Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehSusanto Kartawijaya Telah diubah "7 tahun yang lalu
1
ETIKA PUBLIK DALAM OTONOMI DAERAH
Disiapkan oleh Warjio Pascasarjana MAP-UMA
2
Pelayanan publik kita
3
Pelayanan publik kita
4
ETIKA PELAYANAN PUBLIK (HASIL PENELITIAN)
Dwiyanto (2002), dalam penelitiannya tentang pelayanan publik, salah satunya menukik pada aspek etika pelayanan publik dengan menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat dua pihak yang berhadapan dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat sebagai pemberi layanan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan, antara keduanya seringkali terdapat perbedaan kepentingan-kepentingan yang mencolok. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan dengan mengambil sampel beberapa daerah di Indonesia yaitu : Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Menunjukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang mencolok dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam kontek etika pelayanan, masyarakat pengguna jasa mengharapkan adanya etika birokrasi sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna jasa harus ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui prinsip pelayanan tersebut diharapkan tidak terjadi diskriminasi . Jika kondisi demikian dapat diciptakan, etika pelayanan publik sesuai dengan misi aparat birokrasi dan tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa.
5
ETIKA PELAYANAN PUBLIK (HASIL PENELITIAN)
Hasil kajian tentang etika pelayanan publik di Instansi teknis di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar dalam hal pengurusan KTP yang dilakukan oleh Sudana (2003) disimpulkan etika pelayanan belum optimal diterapkan dalam pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat: pertama, lemahnya penerapan kode etik aparat dalam pelayanan, yang terindikasi dari adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dalam memberikan pelayanan. Beberapa oknum aparat kadang-kadang menawarkan diri sebagai biro jasa atau calo yang mengarah kepada tindakan terjadinya korupsi; kedua, rendahnya kesadaran aparat birokrasi akan tanggung jawab dan disiplin dalam proses pelayanan, dan masih adanya tindakan diskriminasi pelayanan yang mengarah pada unsur nepotisme; ketiga, etika birokrasi dalam pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat. Seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa dirugikan dalam pelayanan secara komprehensif.
6
DASAR KONTEKSTUALITAS TUNTUTAN
Adanya perubahan paradigma yang berpusat pada rakyat dan sejalan dengan perubahan paradigma dari UU No. 5 tahun 1974 yang menggunakan “The structural efficiency model”, menuju UU No. 22 Tahun 1999 dan selanjutnya diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan “The local democracy model”. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di daerah. Semangat otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya memandirikan Pemerintah Daerah dalam menjalankan dan menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah haruslah selalu tanggap dalam merespon serta menyikapi kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Dengan pelaksanaan otonomi daerah diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan lebih murah.
7
Pemuasan pelayanan Publik
Menurut Tjokrowinoto (2001:11), relevansi pemuasan masyarakat atas pelayanan yang disediakan, perilaku birokrasi perlu diperhitungkan kompetensinya dengan mengacu pada dua hal yaitu: pertama, birokrasi harus memberikan pelayanan publik dengan adil, menuntut kemampuan untuk memahami keadaan masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu kebijakan kemudian diimplementasikan; kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting, dari pendekatan top down yang menguasai dinamika interaksi antara birokrasi dengan masyarakat dapat mengalami perubahan menjadi hubungan horisontal.
8
Etika publik VS Mal Praktik Pelayanan Publik
Muncul persoalan? Etika publik VS Mal Praktik Pelayanan Publik
9
Etika publik ETIKA PUBLIK Etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai- nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7). Putra Fadillah (2001:27), etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik”. Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar- benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.
10
MAL-ADMINISTRASI Menurut Widodo (2001:259), mal-administrasi merupakan suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi yang menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi
11
8 MAL-PRAKTEK ADMINISTRASI
Nigro dan Nigro dalam (Widodo, 2001: ), mengemukakan terdapat delapan bentuk mal-praktek (mal-administrasi) yaitu : 1.Ketidak-jujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur. Misalnya; mengambil uang dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari langganan (client), menarik pungutan liar, dan sebagainya. Dikatakan ketidak-jujuran karena tindakan ini berbahaya dan menimbulkan ketidak-percayaan (dis-trust), dan merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat. 2. Perilaku yang buruk (unethical behaviour), pegawai (administrator publik) mungkin saja melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya, kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya dalam tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya familinya diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis karena mengabaikan objektivitas penilaian. 3. Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai (administrator publik) dapat mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan kepentingannya. Misalnya pegawai menggunakan mobil dinas untuk keluarga, padahal ia tahu fasilitas kantor yang secara hukum hanya diperuntukkan bagi pegawai dan hanya untuk kepentingan dinas.
12
8 MAL-PRAKTEK ADMINISTRASI
4.Favoritisme dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di wilayahnya harus bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai kader partai A merasa terpanggil memenangkan partai tersebut. 5.Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi. 6.Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugas secara memadai, para administrator disitu dinilai gagal, misalnya pemborosan dana secara berlebihan. 7.Menutup-nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai menutupi kesalahannya sendiri atau bawahannya, atau menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau melarang pers meliput kesalahan instansinya. 8. Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya.
13
Faktor pendukung pelayanan publik
Faktor-faktor pendukung proses pelayanan yang semestinya selalu mendapatkan perhatian seksama, diantaranya adalah : faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan; faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan; faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan; faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum; faktor ketrampilan petugas; dan faktor sarana alam pelaksanaan tugas pelayanan (Moenir, 1992:88).
14
Efek faktor pendukung Efek faktor pendukung
kemudahan dalam pengurusan kepentingan; mendapatkan pelayanan yang wajar; mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih; mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang (Moenir, 1992:47).
15
Efek faktor pendukung Efek faktor pendukung
masyarakat menghargai korps pegawai; masyarakat patuh terhadap aturan-aturan pelayanan; masyarakat bangga terhadap korps pegawai; ada kegairahan usaha dalam masyarakat; ada peningkatan dan pengembangan dalam masyarakat menuju segera tercapainya masyarakat adil dan makmur (Moenir, 1992:47).
16
PELAYANAN PUBLIK ADALAH HAK KITA
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.