Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

KARYA-KARYA PUNCAK DALAM SASTRA INDONESIA MODERN

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "KARYA-KARYA PUNCAK DALAM SASTRA INDONESIA MODERN"— Transcript presentasi:

1 KARYA-KARYA PUNCAK DALAM SASTRA INDONESIA MODERN
Oleh: Adyana Sunanda

2 Pengantar Prosa merupakan karya sastra yang cukup tua, di samping puisi. Prosa merupakan kelanjutan bentuk-bentuk penulisan kisah, hikayat, sejarah, tambo, riwayat, dan lain-lain. Penulisan bentuk sejarah dan kisah yang dipadu dengan cara penulisan fiksi (prosa fiksi) dimulai oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang menulis: Hikayat Abdullah, Kisah Pelayaran Abdullah, dan Sejarah Melayu.

3 Angkatan Balai Pustaka
Pendukung angkatan ini adalah kaum muda terdidik yang mendapat didikan Barat. Mereka ini pada awalnya diarahkan untuk menjadi ambtenaar (pegawai negeri) yang trampil dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Namun ternyata kaum muda ini menjadi sadar akan kenyataan bangsanya yang terjajah.

4 Konflik yang terjadi antara kaum muda dengan masyarakatnya berpangkal pada kesadaran mereka akan ketertinggalan bangsanya dalam berbagai bidang yang disebabkan oleh kungkungan adat, tradisi, dan berbagai macam penghambat kemajuan. Beberapa novel menyorot dengan tajam konflik sosial-politik-ekonomi yang terjadi pada masa itu. Novel-novel tersebut adalah: Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan (Abdul Muis), dan Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar).

5 Masalah politik dan adat serta tradisi dengan gamblang diungkap di dalam Siti Nurbaya dan Hulubalang Raja. Masalah perkawinan antarsuku dan antar-bangsa digarap dengan bagus oleh Abdul Muis di dalam Salah Asuhan. Dalam ketiga novel tersebut, juga dalam novel-novel yang lain, konflik sosial, konflik psikologis, suasana masa digarap dengan sangat mendalam sehingga ketiga novel ini dapat dikatakan sebagai tanda-tanda zamannya, saksi sejarah yang dilaluinya. Beberapa novel lain cukup menonjol: Lahami (Marah Rusli); Pertemuan Jodoh, Surapati (Abdul Muis); Jangir Bali, Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, Mutiara, Cobaan (Nur Sutan Iskandar); Ni Rawit Ceti Penjual Orang, Sukreni Gadis Bali, I Swasta Setahun di Bedahulu (I Gusti Nyoman Panji Tisna); Si Cebol Rindukan Bulan (Tulis Sutan Sati).

6 Angkatan Pujangga Baru
Pada periode ini hanya ada dua novel yang dapat disebut sebagai karya puncak: Layar Terkembang (Sutan Takdir Ali Syahbana) dan Belenggu (Armijn Pane). Kedua novel tersebut menampilkan masalah yang universal tentang hubungan manusia, baik sebagai masyarakat maupun individu. Terutama novel Belenggu, Armijn bertumpu pada pribadi manusia secara utuh menurut kodratnya untuk memilih dan melakukan sesuatu yang disukainya.

7 Angkatan 45 Ada empat novelis yang menonjol pada periode ini, yakni: Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Utuy Tatang Sontani, dan Mochtar Lubis. Pramoedya Ananta Toer (Mereka Yang Dilumpuhkan, Keluarga Gerilya, Bukan Pasar Malam, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak-jejak Langkah, dan Rumah Kaca) Ahdiat Karta Mihardja (Atheis dan Debu Cinta Berterbangan) Utuy Tatang Sontani (Tambera) Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok, Maut dan Cinta, Tanah Gersang, dan Harimau! Harimau!)

8 Orientasi penulis periode ini dalam menggarap novel-novelnya bertolak dari kenyataan revolusi fisik yang terjadi saat itu. Permasalahan yang digarap pengarang bukan terkait dengan perang itu sendiri tetapi mereka menggarap efek langsung dari perang baik yang bersifat fisik maupun psikis. Berbeda dengan Pramodedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani, Achdiat Karta Mihardja dan Mochtar Lubis memandang dari sudut ideologi (Atheis) dan Psikologi (Jalan Tak Ada Ujung).

9 Angkatan 70 Ciri-ciri yang menonjol pada awal periode (angkatan 66) ini adalah kembalinya tema-tema romantik , mite, dan legenda. Pada periode ini mulai muncul novel-novel populer seperti yang ditulis oleh Motinggo Busye dan Asbari Nurpatria Krisna. Pengarang yang hadir pada periode ini di antaranya:

10 Toha Mochtar (Pulang dan Daerah Tak Bertuan)
Trisno Yuwono (Pagar Kawat Berduri dan Petualang) Ramadhan KH (Royan Revolusi) Ali Audah (Jalan Terbuka) Nasjah Djamin (Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati dan Hilanglah Si Anak Hilang) Harijadi Sulaeman Hartowardojo (Orang Buangan dan Perjanjian dengan Maut) NH Dini (Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, dan Hati yang Damai)

11 Selain nama-nama di atas, pada periode ini muncul dua nama novelis yang hadir dengan karya inkonvensionalnya, Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan Koong) dan Putu Wijaya (Telegram, Stasiun, Pabrik, dan Lho). Novel-novel Iwan Simatupang hampir sepenuhnya menampilkan tokoh-tokoh ideal yang tidak mungkin diidentifikasikan secara fisik. Tidak ada realitas formal karena disampaikan hanya ide-ide shingga wujud manusianya adalah manusia gagasan. Novel-novel Putu Wijaya memperlihatkan kehadiran manusia sebagai tokoh masih terlihat wujud formalnya. Ia membaurkan antara realitas impian dan realitas fisik sehingga sosok tokoh masih teridentifikasi.

12 Pada periode ini muncul nama-nama lain yang cukup berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia modern. YB Mangunwijaya (Burung-burung Manyar, Burung-burung Rantau)


Download ppt "KARYA-KARYA PUNCAK DALAM SASTRA INDONESIA MODERN"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google