Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehBenny Sanjaya Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
Penentuan Awal dan Akhir Bulan Qomariyah Prespektif Hizbut Tahrir
Azizi Fathoni K., S.Pd Lajnah Tsaqofiyyah DPD II HTI Malang
2
Kenapa Pembahasan Ini Penting?
Dari aspek Fiqh: Puasa Ramadhan hukumnya fardhu [meninggalkannya secara sengaja adalah dosa] Berpuasa pada Yaum Asy-Syakk (hari yang diragukan) adalah Haram Berpuasa di hari raya ‘Iedul Fitri adalah Haram Zakat fithrah adalah fardhu dengan batasan waktu tertentu [membayar bukan pada waktunya tidak terhitung sebagai zakat fithrah] Dari aspek Politik: Terpecahnya kaum muslim dalam menentukan awal-akhir Ramadhan, dimana batasan-batasan negara menjadi ukuran.
3
Perbedaan 01 Syawwal 1428 H Latar Belakang Perbedaan juga terjadi dalam mengawali puasa Ramadhan dan beridul Adha. Baik dalam lingkup lokal, nasional, maupun internasional, dan selisihnya kadang tidak hanya satu hari, tapi bahkan sampai tiga-emapat hari.
4
Luasnya ruang perbedaan
Haqiqi ‘Urfiy dll. Hisab Rukyat Jarak Qashar Shalat + 80 Km 24 Farsakh Km 8 Bujur Wilayatul Hukmi PERBEDAAN MENETUKAN AWAL DAN AKHIR BULAN Global Lokal Danjon > 8o Ilyas > 5o Depag RI > 2o Amfar >7o
5
Bagaimana Sikap HTI? Pertama, metode yang diadobsi HT dalam penentuan awal-akhir bulan qomariyah ru’yat global Kedua, pandangan terhadap penetapan berdasarkan ru’yat lokal Ketiga, pandangan terhadap penetapan berdasarkan hisab (al-hisab al-falaki) Keempat, keharusan adanya institusi politik Islam (khilafah) untuk menyatukan umat secara global
6
Metode yang diadopsi Hizb
Sumber: Nasyrah Hizbut Tahrir, Shûmû Li Ru`yatihi wa Afthirû Li Ru`yatihi, 25 Sya'ban 1419 H (14 Desember 1998) قال صلى الله عليه وسلم : « إنما الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له » (رواه مسلم) وقال : « صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غُبِّيَ عليكم ، فأكملوا عدّة شعبان ثلاثين يوماً » (رواه البخاري) وقال : « صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غُمَّ عليكم فأكملوا العدّة ثلاثين » (رواه البخاري)
7
Keterangan هذه الأحاديث النبوية صريحة الدلالة ، على أنّ السبب الشرعي لبداية شهر رمضان هو رؤية هلال رمضان . وأن السبب الشرعي لعيد الفطر هو رؤية هلال شوال ، وخطاب الشارع في هذه الأحاديث موجه إلى جميع المسلمين لا فرق بين شامي وحجازي ولا بين إندونيسي وعراقي ، فألفاظ الأحاديث جاءت عامّة ، لأن ضمير الجماعة في : « صوموا ... وأفطروا » يدلّ على عموم المسلمين ، وكذلك لفظ : ( رؤيته ) فهو اسم جنس مضاف إلى ضمير ، يدلّ على رؤية الهلال من أي إنسان ، إلا أنّ هناك أحاديث حصرت هذه الرؤية بالمسلمين ، فقد رُوي عن ابن عباس أنّه قال: « جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : رأيت الهلال ، فقال : أتشهد أن لا إله إلا الله وأنّ محمداً رسول الله ، قال : نعم ، فنادى النبي قال صلى الله عليه وسلم أن صوموا » (رواه أبو داود والترمذي والبيهقي والنسائي واللفظ له)
8
Kesimpulan Penetapan Syar’i awal Ramadhan adalah berdasarkan hilal Ramadhan Penetapan Syar’i awal Syawwal adalah berdasarkan hilal Syawwal Perintah untuk berpuasa saat hilal telah terlihat , bersifat umum (meliputi seluruh kaum muslimin) Hilal yang ditemukan oleh siapapun berlaku bagi seluruh kaum muslimin di dunia Persaksian dalam perkara ru’yat hilal hanya diterima dari seorang muslim
9
Posisi ru’yat global dalam khazanah fiqh klasik
إذا ثبتت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائر الأقطار لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم . ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقا عند ثلاثة من الأئمة وخالف الشافعية ... الشافعية قالوا: إذا ثبتت رؤية الهلال في جهة وجب على أهل الجهة القريبة منها من كل ناحية أن يصوموا بناء على هذا الثبوت والقرب يحصل باتحاد المطلع بأن يكون بينهما أقلَّ من أربعة وعشرين فرسخا تحديدا أما أهل الجهة البعيدة فلا يجب عليهم الصوم بهذه الرؤية لاختلاف المطلع [الفقه على المذاهب الأربعة 1/ 871]
10
Posisi ru’yat global dalam khazanah fiqh klasik
قال الخطابي اختلف الناس في الهلال يستهله أهل بلد في ليلة ثم يستهله أهل بلد آخر في ليلة قبلها أو بعدها فذهب إلى ظاهر الحديث ابن عباس والقاسم بن محمد وسالم بن عبد الله بن عمر وعكرمة وهو مذهب إسحاق بن راهويه وقال لكل قوم رؤيتهم ، وقال أكثر الفقهاء إذا ثبت بخبر الناس أن أهل البلد من البلدان قد رأوه قَبْلهم فعليهم قضاء ما أفطروه وهو قول أبي حنيفة وأصحابه ومالك وإليه ذهب الشافعي وأحمد بن حنبل . انتهى [عون المعبود 6/ 325]
11
Sikap terhadap ru’yat lokal
Landasan Ru’yat Lokal عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام قال فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فسألني عبد الله بن عباس رضي الله عنهما ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيته فقلت نعم ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه فقال : لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم . [صحيح مسلم 5/ 367]
12
Landasan Ru’yat Lokal Dari Kuraib ra, bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Syam. Dia berkata: Aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba sedangkan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya: kapan kamu melihat hilal? Saya jawab: Kami melihatnya malam Jumat. Dia bertanya: Kamu melihatnya sendiri?. Saya jawab: ya, dan orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah. Ibnu Abbas berkata: Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal. Saya berkata: Tidakkah engkau mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?. Ibnu Abbas menjawab: tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita. (HR Muslim)
13
Pembahasan hadits Kuraib
Riwayat tersebut memberitakan ijtihad sahabat Ibn Abbas atas perintah shumu li ru’yatih[i] wa afthiru li ru’yatih[i] bukan dalil syar’i Terbatasnya sarana informasi saat itu tidak memungkinkan tersebarnya hasil ru’yat Bertentangan dengan nash sharih berikut عن جماعة من الأنصار ، قال : « غُمَّ علينا هلال شوال فأصبحنا صياماً ، فجاء ركب من آخر النهار ، فشهدوا عند النبي صلى الله عليه وسلم أنهم رأوا الهلال بالأمس ، فأمرهم رسول الله أن يفطروا ، ثم يخرجوا لعيدهم من الغد » (رواه أحمد والبيهقي وابن ماجة بإسناد جيد واللفظ لأحمد)
14
Menyoal penerapan ru’yat lokal
Dalam penerapannya, penganut madzhab Syafi’i di Indonesia tidak murni mengambil pendapat Syafi’iyyah. Karena ukuran mathla’ yang diterapkan adalah berdasarkan batasan-batasan negara dimana Indonesia dianggap sebagai satu mathla’ yang bersifat tetap, bukan berdasarkan jarak maksimal 24 farsakh (lebih kurang 133 km) yang menjadi pendapat Syafi’iyyah. Jika mau konsisten, dengan jarak timur-barat km seharusnya Indonesia terdiri atas 39 mathla’, yang masing-masing wilayah tidak terikat dengan hasil ru’yat wilayah lainnya. Namun, yang terjadi justru muncul “madzhab baru” yaitu penetapan berdasarkan wilayatul hukm (wilayah pemerintahan), yaitu satu ru’yat berlaku untuk negara nasional (nation-state).
15
Menyoal penerapan ru’yat lokal
16
Sikap terhadap metode Hisab
والرؤية المعتبرة هي الرؤية البصرية ، ولا اعتبار للحسابات الفلكية إذا لم تثبت الرؤية بالعين البصرية ، إذ لا قيمة شرعية للحسابات الفلكية في إثبات الصوم والإفطار ، لأنّ السبب الشرعي للصوم أو الإفطار هو رؤية الهلال بالعين لقوله صلى الله عليه وسلم: « إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له ». "Ru’yat yang mu'tabar (diakui) adalah ru’yat dengan mata; hisab tidak dapat dijadikan dasar jika ru’yat tidak terbukti dengan mata. Karena hisab tidak memiliki nilai secara syar'i dalam menetapkan puasa dan berbuka [berhari raya]. Hal ini dikarenakan sebab syar'i untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah ru’yatul hilâl bil 'ain (melihat bulan sabit dengan mata) …”
17
Alasan tidak menggunakan metode Hisab
Sebab kita diperintahkan untuk beribadah seperti yang dituntut oleh Allah swt. Beribadah dengan cara yang tidak sesuai berarti salah, meski dengan dugaan baik atau lebih baik. (contoh lain kaifiyyah membersihkan najis mughallazhah, pembatasan dalam bayyinah dll.) Berpotensi untuk berbeda dengan metode yang diajarkan Nabi saw., karena patokan ru’yat adalah tampak-tidaknya hilal oleh penglihatan mata dari bumi, bukan keberadaan hilal itu sendiri tanpa memperdulikan tampak-tidaknya dari bumi. Tidak ada nash yang memerintahkan metode hisab.
18
Nash-nash yang diduga melandasi metode hisab
﴿ هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴾ [يونس: 5] ﴿ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ﴾ [البقرة/189] عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين . [صحيح البخاري 6/ 487] قال صلى الله عليه وسلم : « إنما الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له » (رواه مسلم)
19
Pembahasan Nash nomor 1 dan 2: Pertama, tidak menunjukkan perintah untuk menggunakan hisab, hanya sebatas ikhbar bahwa dengan peredaran bulan diketahui hitungan bulan dan tahun, dan dengan peredaran matahari diketahui hitungan hari; ke-Dua, ayat-ayat tersebut bersifat global, tidak menjelaskan metode praktis penetapan bulan, yang itu kemudian dijelaskan melalui hadits Nabi bahwa cara mengetahuinya adalah dengan metode ru’yat; ke-Tiga, ayat-ayat tersebut justru memperkuat fakta bahwa hisab tidak bisa dipisah dari ru’yat (hitungannya dimulai dari hasil ru’yat), dan ru’yat tidak bisa dipisah dari hisab (dilakukan setiap hitungan hari ke-29 di setiap bulannya). Nash nomor 3: Pertama, tidak menunjukkan perintah untuk menggunakan hisab; ke-Dua, lafadz ummiyyah lâ naktub wa lâ nahsub (buta huruf tidak bisa menulis dan berhitung) bukan ‘illat untuk dilakukannya ru’yat, karena ibadah tidak ber-’illat. [ru’yat adalah ‘ibadah yang hukumnya fardhu kifayah].
20
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غُبِّيَ عليكم ، فأكملوا عدّة
Pembahasan Nash nomor 4: Lafazh faqdurû lahu (maka tetapkanlah/ hitunglah baginya) bersifat mujmal (global), ada nash lain dengan lafazh mubayyan (terperinci) atau mufassar (interpretatif): « صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غُبِّيَ عليكم ، فأكملوا عدّة شعبان ثلاثين يوماً » [رواه البخاري] Tepatnya yaitu bagian fa.akmilû ‘iddat[a] sya’bân[a] tsalâtsîn[a] yawm[an] (sempurnakan jumlah Sya’ban 30 hari). Dengan mengikuti kaidah ushul bahwa nash yang mujmal mengikuti nash yang mubayyan atau mufassar (selama nash-nash terebut berbicara dalam konteks yang sama secara hukum, yaitu dalam kasus ini: penetapan awal Ramadhan), maka maksud dari tetapkanlah/hitunglah adalah tetapkanlah/hitunglah bulan Sya’ban hingga menjadi 30 hari.
21
Posisi hisab dalam khazanah fiqh klasik
قال النووي : قال الجمهور ... ومن قال بحساب المنازل فقوله مردود بقوله صلى الله عليه وسلم في الصحيحين إنا أمة أمية لا نحسب ولا نكتب الشهر هكذا وهكذ (الحديث) ، قالوا ولأن الناس لو كلفوا بذلك ضاق عليهم لانه لا يعرف الحساب إلا أفراد من الناس في البلدان الكبار . فالصواب ما قاله الجمهور وما سواه فاسد مردود بصرائح الاحاديث السابقة . [المجموع شرح المهذب - 6 / 270]
22
Khusus penentuan awal Dzulhijjah
Yang menjadi patokan adalah ru’yat penguasa Makkah saja, kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil me-ru’yat hilal. Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata : عن حسين بن الحارث الجدلي أن أمير مكة خطب ثم قال عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما . [رواه أبو داود] Dari Husain bin Harits Al-Jadaliy bahwa Amir (penguasa) Makkah berkhutbah, dia berkata: Rasulullah telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik berdasarkan rukyat. Jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik berdasarkan kesaksian keduanya. (HR. Abu Dawud. Ad-Daruquthni berkata: Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih)
23
Bersatu di bawah naungan Khilafah
Terjadinya khilâf (perbedaan pendapat) di dalam Islam dapat ditoleransi selama merupakan ra’yun islami dan tidak menyebabkan perbecahan di tubuh umat Islam. Perbedaan dalam menetapkan awal bulan Qomariyah ini tergolong yang tidak bisa ditoleransi, karena berdampak pada perpecahan umat Islam, yaitu ketidak-kompakan dalam melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya, serta dalam menampakkan syi’ar hari raya. Maka dibutuhkan Institusi pemersatu Umat Islam, yaitu Khilafah Islamiyyah. Dimana akan berlaku kaidah al-Imâm[u] yarfa’[u] al-khilâf[a] (seorang imam/ khalifah menghilngkan perbedaan).
24
Hal demikian inilah yang dipahami oleh para ‘ulama dari masa ke-masa, salah satunya sepeti diungkapkan oleh Ibn al-Majisyun yang notabene mengikuti pendapat dengan ru’yat lokal: أنه لا يلزم أهل بلد رؤية غيرهم إلا أن يثبت ذلك عند الإمام الأعظم فيلزم الناس كلهم لأن البلاد في حقه كالبلد الواحد إذ حكمه نافذ في الجميع . [نيل الأوطار - ج 4 / ص 267] “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’zham (khalifah), kemudian dia mewajibkan seluruh kaum Muslimin untuk berpuasa. Sebab, baginya seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim.” [al-Syaukâni, Nayl al- Authâr, 4/ 268]
25
Kesimpulan Ikhtilaf seputar penentuan awal bulan Qomariyah cukup kompleks, di dalamnya melibatkan tiga sudut pandang, yaitu Fiqh, Ilmiah (scientific), dan Politik. Dan di antara pendapat-pendapat yang ada, terbukti pendapat ru’yat global lebih kuat dari segi istidlâl, fakta pergantian hari secara ilmiah, dan pemersatuan umat Islam dalam ibadah dan syi’ar mereka dari sisi politik. Maka dari itu, usaha untuk menyatukan umat Islam dalam penentuan awal bulan Qomariyah tidak boleh berhenti, baik yang sifatnya jangka pendek melalui sosialisasi pendapat ru’yat global maupun jangka panjang berupa penegakan Negara Khilafah Islamiyyah. Perbedaan dalam hal ini bukan yang tergolong rahmat, sebab di dalamnya menyangkut halal-haram, serta perpecahan dalam bentuk sekat-sekat Nasionalisme. Wallâh[u] a'lam
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.