Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag Dosen Jurusan TH Fak. Ushuluddin

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag Dosen Jurusan TH Fak. Ushuluddin"— Transcript presentasi:

1 LIVING HADIS DALAM KERANGKA DASAR KEILMUAN UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag Dosen Jurusan TH Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta

2 Pengantar: living hadis” tampaknya belum begitu mendapat perhatian di lingkungan masyarakat akademis, terutama STAIN/IAIN/UIN dan kampus-kampus Islam lainnya. Kajian-kajian akademik mahasiswa jurusan Tafsir-Hadis di UIN Sunan Kalijaga lebih banyak menekankan pada kajian-kajian teks, baik teks sumber (al-Qur’an dan hadis) maupun teks-teks produk pemikiran tentang al-Qur’an dan hadis.

3 Kajian ini mulai menarik setelah diadakan sebuah seminar di UIN Sunan Kalijaga oleh FKMTHI (Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir-Hadis se-Indonesia) dengan mengambil tema “Living Qur’an: Al-Qur’an sebagai Fenomena Sosial-Budaya” pada tanggal Maret 2005.

4 Pengertian: living hadis” dapat dimaknai sebagai gejala yang nampak di masyarakat berupa pola-pola prilaku yang bersumber dari maupun respons sebagai pemaknaan terhadap hadis Nabi Muhammad saw. Di sini terlihat adanya pemekaran wilayah kajian, dari kajian teks kepada kajian sosial-budaya yang menjadikan masyarakat agama sebagai objeknya

5 Masalah Penelitian Penelitian ini ingin memotret bagaimana bentuk atau model living hadis yang berkembang di masyarakat Islam dari fenomena-fenomena keagamaan di lokasi yang ditentukan sebagai sampel penelitian.

6 Sampel Penelitian: 1. Masjid Besar Mataram Kotagede Yogyakarta
2. Pondok Pesantren Krapyak (Ali Maksum dan Al-Munawwir).

7 Fenomena living hadis di Masjid Besar Mataram Kotagede :
fenomena ziarah kubur di pemakaman (pesarean) Panembahan Senopati; fenomena seputar praktik shalat (praying cycle), dibatasi hanya pada shalat Jumat; fenomena transkripsi kaligrafi hadis rukun Islam.

8 fenomena seputar praktik shalat, dibatasi hanya pada shalat Jumat;
fenomena living hadis di Pondok Pesantren Krapyak (Ali Maksum dan Al-Munawwir): fenomena seputar praktik shalat, dibatasi hanya pada shalat Jumat; fenomena pembacaan kitab-kitab hadis selama bulan Ramadhan; dan fenomena pembelajaran al-Qur’an.

9 Metode: Penelitian kualitatif, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) sekaligus. Sumber utama adalah hadis-hadis yang hidup dalam masyarakat berupa fenomena prilaku maupun respons lainnya sebagai pemaknaan terhadap hadis. Sedangkan sumber sekundernya dapat berupa literatur-literatur pendukung sumber primer.

10 Pendekatan: Historis-filosofis, yakni upaya untuk menelisik persoalan ini dari kacamata historis terutama ketika menjelajahi rekaman perjalanan living hadis. Tidak lupa pula, pendekatan filosofis juga diambil ketika menelaah nilai-nilai yang abadi dan yang boleh berubah dalam prinsip dasar living hadis kaitannya dengan sumber ajaran Islam. Akulturasi juga perlu dipakai untuk mengetahui proses dan hasil interaksi antara ajaran-ajaran yang ada dalam hadis dengan sistem kepercayaan atau budaya lokal dalam suatu masyarakat. Keilmuan hadis, dari sudut penilaiannya yang normatif, tidak dialpakan untuk melihat bagaimana proses pemaknaan masyarakat Islam terhadap hadis.

11 Pendekatan fenomenologi digunakan untuk mencari atau mengamati fenomena living hadis sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang tercakup di dalamnya: (1) sesuatu itu berwujud; (2) sesuatu itu tampak; (3) karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.

12 Pendekatan Ke-UIN-an Paradigma Keilmuan UIN Sunan Kalijaga memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyyah/h}ad}a>rah al-nas}s} (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan ilmu-ilmu kauniyyah-ijtima>‘iyyah/h}ad}a>rah al-‘ilm (ilmu-ilmu kealaman dan kemasyarakatan), maupun dengan h}ad}a>rah al-falsafah (ilmu-ilmu etika kefilsafatan) berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain.

13 Living hadis, dalam perspektif keilmuan UIN Sunan Kalijaga, tidak lagi menggunakan ilmu-ilmu hadis (mus}t}alah}a>t al-hadi>th) saja. Tetapi memadukannya dengan ilmu-ilmu sosial-historis untuk mengamati dan menjelaskan bagaimana suatu fenomena hadis terjadi dan berkembang di masyarakat Islam. Sehingga dari sudut penilaiannya, tidak berhenti pada aspek normatif-doktrinal semata, namun lebih pada menjelaskan proses pembentukan suatu fenomena keagamaan sebagai bagian dari historisitas Islam.

14 Lanjutan: Penelitian ini bersifat deksriptif-analitis. Maksud dari deskrptif di sini adalah usaha untuk menggambarkan konsep dasar living hadis dan mencari bentuk dan ragam living hadis serta menganalisis faktor pembentukan fenomena living hadis tersebut.

15 Analisis Data Metode induktif. Yaitu pola pikir yang berangkat dari nilai-nilai khusus yang bersifat partikular untuk selanjutnya diturunkan pada sejumlah kasus umum. Fenomena-fenomena hadis dianalisis dan kemudian disimpulkan dalam rumusan-rumusan umumnya.

16 Lanjutan Metode: IPD menggunakan observasi partisipan, kecuali untuk fenomena pembacaan kitab-kitab hadis selama bulan Ramadhan. Instrumen lainnya adalah wawancara dan dokumen (tertulis dan tidak tertulis). Variabel atau unsur yang menentukan sesuatu sebagai fenomena living hadis adalah bahwa fenomena tersebut berhubungan atau bersumber, baik langsung maupun tidak langsung, dari hadis-hadis Nabi Muhammad saw.

17 HASIL PENELITIAN

18 Fenomena Living Hadis Masjid Besar Mataram Kotagede Yogyakarta

19 Sejarah: Masjid Besar Mataram terletak di Kotagede bagian selatan. Kotagede merupakan salah satu kecamatan di Kotamadya Yogyakarta, yang terletak 6 km di sebelah tenggara kota. Menurut H. J. van Mook, Kotagede merupakan komplek tanah desa dan tanah pertanian yang merupakan sisa peninggalan dari Kotegede lama. Secara bahasa, Kotagede berasal dari kata Kuta Gede, yang berarti kota besar. Dalam istilah Jawa Kromo disebut Kita Ageng, yang juga biasa disebut Pasar Gede, yang berarti pasar besar. Komplek ini merupakan daerah Kejawan (dalam istilah Jawa Kromo disebut Kejawen), yaitu daerah dimana tidak pernah ada penyewaan tanah kepatuhan atau tanah kerajaan kepada pengusaha pertanian bangsa Eropa. (Mook, 1972: 9).

20 1) Ziarah Kubur: Tidak sepenuhnya para peziarah mengamalkan anjuran ziarah kubur seperti yang dituntunkan Nabi Muhammad saw. Terkadang, motif dan tujuan mereka sudah bercampur dengan tujuan-tujuan di luar mendoakan dan berziarah. Ada yang benar-benar menjaga amaliah, yaitu sebatas mendoakan, namun ada juga yang meminta-minta, mencari berkah, dan menjadikan perantara kepada Tuhan. Tradisi ziarah (nyekar) di makam Senopati mengindikasikan adanya percampuran antara tradisi Jawa dengan ajaran Islam. Tradisi nyekar adalah aktivitas upacara yang sangat penting dalam sistem religi orang Jawa penganut Agama Jawi (sebutan bagi agama Islam Jawa yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam). Banyak masyarakat Jawa yang mengunjungi makam pada waktu nyadran sebelum awal puasa, yaitu upacara penghormatan kepada leluhur atau keluarga yang sudah berpulang, yang dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah (Sya’ban).

21 2) Shalat Jum’at Sebelumnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu peralihan ke pengurusan masjid dari Abdi Dalem kepada masyarakat. Kepengurusan masjid dipegang oleh Abdi Dalem sebelum tahun 1950-an. Namun setelah tahun 1950-an, kepengurusan diserahkan kepada masyarakat yang kemudian membentuk kepengurusan Takmir, yang saat ini diketuai oleh Showabi, BA. Perlu diketahui, masyarakat yang tinggal di sekitar masjid memiliki tradisi keagamaan Muhammadiyah.

22 Fenomena seputar praktik shalat di sini dibatasi hanya pada shalat Jum’at. Ada beberapa hal yang disorot, yaitu adzan Jum’at, fenomena menaikkan khatib yang dilakukan oleh muraqqi’ (baca: muadzin), pengalihan tongkat dari muadzin kepada khatib ketika khatib akan naik mimbar, membaca shalawat di antara dua khutbah yang dilakukan oleh muadzin, bacaan surat setelah al-Fatihah, serta shalat sunnat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at.

23 Adzan Jum’at di masjid ini hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib duduk di mimbar. Hal ini mengikut pada tradisi zaman Nabi sampai sahabat ‘Umar ibn Khattab. Dulu, waktu masjid ini masih dikelola oleh Abdi Dalem, adzan Jum’at biasa dilakukan dua kali. Hal ini berdasar pada riwayat, bahwa adzan Jum’at dua kali merupakan Sunnah (baca: kebiasaan) yang dihidupkan pada masa kepemimpinan Khalifah Usman bin ‘Affan ra. Karena pada zaman Nabi Muhammad saw. adzan Jum’at biasa dilakukan hanya satu kali. Sebab kenapa Usman melakukan ini adalah karena semakin majunya daerah Islam dan semakin sibuknya aktivitas umat Islam. Sehingga untuk melakukan shalat Jum’at tidak cukup memanggil hanya satu kali. Bahkan, menurut penjelasan J., dulu dua kali adzan Jum’at itu dilakukan secara bersama-sama oleh lima orang muadzin. Hal ini didasarkan kepada jumlah hari pasaran dalam tradisi Jawa, yang berjumlah lima hari.

24 Adapun fenomena tentang menaikkan khatib yang dilakukan oleh muraqqi (baca: muadzin), pengalihan tongkat dari muadzin kepada khatib ketika khatib akan naik mimbar, dan membaca shalawat di antara dua khutbah yang dilakukan oleh muadzin, di Masjid Besar Mataram, setelah kepengurusan masjid dipegang oleh masyarakat, tidak lagi dilakukan. Karena menurut J., mengutip dari Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah (setelah dicek, peneliti tidak menemukan hadis yang dimaksud), praktik ini tidak disebutkan secara jelas dalam hadis Nabi. Kemudian tentang bacaan setelah surat al-Fatihah. Di masjid ini biasanya dibacakan surat al-A’la pada rakaat pertama dan surat al-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Atau ada juga imam yang biasa membaca surat al-Jumu’ah pada rakaat pertama dan surat al-Munafiqun pada rakaat kedua. Menurut J. dan S., praktik seperti ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan al-Nu’man bin Basyir. Adapun tentang shalat sunnat Qabliyah Jum’at, di Masjid Besar Mataram ini tidak dilaksanakan. Alasannya, menurut J., tidak ada dalil yang secara jelas menyebutkan praktik ibadah ini. Sedangkan shalat sunnat Ba’diyah Jum’at tetap dilaksanakan. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

25 3) Fenomena Transkripsi Kaligrafi Hadis Rukun Islam
Di bagian atas pintu masuk utama masjid terdapat transkripsi yang bertuliskan kaligrafi sebuah hadis tentang rukun Islam. Hadis tersebut ditulis hanya teks (matan) berbahasa Arab saja tanpa disertai dengan sanad (transmitter) dan artinya ke dalam bahasa Jawa. Secara historis, masyarakat Kotagede saat itu tentu belum banyak yang mengerti maknanya karena Kotagede sendiri adalah kerajaan pertama Mataram Islam di mana masjid sebagai pusat dakwah Islam menjadi bagian integralnya.

26 Setidaknya ada motivasi yang yang menjadi latar belakang ditulisnya hadis tentang rukun Islam tersebut. Sebab, makna hadis tersebut adalah prinsip-prinsip agama Islam. Informasi yang cukup rasional diperoleh dari J. (Sesepuh Masjid): “Sebagaimana kita ketahui, bahwa Raja Mataram itu kan bergelar Sayyidin Panotogomo. Jadi di samping sebagai penghulu kerajaan, juga bertindak sebagai penghulu agama, yang bertanggungjawab terhadap terpeliharanya nilai-nilai Islam di masyarakat. Makanya pada pintu gerbang masjid ini dicantumkan kaligrafi hadis tentang rukun Islam.”

27 Sebagai Sayyidin Panotogomo, maka Raja Mataram bertanggung jawab dalam menanamkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat saat itu. Inilah motivasi ditulisnya kaligrafi hadis tentang rukun Islam di atas pintu masuk utama masjid. Walaupun harus dijelaskan lagi oleh para mubaligh atau penceramah, kaligrafi hadis tentang rukun Islam ini bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat akan dasar-dasar agama Islam yang didakwahkan pertama kali oleh penguasa Mataram Islam tempo dulu, yang dipelopori oleh Ki Ageng Pemanahan dengan mendirikan Kerajaan Mataram Islam

28 Pondok Pesantren Al-Munawwir dan Ali Maksum Krapyak Yogyakarta

29 Sejarah: Didirikan oleh KH. M. Moenawir pada tanggal 15 Nopember 1910 M. Sejak awal berdirinya dan masa perkembangannya, pondok pesantren ini semula bernama Pondok Pesantren Krapyak, karena memang terletak di dusun Krapyak. Pada tahun 1976, nama pondok ini ditambah dengan Al-Munawwir, sehingga lengkapnya adalah Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Penambahan nama Al-Munawwir ini untuk mengenang pendirinya, yaitu KH. M. Moenawwir. Selain itu, Pondok Pesantren ini terkenal sebagai Pondok Pesantren Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan keahlian KH. M. Moenauwir yang menjadi figur ulama ahli Al-Qur’an di Indonesia pada masanya. Al-Qur’an inilah yang menjadi ciri khusus Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.

30 Pada perkembangan selanjutnya, Pondok Pesantren Al-Munawwir ini tidak lagi mengkhususkan pada bidang Al-Qur’an saja, melainkan merambah ke bidang ilmu-ilmu lain, khususnya pendalaman kitab kuning, yang disusul dengan sistem Madrasah (klasikal), yang pada gilirannya disusul dengan lahirnya lembaga-lembaga.

31 Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang sampai kepemimpinan KH
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang sampai kepemimpinan KH. Zainal Abidin Munawwir sekarang, Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta ini mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat, khususnya di bidang pendidikan. Sampai sekarang, telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan, di antaranya Madrasah Huffadz, Madrasah Salafiyah I, II, III, IV, Al-Ma’had Al-‘Ali (Perguruan Tinggi Ilmu Salaf), Majlis Ta’lim, dan Majlis Masyayikh. Metode, sistem pengajaran, dan kurikulum di Pondok Pesantren Al-Munawwir adalah berciri salafi, dengan dibimbing para tenaga pengajar yang terdiri dari para Kyai, Asatidz, dan santri-santri senior.

32 Pada perkembangan selanjutnya, berdiri juga Yayasan Ali Maksum (kemudian terkenal dengan sebutan Pondok Pesantren Ali Maksum). Yayasan ini berdiri setelah meninggalnya KH. Ali Maksum, dan dipegang oleh KH. Attabik Ali. Yayasan Ali Maksum, berbeda dengan Pondok Pesantren Al-Munawwir yang mengelola pesantren secara salafi, mengelola pesantren secara modern. Sehingga berdirilah beberapa Madrasah, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs) Ali Maksum, Madrasah Aliyah (MA) Ali Maksum, dan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) Ali Maksum. Walau demikian, Yayasan Ali Maksum ini masih berada dalam koordinasi Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.

33 1) Seputar Praktik Shalat
Ada yang menjadi penyebab khilafiyah di antara berbagai kelompok; di antaranya adzan Jum’at dua kali, fenomena menaikkan khatib yang dilakukan oleh muraqqi (baca: muadzin), pengalihan tongkat dari muadzin kepada khatib ketika khatib akan naik mimbar, dan shalat sunnat Qabliyah Jum’at. Khilafiyah atau perbedaan ini hanya disebabkan perbedaan dalam mengambil dalil. Semua praktik ibadah yang dilakukan ada sumber dalilnya. Atas dasar itu, adzan Jum’at dua kali merupakan Sunnah (baca: kebiasaan) yang dihidupkan pada masa kepemimpinan Khalifah Usman bin ‘Affan ra. Karena pada zaman Nabi Muhammad saw. adzan Jum’at biasa dilakukan hanya satu kali. Sebab kenapa Usman melakukan ini adalah karena semakin majunya daerah Islam dan semakin sibuknya aktivitas umat Islam. Sehingga untuk melakukan shalat Jum’at tidak cukup memanggil hanya satu kali.

34 Adapun tentang fenomena menaikkan khatib yang dilakukan oleh muraqqi (baca: muadzin), dengan membaca satu hadis peringatan agar jamaah Jum’at jangan ada yang bicara ketika khatib sedang Jum’at, tidak ada hadis yang menyebutkan secara jelas. Hanya ada hadis riwayat Ibnu ‘Abbas yang menyatakan, bahwa barangsiapa berbicara pada saat khatib sedang khutbah, maka shalat Jum’atnya sia-sia.

35 Hadis inilah yang menjadi dasar adanya fenomena menaikkan khatib yang dilakukan oleh muraqqi. Walaupun bentuknya bermacam-macam, karena ada juga yang berupa pengumuman biasa dengan menggunakan bahasa Indonesia. Substansi dari hadis ini adalah mengingatkan jamaah Jum’at supaya mendengarkan khutbah, terserah bagaimanapun caranya. Tentang praktik pengalihan tongkat dari muadzin kepada khatib ketika khatib akan naik mimbar, Mustaqim mengutip dari kitab al-Muh}adhdhab fi> Fiqh al-Ima>m al-Sya>fi’i. Menurut al-Fairuzzabadi, sunnah ini dilakukan berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim bin Harb.

36 Kemudian tentang membaca shalawat di antara dua khutbah yang dilakukan oleh muadzin, tidak terdapat hadis yang menyebutkan secara jelas. Hal ini hanya didasarkan pada hadis riwayat Abu Burdah, bahwa waktu di antara duduknya khatib setelah khutbah pertama sampai dilaksanakannya shalat Jum’at adalah waktu mustajab untuk berdoa. Sedangkan doanya adalah dengan membaca shalawat, karena shalawat merupakan pintu gerbang untuk masuk ke dalam doa. Walaupun banyak juga jamaah Jum’at yang berdoa sendiri-sendiri.

37 Selanjutnya tentang bacaan surat setelah al-Fatihah
Selanjutnya tentang bacaan surat setelah al-Fatihah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwa setelah selesai membaca surat al-Fatihah, pada shalat Jum’at, Rasulullah biasa membaca surat al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun. Adapun menurut hadis riwayat Ibnu ‘Abbas dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah biasa membaca surat al-A’la dan surat al-Gasyiyah. Tetapi, praktik yang dilakukan di masjid Pondok Pesantren Al-Munawwir berbeda dengan apa yang telah dituntunkan Rasulullah saw. Di masjid ini biasanya dibaca al-Hasyr (59): Dulu, biasanya dibaca surat-surat yang dianjurkan hadis. Mungkin karena tuntutan psikologis, akhirnya yang dibaca adalah al-Hasyr (59): Selain itu, tuntunan dalam hadis itu sifatnya sunnah.

38 Kemudian tentang shalat sunnat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at
Kemudian tentang shalat sunnat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at. Mustaqim mengutip kitab Iba>nat al-Ah}ka>m, syarah kitab Bulu>gh al-Mara>m karya al-‘Asqala>ni>, bahwa shalat sunat Qabliyah Jum’at didasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa barangsiapa yang mandi kemudian hendak melaksanakan shalat Jum’at, maka shalatlah sesuai kemampuan (fashalla ma quddira lahu). Kemudian, kata fashalla ma quddira lahu ditafsirkan oleh para ulama sebagai shalat sunat Qabliyah Jum’at. Adapun shalat sunat Ba’diyah Jum’at didasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa barangsiapa yang melaksanakan shalat Jum’at, maka setelah melaksanakan shalat Jum’at hendaklah shalat sunnat empat rakaat. Adapun jika shalat sunat Ba’diyah Jum’atnya dilakukan di rumah, maka cukup dua rakaat saja

39 2) Pembacaan Kitab-kitab Hadis di Bulan Ramadhan
PKR H, pembacaan kitab-kitab kuning. Kegiatan ini dilaksanakan mulai tanggal Ramadhan 1427 H / 24 September - 13 Oktober 2006 M. Selain diikuti oleh santri Pondok Pesantren Al-Munawwir dan Ali Maksum, kegiatan ini juga diikuti masyarakat umum yang ada di sekitar pondok, khususnya mahasiswa yang berdomisili di sekitar pondok. Karena kegiatan ini hanya sebagai tambahan pelajaran kitab pada hari-hari selain Ramadhan, maka kitab yang dibaca pun berbeda dari kitab yang biasa dipelajari pada hari-hari biasa di luar Ramadhan. Kitab yang dibaca biasanya diserahkan kepada kebijaksanaan ustadz yang mengampu. Adapun kitab-kitab yang dibaca mencakup kitab-kitab tentang fiqih, al-Qur’an dan ‘Ulum al-Qur’an, aqidah, akhlak, hadis, dan lughah.

40 Kitab-kitab hadis yang dibaca selama Ramadhan:
al-Adhka>r al-Muntakhabah min Kala>m Sayyid al-Abra>r karya Ima>m Muh}y al-Di>n Abu> Zakariyya> Yah}ya> ibn Sharaf al-Nawa>wi> al-Dimashqi> al-Sha>fi‘i>, Sharh} al-Arba‘i>n al-Nawa>wiyyah juga karya Ima>m Yah}ya> ibn Sharaf al-Di>n al-Nawa>wi>, Bulu>g al-Mara>m min Adillah al-Ah{ka>m karya Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Riya>d } al-S{a>lih}i>n karya Ima>m al-Nawa>wi> al-Dimashqi, dan Luba>b al-H{adi>th karya Ima>m Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>.

41 Tujuan dari pembacaan kitab kuning ini adalah sebagai pengkayaan wacana ke-Islaman. Metode yang dipakai melalui pembacaan biasa, dalam rangka mengartikan kitab, tidak disertai dengan pemahaman dan pendalaman materi. Walaupun dalam beberapa kasus—hal ini didasarkan pada kebijakan ustadz—ada juga yang lebih menekankan pada pendalaman materi. Misalnya, kitab Sharh} al-Arba‘i>n al-Nawa>wiyyah hanya ditekankan pada pemaknaan saja, yaitu memaknai kitab kalimat per kalimat, disertai dengan penjelasan tarki>b (baca: susunan) kalimat menurut kaidah Nah{w-S{arf. Alasannya adalah untuk mengejar target khatam selama Ramadhan. Berbeda halnya dengan pengajaran kitab Bulu>g al-Mara>m min Adillah al-Ah{ka>m. Di samping pembacaan dan pemaknaan terhadap kitab, juga.

42 ditekankan pada pemahaman materi kitab
ditekankan pada pemahaman materi kitab. Dengan metode seperti ini, maka tidak mengejar target khatam. Jadi, bila tidak selesai dibaca selama Ramadhan, pembacaan kitab ini bisa dilanjutkan pada Ramadhan tahun depan. Metode yang yang sama juga diterapkan pada pengajaran kitab al-Adhkar al-Muntakhabah min Kalam Sayyid al-Abrar. Karena yang lebih ditekankan adalah aspek pemahaman, maka dalam pengajarannya beliau lebih banyak diterangkan isi kitab setelah dibacakan beberapa hadis. Metode ini diterapkan karena santri yang ikut pengajian tidak selalu membawa kitab ke pengajian, bahkan ada santri yang tidak memiliki kitab. Keragaman daya tangkap para santri juga menjadi pertimbangan. Perlu diketahui bahwa pengajaran kitab ini tidak hanya diikuti oleh santri senior yang sudah lama belajar di pondok, namun juga santri yang baru masuk pondok pun banyak yang ikut serta.

43 Kitab Syarh} al-Arba’i>n al-Nawa>wiyyah dipilih karena 40 hadis yang terdapat di dalam kitab ini merupakan pokok agama Islam. Sehingga setelah selesai membaca kitab ini, diharapkan santri bisa memahami inti ajaran Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. (M., wawancara: Kamis, 5 Oktober 2006). Begitu pula dengan pemilihan kitab Bulu>g al-Mara>m min Adillah al-Ah{ka>m. Karena kitab ini berisi hadis-hadis penting di bidang fiqih, santri diharapkan dapat mengetahui dalil-dalil fiqih yang biasa ditanyakan di masyarakat setelah kitab ini diajarkan. (K., wawancara: Kamis, 5 Oktober 2006). Namun lain halnya dengan pemilihan kitab al-Adhka>r al-Muntakhabah min Kala>m Sayyid al-Abra>r yang berisi doa-doa sehari-hari. Setelah selesai mengaji kitab ini, diharapkan santri bisa memiliki kemantapan niat, keteguhan pendirian, dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah, baik mah{d{ah maupun gayr mah{d{ah.

44 Selain bulan Ramadhan, juga ada beberapa kitab hadis yang biasa dikaji, di antaranya adalah kitab Muqtat}afa>t min Ja>mi’ Kalimih S{alla Alla>h ‘Alyhi wa Sallam karya KH. Zaenal Abidin Munawwir, yang merupakan ringkasan dari kitab Fayd} al-Qadi>r karya Ima>m al-Manawi>; dan kitab Iba>nah al-Ah}ka>m karya Hasan Sulaima>n al-Nu>ri> dan ‘Alwi ‘Abba>s al-Makki>, yang merupakan syarah kitab Bulu>g al-Mara>m min Adillah al-Ah{ka>m. (M., wawancara: Kamis, 5 Oktober 2006). Sayangnya, kitab-kitab hadis induk seperti S{ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S{ah}i>h} Muslim tidak dikaji baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Alasannya adalah karena pengajian kitab hadis di pondok ini diorientasikan kepada amaliah. Sehingga kitab yang dikaji adalah kitab yang membahas amaliah sehari-hari yang praktis, khususnya yang bersifat fiqih oriented.

45 3) Pembelajaran al-Qur’an
Hal yang diteliti pada bagian ini adalah respons para ustadz dan santri Huffadz terhadap hadis tentang keutamaan orang yang mengajar dan mempelajari al-Qur’an, yaitu: “Khairukum man ta‘allam al-qur’a>n wa ‘allamah.” Hadis ini mengisyaratkan, bahwa orang yang belajar dan mengajarkan al-Qur’an memiliki keistimewaan sebagai “sebaik-baik orang di antara kamu”. Bentuk pembelajaran yang dimaksud hadis ini bisa berupa belajar membaca, memahami, maupun menghafal al-Qur’an.

46 Pembelajaran al-Qur’an di Komplek Huffadz Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak saat ini hanya ditekankan pada kegiatan menghafal al-Qur’an saja, tidak disertai pendalaman makna. Dahulu, di samping menghafal al-Qur’an, kegiatan pembelajaran al-Qur’an juga disertai dengan memahami maknanya dan mempelajari ‘Ulumul Qur’an. Perubahan ini berakibat pada pemahaman santri terhadap al-Qur’an yang beragam. Tidak disertainya pendalaman makna juga disebabkan karena sekitar 80 % santri yang menghafal al-Qur’an juga sambil kuliah. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, hanya 20 % saja yang sambil kuliah. Walaupun demikian, terkadang ada ustadz yang memberi pelajaran tambahan selain menghafal al-Qur’an. Namun hal itu tidak bersifat formal.

47 Adapun metode menghafal al-Qur’an di Komplek Huffadz ini adalah santri menghafal secara personal. Setelah hafalannya cukup, baru menemui ustadz yang telah ditunjuk oleh Kyai. Waktu setorannya adalah setelah Isya dan Shubuh. Adapun setelah Maghrib, biasanya membaca al-Qur’an secara bersama-sama dalam rangka mengulang hafalan (takra>r). Hafalan di bawah 10 juz disetorkan kepada ustadz yang ditunjuk Kyai. Sedangkan hafalan di atas 10 juz baru diperbolehkan untuk disetorkan kepada Kyai. Ada fenomena unik dalam kegiatan takra>r yang dilakukan setelah shalat Maghrib ini. Biasanya, sebelum takra>r, para santri secara bersama-sama

48 membaca syair yang berisi doa agar dilancarkan dalam menghafal al-Qur’an.
Kemudian setelah hafalan mencapai 30 Juz, biasanya ada beberapa santri yang melakukan ritual khusus (baca: riya>d{ah). Ritualnya adalah dengan membaca al-Qur’an selama 40 hari, per harinya khatam satu kali, yang diiringi dengan puasa selama 40 hari, serta ibadah-ibadah sunnah lainnya. Ritual ini biasanya dilakukan di masjid, atau di makam pendiri pondok, yaitu Mbah KH. Al-Munawwir, yang terletak di Pemakaman Umum daerah Dongkelan. Karena beratnya ritual ini, tidak semua santri bisa melakukannya. Tujuannya agar hafalan al-Qur’an semakin lancar. Dengan demikian, sebenarnya cara menghafal al-Qur’an itu ada dua cara. Pertama, usaha lahir, dengan cara menghafal. Kedua, usaha batin, dengan cara melakukan ritual, riyadah, shalat sunnat, puasa sunnat, atau zikir. Tetapi KH. Zaenal Abidin Munawwir lebih menekankan pada aspek lahir, yaitu menghafal al-Qur’an dan men-deres hafalan yang lalu.

49 Selain kegiatan menghafal al-Qur’an, setiap 2 tahun sekali, pihak pondok mengadakan wisuda bagi santri-santri yang telah selesai khatam al-Qur’an. Ada empat kategori yang mengikuti wisuda al-Qur’an. Pertama, Qira>’ah Mashhu>rah bi al-Ghayb 30 juz. Kedua, Qira>’ah Mashhu>rah bi al-Naz}ar 30 juz. Ketiga, Qira>’ah Sab‘ah bi al-H{ifz} bi al-Ghayb. Keempat, Juz’ ‘Amma bi al-Ghayb.

50 Tentang menghafal Qira>’ah Sab‘ah, biasanya dibimbing langsung oleh KH. Zaenal Abidin Munawwir. Kegiatan ini hanya dikhususkan bagi santri yang telah selesai menghafal al-Qur’an sebanyak 30 juz. Adapun kitab yang jadi pegangan dalam menghafal Qira’ah Sab’ah adalah kitab Fayd{ al-Barakat fi> Sab’i al-Qira>’at karya Muhammad Arwani bin Muhammad Amin al-Qudusi. Intinya, kegiatan pembelajaran al-Qur’an seperti tersurat dalam hadis di atas hanya difokuskan kepada menghafal al-Qur’an dan menyetorkannya, yang dilakukan oleh para santri; serta menyimak dan membetulkan hafalan al-Qur’an para santri, yang dilakukan oleh ustadz. Kegiatan mengkaji makna, memperdalam, dan mengamalkan al-Qur’an, yang juga terkandung dalam hadis ini, tidak dilaksanakan.

51 Terimakasih Wassalam


Download ppt "M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag Dosen Jurusan TH Fak. Ushuluddin"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google