Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

“CONSTRAINTS ON THE WAGING OF WAR: An Introduction to International Humanitarian Law” USMAR SALAM.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "“CONSTRAINTS ON THE WAGING OF WAR: An Introduction to International Humanitarian Law” USMAR SALAM."— Transcript presentasi:

1 “CONSTRAINTS ON THE WAGING OF WAR: An Introduction to International Humanitarian Law”
USMAR SALAM

2 Character of Law: Hukum perang dibuat untuk mengurangi kejahatan perang dan menghindari jumlah korban perang Scope of Application: Hukum dan Konvensi perang berlaku secara internasional di seluruh dunia. Kata perang sering disalahartikan. Pada dasarnya hukum perang seperti Hague Law berlaku pada negara yang melakukan perang terbuka dan bersenjata

3 Combatans: Aturan Hague berlaku terhasap perang angkatan bersenjata
Pasal 1 peraturan Hague merujuk kepada ' milisi dan relawan korps perang yang memenuhi empat kondisi, yakni: 1. diperintah oleh orang yang bertanggung jawab atas perang; 2. memiliki tanda khas agar dikenali dari kejauhan; 3. membawa senjata secara terbuka;  4. melakukan operasi perang sesuai dengan hukum dan aturan perang yang berlaku.

4 Leocadia prima puspitasari 12/335519/SP/25252 Means of Warfare
Prinsip negara saat berperang : menyakiti lawan tidak sesuai target atau tanpa membeda-bedakan(membabi buta) Senjata : dumb dumb bullets, senjata kimia ( baik berbahan gas, cair, maupun padat) Deklarasi Perdamaian Hague I Melarang penyerangan yang tidak sesuai target yang seharusnya

5 Leocadia Prima P Methods of Warfare
Hague Metode/cara berperang : Peperangan dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama dan diketahui kedua belah pihak Dilarang mengadu domba Dilarang melakukan penyerangan secara terus menerus sehingga menimbulkan rasa benci/ rasa ingin terus menyakiti pihak lawan

6 Penggunaan Kekuatan Militer
Hal yang boleh dilakukan dalam perang (Deklarasi Pettersburg 1868): Menghancurkan kekuatan “militer” musuh (ex: kendaraan lapis baja, artileri & instalasi militer) -> daerah operasi militer (DOM) Embargo (penghentian/pembatasan): kegiatan ekonomi & militer Dua prinsip penggunaan kekuatan militer dalam perang (Resolusi XXVIII ICRC, 1965 & Resolusi XIII dari Majelis Umum PBB, 1968) : 1.Dilarang menyerang/membunuh penduduk (sipil) 2.Harus dibedakan antara DOM & SIPIL -> minimalisir korban sipil Konvensi Den Haag IX (1907), pasal (2): sebelum dilakukan serangan ke daerah sasaran militer terlebih dahulu harus diadakan pemeritahuan supaya meminimalisir jatuhnya korban sipil pasal (6): jika ada serangan tanpa pemberitahuan, maka komandan perang harus mengambil langkah terbaik untuk melindungi penduduk sipil dari bahaya ketika terjadi operasi militer Prinsip tersebut kemudian menjadi dasar dalam konferensi tentang zona aman dari perang; rumah sakit, ambulans, tempat/situs sosial & kebudayaan

7 Senjata Nuklir Penggunaan senjata nuklir dalam perang dimulai ketika peristiwa pemboman oleh sekutu di Hiroshima-Nagasaki (1945) Aturan maupun prinsip mengenai penggunaan senjata nuklir telah banyak dilanggar karena ketidaksepahaman mengenai aturan penggunaan senjata; nuklir merupakan jenis senjata baru & urutan berbeda dari jenis senjata lainnya Penggunaan senjata nuklir akan berefek jangka panjang -> mengancam perdamaian dunia dan membahayakan sipil sehingga diperlukan “Strategi Penyerangan Kota” : dimana ancaman terhadap pihak yang menggunakan senjata nuklir diperlukan untuk pemeliharaan perdamaian dunia supaya tidak melanggar hukum Banyak militer yang menggunakan senjata nuklir untuk tujuan militer; konsentrasi angkatan bersenjata, tempat peluncuran senjata, dsb) Dalam penggunaan senjata nuklir juga harus diperhatikan tentang perlindungan warga sipil Penggunaan senjata nuklir telah dilarang (berdasar Hukum Den Haag sebelum 1977)

8 Perlindungan Umum Perlindungan Khusus Benda Budaya:
Benda bergerak maupun tak bergerak yang memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan masyarakat Bangunan yang ditujukan untuk melestarikan benda-benda budaya Bangunan yang menyimpan banyak benda budaya. Perlindungan Umum Perlindungan Khusus

9 Orang-orang yang dilindungi:
Anggota angkatan bersenjata dari pihak yang berkonflik. Anggota milisi lain atau kesatuan sukarelawan. Leve´e en masse, asalkan mereka membawa senjata secara terbuka dan menghormati hukum dan kebiasaan perang. Orang yang mendampingi angkatan bersenjata tanpa benar-benar menjadi bagian dari angkatan bersenjata tersebut. Pedagang di laut dan para awak pesawat terbang sipil dari pihak dalam konflik. Perlindungan juga diberikan kepada masyarakat sipil, sukarelawan medis, dan utusan keagamaan.

10 Rr. Ajeng Chandra Purnamasari 12/335646/SP/25317 Prinsip-prinsip Utama Konvensi Jenewa
Pihak-pihak yang dilindungi harus diperlakukan secara hormat dan manusiawi, tanpa membedakan ras, agama, kebangsaan, gender, perspektif politik, atau aspek-aspek serupa. (Konvensi I dan II pasal 12, Konvensi III pasal 16, dan Konvensi IV pasal 27)

11 Konvensi I Pasal 12: Korban yang sakit dan terluka dirawat oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dengan alasan medis sebagai acuan penentuan prioritas perawatan. Pasal 15: Pihak-pihak yang terlibat perang bertanggung jawab sepenuhnya atas perawatan korban perang, identifikasi korban yang hidup maupun meninggal, dan pengembalian korban meninggal ke negaranya. Pasal 19: Pelarangan untuk meluncurkan serangan ke fasilitas-fasilitas medis (ambulans, rumah sakit). Pasal 24: Perawatan korban perang merupakan tugas dari Bagian Medis Militer. Pasal 26: Anggota Medis Militer mendapatkan perlindungan yang sama seperti personel militer lain. Pasal 46: Hukum ini tidak dapat diklaim oleh satu pihak, namun berlaku untuk semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata.

12 Angganararas Second Convention
Hak korban terluka untuk mendapat pengobatan dalam keadaan peperangan di laut tidak peduli apapun kewarganegaraannya Kapal milik medis tidak boleh menjadi target senjata Kapal milik medis harus berwarna merah dan memiliki lambang palang merah untuk menandai dan membedakan

13 Third Convention Tawanan perang tidak dapat dilukai ataupun dibunuh
Tawanan perang bukan merupakan otoritas dari pihak yg menangkapnya Tawanan perang yang terluka atau meninggal saat penangkapan harus segera dikembalikan ke negara asal

14 Aridha Primafaela Fourth Convention
Konvensi IV atau Konvensi tentang Penduduk Sipil (Civilians Convention) mengatur segala ketentuan mengenai penduduk sipil dalam perang. Bagian II dalam konvensi tersebut menjelaskan mengenai Perlindungan Umum Terhadap Penduduk Atas Konsekuensi Perang. Dalam situasi perang, Zona yang dilindungi dan tidak boleh diserang dalam perang antara lain: 1.Rumah Sakit, Zona Aman dan daerah sekitarnya. (Pasal 14) 2.Zona yang dinetralkan (neutralised zone). (Pasal 15)

15 Bagian III menjelaskan mengenai Status dan Perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi (Status and treatment of protected persons). Hal-hal yang dijelaskan mencakup: -Ketentuan umum bagi wilayah pihak yang terlibat konflik dan wilayah-wilayah yang diduduki -Ketentuan bagi Orang asing di wilayah pihak yang berkonflik

16 Anggie Bagian II dan III umumnya mengenai apa dan bagaimana status orang yang dilindungi pada occupied territory. Occupied territory sendiri merupakan wilayah yang berada dibawah otoritas tentara musuh (Pasal 42). Bagian II dan III umumnya mengatur tentang hal-hal dibawah ini: Dilarang membunuh orang-orang yang dilindungi. orang yang dilindungi atas usia 18 dapat dipaksa untuk bekerja tetapi hanya di wilayah yang diduduki bukan sebagai tentara, tetapi sebagai melayani untuk operasi militer occupying power(artikel 51). occupying power harus memperhatikan kesejahteraan anak-anak (Pasal 50). (Pasal 59-61) bantuan darurat kolektif dapat diberikan oleh negara-negara lain atau organisasi kemanusiaan seperti Komite Internasional Palang Merah 'untuk kepentingan penduduk di wilayah yang diduduki. mengambil semua langkah-langkah dalam kekuasaannya untuk memulihkan, dan memastikan, sejauh mungkin, keamanan dan ketertiban masyarakat 'terletak pada hubungannya dengan hukum pidana yang berlaku di wilayah itu sebelum pendudukan.

17 Sedangkan pada bagian IV dan V, mengatur mengenai
'Peraturan untuk Pengobatan interniran' Peraturan yang diatur dalam pasal ini sangat mirip denganperaturanuntuk interniran tawanan perang, yang ditetapkan dalam Konvensi Ketiga. Bagian V Bagian III berkaitan dengan pembentukan dan fungsi biro informasi nasional dan Badan Informasi Pusat. Lembaga-lembaga ini telah disebutkan sebelumnya. Perlu mengulangi bahwa Badan Pusat, diatur dalam Pasal 140, telah menjadi Badan Tracing Tengah, diselenggarakan dan dikelola oleh ICRC. Badan fungsi baik untuk warga sipil dan tawanan perang, sejauh kategori yang terakhir yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 123 dari Konvensi Ketiga.

18 Dwi rindra common article 3

19 Protecting Powers and other humanitarian agencies
Arief Yudha Protecting Powers and other humanitarian agencies Di dalam kondisi damai, setiap negara biasanya melindungi hak – hak warga negaranya yang ada di negara lain. Di dalam kondisi perang, suatu negara dapat meminta bantuan negara lain untuk mengantikan perannya di dalam melindungi hak – hak warga negaranya. Negara lain ini disebut sebagai Protecting Power. Tugas utama dari Protecting Power adalah untuk melindungi kepentingan – kepentingan pihak yang berkonflik. Untuk menjalankan tugasnya, negara (atau organisasi lain jika tidak ada negara yang bersedia) Protecting Power menggunakan delegasi khusus yang bertugas untuk melihat kondisi korban dan tahanan perang. Jika kondisi mereka buruk, Protecting Power akan berusaha memperbaikinya

20 Ketika tidak ada negara yang menjadi Protecting Power dalam suatu konflik, ada 3 pilihan yang bisa diambil. Pilihan pertama, pihak – pihak yang berkonflik bersama – sama menunjuk negara atau organisasi lain yang berfungsi sebagai Protecting Power. Kelemahan: terdapat kemungkinan tidak adanya kesepakatan diantara pihak – pihak yang berkonflik untuk menunjuk Protecting Power. Pilihan kedua, Detaining Power meminta negara atau organisasi lain yang netral untuk menggantikan fungsi Protecting Power. Pilihan ini hanya membutuhkan persetujuan dari salah satu pihak yang berkonflik. Kelemahan: sulit menemukan negara atau organisasi yang mau menjadi Protecting Power tanpa persetujuan kedua pihak. Pilihan ketiga, Detaining Power meminta atau menerima organisasi humaniter seperti ICRC untuk menjalankan fungsi Protecting Power. Kelemahan: Detaining Power bisa saja meninggalkan kewajibannya untuk meminta bantuan organisasi humaniter.

21 COLLECTIVE RESPONSIBILITY
Collective Responsibility dikenal juga dengan istilah “Collective Guilt” yang merujuk pada keadaan ketika sebuah entitas bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh satu atau lebih individu di dalam kelompok mereka. Contoh : pertanggungjawaban Negara atas konflik etnis, Security Council dalam menghadapi invasi, etc. Perwujudan prinsip collective security secara umum dilakukan dalam 5 bentuk, antara lain : 1) Reciprocity, 2)Reprisals, 3) Compensation, 4) External Pressure, 5) Collective Punishment

22 a. Reciprocity : terjadi ketika pihak yang melanggar, dihadapkan dengan pelanggaran satu atau lebih aturan kemudian menganggap dirinya tidak lagi terikat menghormati aturan atau aturan tersebut b. Reprisals : tindakan pelanggaran yang dilakukan secara sengaja dan terpaksa sebagai reaksi atas pihak yang merugikan entitas tersebut dengan tujuan membuat pihak pelanggar menghormati sisi hukum yang ada dan bertujuan untuk menghentikan otoritas pihak pelanggar dalam mengubah dan menghentikan kebijakan c. Compensation : risiko yang diberikan bagi pihak yang berkonflik untuk membayar kompensasi atas kerusakan yang disebabkan oleh tindakan pelanggaran mereka. d. External Pressure adalah adanya tekanan dari pihak luar yang tidak terlibat dalam konflik, entah dengan pemberitaan, opini publik, dll. e. Collective punishment : tindakan pendisiplinan dengan cara memberi sanksi/hukuman dengan cara memutus asosiasi secara langsung, mengendalikan akses pihak pelanggar atapun mengontrol gerak-gerik pihak yang merugikan (contoh : embargo ekonomi)

23 Jihan Individual Responsibility
Apa itu ‘Individual Responsibilty’? Individual responsibility adalah istilah yang mengarah kepada pengenaan sanksi atau hukuman terhadap individu yang melakukan pelanggaran hukum perang. Sebelum Konvensi Jenewa tahun 1949, belum ada pernyataan yang jelas mengenai pertanggungjawaban individu sebagai kriminal perang. Konvensi Jenewa 1949 inilah yang pertama kali mengatur bahwa negara memiliki obligasi untuk menjatuhkan sanksi terhadap invidividu yang melakukan pelanggaran berat (grave breaches) dalam perang.

24 Masalah dalam Individual Responsibilty
Sebuah tindakan dinilai sebagai grave breaches (pelanggaran berat) jika korban merupakan orang yang dilindungi (protected person) saat tidak ada definisi yang jelas mengenai protected person, Obligasi negara terbatas dalam menjatuhkan supresi, Pelanggaran berat (grave breaches) maupun bentuk pelanggaran lainnya tidak dikategorikan sebagai ‘war crimes’, Tidak adanya kemungkinan penyelenggaran pengadilan internasional ketika negara yang bersangkutan tidak dapat mengambil tindakan terkait pelanggaran yang terjadi, Beberapa negara yang menyusun undang-undang dalam negerinya terkait individual responsibility mendefinisikan grave breaches dengan definisi yang berbeda dari yang tercantum dalam konvensi, Kecenderungan negara untuk mengabaikan obligasi terhadap individual responsibility.


Download ppt "“CONSTRAINTS ON THE WAGING OF WAR: An Introduction to International Humanitarian Law” USMAR SALAM."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google