) Undang-undang No. 4 tahun 1996 dapat diterapkan atau dapat diharapkan lembaga fidusia dipergunakan.
22
PEMBEBANAN OBJEK HAK TANGGUNGAN UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN DI LUAR WILAYAH INDONESIA
Undang-undang Hak Tanggungan tidak menghalangi dan tidak melarang pemberian kredit bank kepada debitur selaku individu yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia yang dipergunakan di luar wilayah negara Republik Indonesia, dengan menggunakan Hak Tanggungan sebagai jaminan. Penjelasan Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Hak Tanggungan juga tidak membatasi pemberian kredit kepada debitur orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit tersebut dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia.
23
Pasal 3 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk :
1. Hutang yang telah ada 2. Hutang yang masih akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu. 3. Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya.
24
PERJANJIAN HUTANG PIUTANG YANG DIBUAT DI LUAR NEGERI DAN PERJANJIAN HUTANG YANG PARA PIHAKNYA ADALAH ORANG PERSEORANGAN ASING ATAU BADAN HUKUM ASING. Didalam praktek perbankan, tidak ada ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan perjanjian kredit dibuat dengan akta otentik. UUHT tidak membatasi bahwa perjanjian yang menimbulkan hutang harus dibuat di Indonesia. Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT, dalam hal hubungan hutang-piutang itu timbul dari perjanjian hutang piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam negeri maupun di luar negeri. Sedangkan pihak-pihak dalam perjanjian hutang piutang dapat orang-perseorangan asing atau badan hukum asing.
25
PEMBUATAN PERJANJIAN KREDIT DI LUAR NEGERI
1. Perjanjian Kredit yang dibuat di dalam negeri atau di luar negeri merupakan perjanjian pokok yang menimbulkan hubungan hutang piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan yang bersifat assecoris. 2. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang piutang (Perjanjian Kredit) dapat dibuat dengan Akta dibawah tangan atau dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. (vide penjelasan Pasal 10 UU No. 4/1996 UUHT)
26
3. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. (vide penjelasan pasal 8 UU No. 10/1998 tentang Perbankan) 4. Pengakuan atas hutang atau atas jumlah kredit yang telah diterima debitur yang mempunyai kekuatan eksekutorial dengan judul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dibuat dengan akta otentik (akta notaris). (vide pasal 224 HIR)
27
Perjanjian Kredit dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri antara pihak yang merupakan orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia. (vide pasal 10 UU No. 4/1996 UUHT) Dalam kelaziman dan praktek perbankan, setiap akta yang dibuat di luar negeri untuk digunakan di Indonesia dilakukan prosedur/tahapan sebagai berikut: Akta/Perjanjian Kredit ditandatangani oleh pihak- pihak yang terkait. Akta/Perjanjian Kredit tersebut dilegalisir oleh pihak yang berwenang di negara asal yang bersangkutan. Akta/Perjanjian Kredit tersebut didaftarkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia setempat.
28
HAK TANGGUNGAN YANG DIBEBANKAN BERIKUT BANGUNAN, TANAMAN DAN HASIL KARYA
Bangunan di bawah permukaan tanah Di dalam UUHT sengaja bukan dipakai istilah “bangunan yang berada di atas tanah tersebut” tetapi dengan istilah “bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut”. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (4) UUHT adalah basement, yaitu lantai di bawah tanah dari gedung-gedung bertingkat.
29
Dalam butir 6 Penjelasan Umum UUHT dikemukakan bahwa apabila bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah, yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas permukaan bumi di atasnya, tidak termasuk dalam pengaturan ketentuan mengenai Hak Tanggungan menurut undang-undang ini.
30
KEDUDUKAN PIUTANG NEGARA TERHADAP PIUTANG KREDITUR YANG DIJAMIN DENGAN HAK TANGGUNGAN
Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Penjelasan umum UUHT itu bahwa yang dimaksudkan dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain” ialah : “bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku”.
31
PIUTANG NEGARA Piutang Negara adalah sejumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh Negara, berdasarkan suatu perjanjian, peraturan atau sebab apapun. Penyerahan piutang adalah instansi pemerintah, badan negara baik tingkat pusat maupun daerah termasuk pemerintah daerah dan badan usaha yang modal atau kekayaannya sebagaian atau seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki badan usaha milik negara (BUMN)/badan usaha milik daerah (BUMD) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
32
Piutang yang diistimewakan (Vide Buku II Bab XIX KUH Perdata)
Semua kekayaan Debitur menjadi tanggungan untuk segala kewajibannya. Kekayaan Debitur yang bersangkutan menjadi jaminan bersama-sama untuk semua krediturnya, hasil penjualan harta dibagi menurut keseimbangan kecuali apabila di antara Kreditur ada alasan yang sah untuk didahulukan. Hal untuk didahulukan di antara Kreditur timbul dari: a. Hak Istimewa; c.Hipotik; e.Hak Tanggungan b. Gadai; d.Fidusia;
33
Hak istimewa adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 1139 mengenai Hak Istimewa atas benda tertentu dan pasal 1149 mengenai Hak Istimewa atas semua benda bergerak dan tak bergerak. Gadai dan Hipotik sebagaimana diatur dalam BW pasal 1150, 1162, dan Fidusia serta Hak Tanggungan dalam UU No. 42/1999 dan UU No. 4/1996. Gadai, Hipotik, Fidusia dan Hak Tanggungan kedudukannya lebih tinggi dari Hak Istimewa kecuali dalam hal undang-undang menentukan sebaliknya.
34
Apa ada undang-undang yang menentukan sebaliknya
Apa ada undang-undang yang menentukan sebaliknya? Ada, contoh undang-undang yang menentukan kreditur lain kedudukannya lebih tinggi dari kreditur pemegang Hak Jaminan (Hak Tanggungan, Hipotik, Gadai, Fidusia) antara lain adalah yang timbul dari: Biaya perkara [Vide pasal 1149 (1)]; Hutang Pajak (UU Perpajakan No. 9/1994); Upah buruh (UU Ketenagakerjaan)
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.