Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehSiska Tedja Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
BOWEL NEUROGENIK DISFUNGSI DAN MANAJEMEN
dr. Gina Zahara, Sp.KFR
2
EPIDEMIOLOGI Disfungsi gastrointestinal sering ditemukan pada orang dengan penyakit neurologis yang membutuhkan rehabilitasi. Selain efek langsung dari penyakit neurologis pada fungsi usus, faktor lain juga dapat memainkan peran besar dalam berkembangnya masalah enterik, termasuk kelemahan, asupan cairan yang cukup, dan penggunaan antikolinergik serta obat-obatan lainnya. Disfungsi bowel neurogenik dapat menjadi disabilitas dan handicap yang utama pada pasien : cedera medula spinalis, stroke, amyotrophic lateral sclerosis, multiple sclerosis, diabetes mellitus, myelomeningocele, and muscular dystrophy.
3
EPIDEMIOLOGI Disfungsi bowel neurogenik akibat dari denervasi otonom dan somatik, menyebabkan timbulnya gejala yang sering tjd: inkontinensia fekal (IF), konstipasi, dan difficulty with evacuation (DWE), Prevalensi dari inkontinensia fekal (IF) dan konstipasi 0,3% - 5,0% pada populasi masyarakat umum. Prevalensi dari difficulty with evacuation (DWE) 10% - 50% diantara pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit. Banyak gangguan pencernaan dapat menyebabkan FI atau DWE, gangguan yang merusak kontrol saraf ekstrinsik (simpatis, parasimpatis, atau somatik) dari mekanisme bowel dan anorektal lebih umum di kalangan populasi pasien physiatrists.
4
NEUROANATOMI DAN FISIOLOGI TRAKTUS GASTROINTESTINAL
Fungsi normal dari perut dan usus memerlukan koordinasi kontraksi otot, pencernaan dan penyerapan nutrisi, dan regulasi aliran darah. Kontrol saraf pada traktus gastrointestinal merupakan mekanisme yang sangat terorganisir dan terintegrasi melibatkan sistem saraf pusat (SSP; otak dan sumsum tulang belakang), sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis), dan sistem saraf enterik (ENS)
5
NEUROANATOMI DAN FISIOLOGI TRAKTUS GASTROINTESTINAL
Colon, bagian terminal dari usus yg dibagi mjd formasi fekal, penyimpanan, dan defekasi Mekanisme colon dan anorektal mendapat persarafan simpatis, parasimpatis, dan somatik serta memiliki enterik nervus sistem (ENS) intrinsik diantara lapisan otot dan dibawah mukosa Bowel neurogenik : Hilangnya fungsi kontrol motorik atau sensori motorik secara langsung, dengan atau tanpa kerusakan persarafan simpatis dan parasimpatis
8
ENS Memiliki neuron yang mengkoordinasi fungsi sensorik dan motorik
3 jenis neuron berdasarkan fungsi : neuron sensorik, merasakan panas, kimia, atau rangsang mekanik dan mengubah sensasi menjadi potensial aksi yang dihubungkan dgn sistem saraf. interneuron, penghubung neuron sensorik dan motorik, memproses masukan sensorik dari usus dan bagian lain dari sistem saraf, terintegrasi dan menghasilkan respon refleks terhadap rangsangan.
9
ENS neuron motorik, menerima dan menerjemahkan sinyal ke usus (mukosa, otot, pembuluh darah) yang mempengaruhi fungsi pencernaan dan muntah didasarkan pada pelepasan transmitter Kunci untuk berfungsinya seluruh saluran pencernaan. Neuron terletak di dua lapisan utama: pleksus submukosa (Meissner) dan myenteric intramuskular (Auerbach)
11
Sistem Neurosensorik Gastrointestinal
Mengirim informasi sensorik kimia, mekanik, dan suhu ke SSP melalui aferen vagal dan aferen spinal. Ujung neuron sensorik vagal dan spinal memasok otot, mukosa, dan ganglia dari ENS. Ujung saraf vagal aferen secara langsung memantau berbagai perubahan pada saluran pencernaan seperti lingkungan kimia, suhu, ketegangan otot, dan mukosa (respon muntah). Ujung saraf spinal aferen mendeteksi perubahan kimia yang terkait dengan cedera, iskemia, infeksi, atau peradangan yang berkontribusi terhadap rasa sakit dan ketidaknyamanan (respon mual).
12
Sistem Neurosensorik Gastrointestinal
Informasi sensorik dari serabut aferen vagal dikirim ke ganglia nodose (caudal ganglion vagus), nucleus tractus solitarius (NTS) dan di medula batang otak. NTS dan batang otak mengirim sinyal ke pusat-pusat rostral di otak. Aferen spinal mengirimkan impuls sensorik ke ganglia akar dorsalis (ganglia simpatis prevertebral), cornu dorsalis (lamina I, II, V, X) dari medulla spinalis dan nucleus column dorsalis. Medulla spinalis memodulasi konduksi pesan saraf (baik nociceptive dan nonnociceptive) ke otak yang lebih tinggi.
13
Sistem Neurosensorik Gastrointestinal
Data dari otak dan jalur vagal dihubungkan ke medulla spinalis, dan kemudian dengan neuron preganglionik di daerah torakolumbalis (memodulasi respon simpatis) dan daerah sakral (memodulasi respon parasimpatis). Output simpatis atau parasimpatis diterjemahkan ke neuron di sirkuit ENS, yang dapat merangsang atau menghambat neuron motor, kelenjar lambung atau pencernaan, dan mekanisme sekresi.
14
Sistem Neuromotor Gastrointestinal
Otot-otot saluran pencernaan : melaksanakan fungsi-fungsi penting di seluruh usus, termasuk pergerakan, penggilingan, pencampuran, penyerapan, penyimpanan, dan pembuangan. menanggapi pengaruh dari efferents vagal dan microcircuit ENS berdasarkan rangsangan atau hambatan persarafan neuron motorik. stimulasi sistem saraf simpatis cenderung untuk mempromosikan fungsi penyimpanan dengan meningkatkan tonus anal dan menghambat kontraksi kolon. aktivitas parasimpatis meningkatkan motilitas kolon, dan ketiadaannya sering dikaitkan dengan DWE.
15
Fisiologi BAB normal Fungsi Colon : pembentukan tinja dan defekasi
gudang penyimpanan sepanjang tekanan di dalam colon masih lebih rendah dari pada tekanan dari mekanisme sfingter anal reabsorbsi cairan (> 30L/hari dpt direabsorbsi oleh dinding usus besar dan kecil, 100 mL hilang melalui feses) dan gas (90%, 7-10L gas dihasilkan oleh fermentasi intracolon yg diabsorbsi) lingkungan utk pertumbuhan bakteri yg diperlukan dlm pencernaan dan juga berfungsi utk menyerap produk pemecahan bakteri tertentu
17
Defekasi Reflek yang terpicu oleh distensi rektosigmoid
Reflek rektorektal terjadi dimana usus proksimal sampai bagian yang terdistensi oleh feces berkontraksi dan dinding usus bagian distal relaksasi, sehingga memungkinkan untuk pendorongan feces lebih ke arah kaudal. Reflek relaksasi dari sfingter interna (reflek inhibitory rektoanal) juga terjadi, yang diperkuat, tapi tidak harus memerlukan suplai saraf ekstrinsik. Relaksasi ini berhubungan dengan keinginan yang diberi nama ’panggilan untuk bab’ (the call to stool).
18
Defekasi Seseorang kemudian dengan kemauan kesadaran mengkontraksikan levator ani untuk membuka kanal anal proksimal dan merelaksasikan sfingter eksterna dan musculus puborektalis. Hal ini menyebabkan jalan anorektal yang terbuka, lurus, dan pendek, yang memungkinkan feses untuk lewat. Meningkatkan tekanan intra abdominal dengan jongkok dan manuver valsalva dapat membantu pengeluaran feses.
19
Defecation Mechanism
20
Disfungsi BAB : Konstipasi
Pengosongan tidak sempurna dari feses yang keras adalah karena penurunan sekresi air dan elektrolit ke dalam lumen, yang disebabkan oleh berkurangnya eksitasi neuron secretomotor di ENS. Pelepasan rangsangan neurotransmitter mengurangi epitel sekretori, menurunkan sekresi air dan elektrolit. Kurangnya sensasi rektum dan penurunan dorongan untuk BAB sangat berhubungan dengan konstipasi dalam berbagai kondisi pd lesi di otak, medulla spinalis, saraf sakralis, hipogastrik dan pudendus. Obstruksi dapat terjadi karena tertunda waktu transit kolon dan hilangnya sensasi perineal dan rectoanal.
21
Disfungsi BAB : Inkontinensia Feses
Hilangnya kesadaran defekasi, sering terjadi pd kondisi neurologis dengan lesi yang mengenai medulla spinalis lumbalis, cauda equina, saraf S2-S4, pudenda, dan dasar panggul. Denervasi menyebabkan gangguan sensasi perineal dan rectoanal, kontraksi menyimpang, hilangnya tonus, dan melemahnya otot dasar panggul dan EAS. Kehilangan feses yang tidak terduga dan defekasi tidak normal, serta hilangnya support struktur panggul.
22
UPPER MOTOR NEUROGENIC BOWEL
Destruksi SSP di atas conus medula spinalis Hilangnya kontrol kesadaran atas defekasi Hilangnya kontrol atas EAS Hipertonik / normal EAS dengan anorektal dissinergia Reflek anokutaneus dan bulbokavernosus utuh
23
LOWER MOTOR NEUROGENIC BOWEL
Cedera pada conus medularis, sacral nerve root, rusaknya saraf somatis sfingter anal, dengan atau tanpa defisit simpatis dan parasimpatis Hilangnya kontrol kesadaran atas defekasi Hilangnya kontrol kesadaran atas EAS Lemah atau hilang tonus EAS Hilangnya sacral reflek termasuk reflek anokutaneus dan bulbokavernosus Hilangnya reflek defekasi Atrofi otot dasar panggul
25
EVALUASI Keluhan utama Anamnesis :
riwayat fungsi gastrointestinal dan neuromuskular scr umum bowel program : penilaian cairan, diet, aktivitas, obat-obatan dan aspek bowel care (jadwal, metoda inisiasi, teknik fasilitasi, waktu yang diperlukan dan karakteristik feses Informasi premorbid pola bowel (frekuensi defekasi, waktu)
26
EVALUASI Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan abdomen Pemeriksaan anus
Distensi, hernia, bising usus, massa, nyeri tekan, feses yang keras Pemeriksaan anus Lubang menganga yang patologis memberi kesan riwayat overdistensi dan trauma Kontur anus-pantat normal menggambarkan otot EAS yang utuh. Ketika ini hilang memperlihatkan regio anal yang datar, seperti kulit kerang yang terbuka keluar. Pasien harus melakukan manuver valsalva ketika pemeriksa mengobservasi anus dan perineum untuk melihat penurunan yang berlebihan.
28
EVALUASI Pemeriksaan reflek anokutaneus
Stimulasi dengan alat yang runcing pada kulit perianal, normalnya mengakibatkan reflek kontraksi sfingter anal yang terlihat dari luar. Inilah reflek anokutaneus yang diperantarai oleh hemmorhoidal inferior dari nervus pudendal (S2 sampai S5). Hal ini dapat dicek dengan menyentakkan rambut perianal atau dengan alat yang bertepi tajam kemudian digoreskan pada kulit perianal. Pemeriksaan reflek bulbokavernosus diperiksa dengan meremas gland penis atau mengetuk klitoris dimana akan didapati kontraksi sfingter anal
29
EVALUASI Pemeriksaan colok dubur
Memakai sarung tangan yang telah diberi pelumas Jari pemeriksa harus dimasukkan ke dalam anus sampai tidak dirasakan lagi tekanan pada ujung jari Tonus dan kekuatan meremas dibawah kendali kesadaran dari EAS dan IAS harus dinilai Panjang anus, ketika tekanan dirasakan menurun diberi tanda sebagai anorektal jungtion
30
EVALUASI Dinding posterior (1,5 - 2,5 cm) pinggir anus, sling otot puborektalis dapat diraba sebagai tonjolan yang akan mendorong jari pemeriksa ke arah depan sebagaimana diumpamakan subyek menahan defekasi. Tidak terabanya tonjolan atau dorongan memberi kesan adanya disfungsi atau atrofi otot puborektal Pemendekan panjang dari daerah tekanan anal menunjukkan atrofi otot EAS. Jari pemeriksa tetap di tempatnya, reflek bulbokavernosus dapat ditimbulkan dengan mengetuk secara cepat klitoris atau meremas gland penis Pemeriksaan secara acak diperlukan untuk memastikan bahwa reflek protektif vesikorektal tidak terjadi pada saat yang sama dan pada kesempatan yang tidak disangka-sangka.
31
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menyediakan sebagian besar dari informasi yang diperlukan. Pemeriksaan obyektif laboratorium tambahan dapat sangat membantu ketika penyebab FI dan DWE belum jelas, anamnesis tampak meragukan, intervensi konservatif gagal, atau intervensi pembedahan menjadi pertimbangan.
33
PENGELOLAAN Bowel program : perencanaan pengelolaan pada pasien sebagai individu yang bersifat komprehensif fokus pada pencegahan inkontinensia menuju keberhasilan evakuasi colon secara efektif dan efisien serta mencegah komplikasi dari disfungsi bowel neurogenik Memaksimalkan kemandirian Disfungsi bowel neurogenik berakibat pada masalah dalam hal penyimpanan fekal dan eliminasi. Ketidak mampuan untuk menghambat defekasi spontan dibawah kendali kemauan kesadaran mengarah kepada inkontinensia, sedangkan ketidakmampuan dalam hal pengosongan yang tidak adekuat mengarah kepada konstipasi dan impaksi.
34
PENGELOLAAN Exercise Fluids Diet Timing bowel care Obat-obatan
35
GOAL BOWEL PROGRAM Pengeluaran feses yang teratur tiap hari/hari lainnya Evakuasi bowel konsisten pd waktu yang sama Pengosongan rektum yang benar pd saat bowel care Feses lunak, berbentuk dan padat Menyelesaikan bowel care dalam setengah jam
36
DASAR PEMIKIRAN DAN PENDEKATAN
Pengosongan adekuat dipermudah dengan: membuat tinja lebih mudah dipindahkan dengan cara dilunakkan menambah obat-obatan yang merangsang bowel jika diperlukan memicu reflek defekasi saat kebelet pada waktu yang tetap untuk meningkatkan habituasi (habituasi frekuensi dan waktu khusus)
37
Protokol langkah progresif dalam program bowel habituation
Melakukan bowel clean out jika tinja sampai pada ruangan rektal atau teraba jelas di proksimal colon descending, dengan memakai multipel enema atau pencahar oral Menetapkan konsistensi tinja menjadi lunak dengan diet atau bulking agen (fiber) dan pelunak tinja (docusate) Merangsang defekasi dengan gliserin suppositoria atau dengan stimulasi jari menit sesudah makan; 10 menit kemudian ajak pasien untuk mencoba berak di toilet, batasi untuk kurang dari 40 menit, dan melepaskan tekanan kulit setiap 10 menit.
38
Bila defekasi belum juga dimulai, pemberian bisacodyl suppositoria per rektal dapat dimulai.
Stimulasi dengan jari. Dimulai 20 menit setelah suppositoria ditempatkan dan ulangi setiap 5 menit Medikasi oral terjadwal. Pengaturan casanthranol- docusate sodium (Peri-Colace), senna (Senokot), atau bisacodyl (Dulcolax) tablet sehingga pergerakan bowel terjadi 30 menit sampai 1 jam kemudian untuk mendahului saat pemicuan bowel. Jika defekasi terjadi dalam kurang dari 10 menit setelah pemberian suppositoria, alihkan ke stimulasi dengan jari saja. Setelah pasien mempunyai kebiasaan berak dengan baik, peregangan sendiri dapat jarang memicu defekasi pada waktu yang diinginkan.
39
TERIMA KASIH
40
NORMAL UMNB LMNB Disfungsi bowel Defekasi dan aktifitas colon normal
Konstipasi kronik yang membandel Impaksi fekal Reflek defekasi+/- inkontinensia Kostipasi kronik Impaksi fekal maksimal pada rektum Waktu transit ( caecum ke anus ) 12-48 jam Diperpanjang > 72 jam Diperpanjang > 6 hari, terutama colon kiri Gerak colon saat istirahat GMC kurang lebih 4 per 24 jam Frekuensi GMC mungkin menurun GMC menurun Respon terhadap stimulus GMC dipermudah dengan defekasi, latihan, dan pencernaan makanan Sedikit GMC dipermudah dengan defekasi, latihan, atau pencernaan makanan
41
Tekanan sfingter anal (mmHg)
Tonus istirahat >30 Turun Meremas atas kemauan >30 ( diatas 1800 ) Tidak ada Compliance rektal normal Normal tapi compliance sigmoid turun Rektum terdilatasi, Peningkatan volume distensi, peningkatan compliance Rektal Balon Distensi Efek pada Sfingter Ani Internus Normal RA inhibitory reflek Efek pada Sfingter Ani Eksternus Menyebabkan kontraksi Tidak ada kontraksi Ambang permulaan persepsi sensorik Volume <20mL Stimuasi dari kontraksi rektal Dirangsang dengan distensi balon Kontraksi giant rektal Stimulated readily Stimulasi kontraksi rektal Reflek vesikoanal Ada ( >50mmHg) Ada
42
Reflek defekasi Ada Lemah Sensasi perianal (Cutaeous sensation-touch, pinprick) Normal Tidak ada persepsi sensorik Hilangnya sensasi perianal dan pantat sehubungan dengan cedera saraf sakral Reflek anokutaneus (anal wink) Ada, mungkin meningkat Tidak ada sehubungan dengan cedera aferen/eferen jalur sakral Reflek bulbocavernosus Ada, Mungkin meningkat Tidak ada Penampilan anal Menjadi datar, gambaran kulit kerang, sehubungan dengan hilangnya dorongan sfingter anal eksterna
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.