Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehFarida Hardja Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
Disusun oleh: Arman Dede Fajar Japar Siddik
MACAM- MACAM SHALAT SUNNAH, AWABIN, DUHA, TAHAJUD, TARAWIH, WITIR, RAWATIB DAN PENGURUSAN JEJAJAH Disusun oleh: Arman Dede Fajar Japar Siddik
2
A. Pengertian Shalat Sunnah
Sholat sunnah adalah sholat yang dikerjakan di luar sholat fardhu. Nabi Muhammad SAW mengerjakan sholat sunnah selain untuk mendekatkan diri kepada Allah juga mengharapkan tambahan pahala. Seseorang yang mengerjakan sholat sunnah maka ia akan mendapatan pahala, jika tidak dikerjakan pun ia juga tidak mendapatkan dosa. Shalat sunnah terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Shalat sunnah yang dilaksanakan secara berjamah 2. Shalat sunnah yang dikerjakan secara munfarid
3
B. Macam-macam shalat sunnah yang dilakukan dengan berjamaah dan munfarid diantaranya :
1. Shalat terawih Shalat sunnah tarawih adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari, pada bulan ramadhan. Waktunya setelah melaksanakan shalat isya’ sampai menjelang subuh. Madzhab Bilangan Alasan Syafi’I 20 Berdasarkan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab dalam rangka mensyiarkan malam ramadhan Hanafi Hambali Maliki 39 Melihat penduduk Madinah melakukan shalat tarawih 39 rakaat disertai shalat witir hadits Aisyah 11 melihat Nabi melakukan shalat malam pada bulan ramadhan maupun selain ramadhan hanya sebanyak 11 rakaat
4
2. Shalat Witir Shalat witir adalah shalat sunnah yang dilaksanakan pada malam hari setelah shalat isya’ hingga terbitnya fajar dengan jumlah rakaat yang ganjil, paling sedikit satu rakaat dan paling banyak sebelas rakaat. Dan Shalat witir sebagai penutup dari seluruh shalat malam. Cara pelaksanaan shalat witir a. Tiap-tiap dua rakaat salam dan yang terakhir boleh satu atau tiga rakaat salam. b. Shalat witir dilaksanakan tiga rakaat maka tidak usah membaca tasyahud awal Madzhab Jumlah Keterangan Maliki 3 rakaat dipisah dengan satu salam Hanafi Tanpa dipisah dengan salam Syafi’i 1 rakaat -
5
RAWATIB GHOIRU MUAKKAD
3. Shalat Rawatib Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang menyertai shalat fardhu baik dikerjakan sebelum shalat fardhu ataupun sesudahnya. Yang sering disebut shalat qobliyah shalat ba’diyah. Dari beberapa macam sholat sunnah qobliyah dan ba’diyah yang ada, ada beberapa yang termasuk dalam sholat sunnah rawatib muakkad dan ghoiru muakkad. Adapun yang termasuk shalat sunnah rawatib muakkad dan ghoiru muakkad menurut kesepakatan semua ulama adalah yang memiliki ketentuan sebagi berikut: RAWATIB MUAKKAD RAWATIB GHOIRU MUAKKAD 2 rakaat sebelum subuh 2 rakaat (yg lain) sebelum dzuhur 2 rakaat sebelum dzuhur 2 rakaat (yg lain) sesudah dzuhur 2 rakaat sesudah dzuhur 4 rakaat sebelum asar 2 rakaat sesudah maghrib 2 rakaat sebelum maghrib 2 rakaat sesudah isya 2 rakaat sebelum isya
6
4. Shalat Tahajud Shalat sunnah tahajud adalah sholat sunnah yang dikerjakan pada waktu malam hari setelah bangun tidur karena arti tahajud adalah bangun pada malam hari. Waktu melaksanakan sholat tahajud adalah: Sangat utama : 1/3 malam pertama ( Ba’da Isya – ) Lebih utama : 1/3 malam kedua ( pukul – ) Paling utama : 1/3 malam terakhir ( pukul – Subuh ) Tentang keutamaan shalat Tahajud tersebut, Rasulullah SAW suatu hari bersabda : “Barang siapa mengerjakan shalat Tahajud dengan sebaik-baiknya, dan dengan tata tertib yang rapi, maka Allah SWT akan memberikan 9 macam kemuliaan : 5 macam di dunia dan 4 macam di akhirat.”
7
5. Shalat Dhuha Shalat dhuha adalah shalat yang dikerjakan pada waktu dhuha, yakni ketika matahari sudah naik, yaitu kira-kira setinggi tombak sampai matahari tergelincir yaitu menjelang waktu dhuhur. Hukum mengerjakan shalat dhuha adalah sunnah. Shalat dhuha memiliki keutamaan yang besar bagi pelakunya sehingga Rasulullah menganjurkan para sahabat dan seluruh kaum muslim untuk melaksanakannya. Tata Cara Shalat Dhuha Tata cara shalat dhuha sama dengan shalat lainnya. Hanya saja pada rakaat pertama dianjurkan membaca surat Al-fatihah kemudian surat Asy-Syams sedangkan rakaat kedua surat Al-fatihah lalu surat ad-dhuha. Jika belum hafal boleh menggunakan surat apa saja. Hikmah : 1. Diampuni kesalahan dan dosanya 2. Dilapangkan Usaha dan rezekinya
8
6. Shalat Awwabin Shalat sunnah awwabin yaitu shalat sunnah ba’dal maghrib atau shalat sunnah yang di kerjakan antara magrib dan isya, Jumlah rakaatnya minimal 2 rakaat dan maksimal 6 rakaat atau 20 rakaat. Cara pelaksanaan Shalat Awwabin Cara pelaksanaan shalat awwabin sama dengan cara pelaksanaan shalat fardhu, shalat ini dikerjakan setiap 2 rakaat salam. Adapun bacaan suratnya setelah Al-Fatihah: ialah Al- Ikhlas, An-nas dan Al- falaq. Dasar hukum shalat awwabin :
9
Pengurusan Janajah Ihtidhar adalah menghadapkan mayat ke kiblat, para ulama madhab berbeda pendapat dalam tata cara menghadapkan mayat. Menurut Imam Syafi’i dengan cara menelantangkan mayat dan menjadikan kedua tapak kakinya menghadap ke kiblat yang sekiranya kalau ia duduk ia langsung menghadap ke kiblat, dan menurut imam Maliki, Hambali dan Hanafi nyaitu meletakan sisi kanan tubuh manyat dan menghadapkannya ke kiblat, sebagaimana yang dilakukannya ketika menguburkan mayat
10
Cara Memandikan dan Mengafani Jenazah
Memandikan jenajah dalam urusan memandikan semua ulama madzhab sepakat bahwa orang yang mati syahid karena berperang dengan orang-orang kafir tidak wajib dimandikan. Mereka juga sepakat bahwa orang yang bukan muslim tidak diwajibkan mandi kecuali syafi’i yang menyatakan boleh untuk dimandikan, dan mereka juga sepakat bahwa keguguran yang tidak sampai empat bulan dalam kandungan ibunya tidak wajib dimandikan. Naman para ulama madhab berbeda pendapat tentang anak yang gugur (miskram) yang telah samapi empat bulan dalam kandungan ibunya. Menurut Hambali wajib dimandikan, Hanafi: kalau ia gugur dan hidup kemudian meninggal atau ketika keguguran itu anggota tubuhnya sempurna, maka ia wajib dimandikan. Tetapi bila tidak, ia tidak wajib dimandikan. Maliki: bayi yang keguguran itu tidak wajib dimandikan kecuali kalau hidup yakni jika menurut para ahli bahwa bayi itu sebenarnya dapat hidup terus, dan menurut imam syafi’i kalau bayi yang gugur itu lahir setelah berumur enam bulan dalam kandungan ibunya, ia wajib dimandikan dan kalau belum sampai enam bulan, tapi anggota tubuhnya sudah sempurna ia juga wajib dimandikan, begutu juga kalau anggota badannya tidak sempurna dan diketahui ia hidup lalu meninggal maka ia wajib dimandikan, sedangkan kalau tidak sempurna dan tidak hidup maka tidak wajib dimandikan
11
Cara Memandikan Jenazah :
Meletakkan jenazah di tempat yang agak tinggi dari tanah dan di tempat sunyi agar tidak banyak orang melihat atau masuk. Membersihkan kotoran jika ada, bahkan dianjurkan menekan bagian perut untuk mengeluarkan kotorannya. Meratakan air ke seluruh tubuhnya di mulai dari bagian yang kanan ke bagian yang kiri. Menggosok dengan pelan-pelan pada bagian yang perlu dibersihkan. Memberikan sabun dan wangi-wangian ketika mayat dimandikan. Membersihkan mulut, gigi, dan rongga-rongga tubuhnya. Mewudhukan jenazah Orang yang memandikan, hendaknya memandikan seluruh jasad jenazah tadi sebanyak tiga, lima, tujuh, atau lebih dari itu. Di dalam permulaan memandikan jenazah hendaknya dicampuri dengan daun bidara, yakni disunnahkan bagi orang yang memandikan untuk memberi pertolongan dalam pemandian yang pertama dari beberapa siraman kepada jenazah yang airnya diberi daun bidara atau daun khathmy.
12
Seandainya setelah dimandikan, dari dalam tubuh jenazah tersebut keluar sesuatu, maka jenazah tersebut tidak perlu dimandikan kembali. Jadi yang dibersihkan hanyalah sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya saja. Demikian menurut Hanafi, Maliki, dan pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat, wajib dimandikan kembali jika benda itu keluar dari kemaluan.
13
Cara Mengafani Jenazah :
Jenazah laki-laki sebaiknya tiga lapis kain, tiap-tiap lapis menutupi seluruh badannya. Cara mengafaninya, dihamparkan sehelai-sehelai, dan di atas tiap-tiap lapis itu di taburkan wangi-wangian, seperti kapur barus dan sebagainya, lalu mayat diletakkan di atasnya. Kedua tangannya diletakkan di atas dadanya, tangan kanan di atas tangan kiri, atau kedua tangan itu diluruskan menurut lambungnya (rusuknya). Sabda Rasulullah saw: Artinya: Dari Aisyah, “Rasulullah Saw. dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang terbuat dari kapas (katun), tanpa memakai gamis dan serban.” (sepakat ahli hadits).
14
Jenazah perempuan sebaiknya dikafani dengan lima lembar kain, yaitu basahan (kain bawah), baju, tutup kepala, kerudung (cadar), dan kain yang menutupi seluruh badannya. Cara mengafaninya, mula-mula dipakaikan kain basahan, baju, tutup kepala, lalu kerudung, kemudian dimasukkan ke dalam kain yang meliputi seluruh badannya. Di antara beberapa lapisan kain tadi sebaiknya diberi wangi-wangian, misalnya kapur barus. Kecuali orang yang mati ketika sedang dalam ihram haji atau umrah, ia dipakaikan pakaian ihram. Kemudian dibungkus dengan dua helai kain lagi, tidak berjahit, dan tidak boleh diberi harum-haruman. Bagi laki-laki bagian kepala tidak ditutup.
15
Shalat Jenazah Syarat-syarat shalat jenazah Adapun syarat-syarat shalat jenazah di antaranya: 1. Shalat jenazah sama halnya dengan shalat yang lain, yaitu harus suci dari hadats dan najis (al-mudatsir:4), menutup aurat (al-a’raf:31), dan menghadap ke kiblat (QS. Al- anbiya’:44). 2. Jenazah sudah dimandikan dan dikafani. 3. Letak jenazah di sebelah kiblat orang yang menyalatkan, kecuali jika shalat itu dilaksanakan di atas kuburan atau shalat ghaib.
16
Rukun shalat jenazah Niat. Lafadz niat untuk mayat laki-laki:
Lafadz niat untuk mayat perempuan: Berdiri bagi yang kuasa. Bertakbir empat kali.
17
Membaca Surat Al Fatihah setelah takbir yang pertama.
Membaca shalawat atas Nabi saw. Takbir kedua Membaca do’a untuk si mayat. Takbir ketiga Menbaca doa takbir keempat
18
Cara Melaksanakan Shalat jenazah
Apabila jenazah ada di tempat Mula-mula meletakkan jenazah di depan orang yang akan menyalatkannya. Jika yang meninggal laki-laki, maka imam hendaknya berdiri tepat di samping kepala mayat. Jika yang meninggal perempuan, maka imam hendaknya berdiri di samping perut mayat.
19
Shalat Ghaib Menyalatkan orang meninggal yang Ghaib
Shalat Ghaib Menyalatkan orang meninggal yang Ghaib. Menurut imam Maliki dan Hanafi tidak boleh menyalati mayat yang ghaib atau tidak ada ketika dishalati. Pendapat ini berpijak kepada kenyataan yang ada pada sejarah Nabi, dimana bila Nabi Muhammad dan para sahabatnya mengerjakan pasti hal tersebut diketahui dan tersebar sedangkan menurut imam Hambali dan Syafi’i boleh shalat ghaib berdasarkan hadis Rasulullah shalat pada Najasyi ketika ada berita duka sampai kepada beliau Caranya sama dengan cara menyalatkan jenazah yang ada di hadapannya. Orang melakukan shalat ghaib tetap harus menghadap kiblat, meskipun jenazah yang dishalatkan berada di tempat yang tidak pada arah kiblat
20
Tata Cara Mengubur Jenazah
Kewajiban keempat terhadap jenazah adalah menguburkanya hukum menguburkan jenazah adalah fardhu kifayah. dalamnya kuburan sekurang-kurangnya kira-kira tidak tercium bau busuk jenazah itu dari atas kubur dan tidak dapat dibongkar oleh binatang buas, sebab maksud menguburkan jenazah ialah untuk menjaga kehormatan jenazah itu dan menjaga kesehatan orang-orang yang ada disekitar tempat itu Lubang kubur disunatkan memakai lubang lahad kalau tanah kuburan itu keras, tetapi jika tanah kuburan tidak keras, mudah runtuh, seperti tanah yang bercampur dengan pasir, maka lebih baik dibikinkan lubang tengah. Lubanag lahad disini adalah relung di lubang kubur tempat meletakkan jenazah, kemudian ditutup dengan papan, bambu atau sebagainya. Sedangkan lubang tengah adalah lubang kecil di tengah-tengah kubur, kira- kira dapat memuat jenazah saja, kemudian ditutup dengan papan atau lainya.
21
Tata cara menurut tiga imam mazhab : kepala orang mati diletakkan di kaki kuburan, lalu ia diturunkan secara perlahan-lahan ke dalam kubur dari arah kaki kuburan. Hanafi berpendapat : jenazah diletakkan disisi kubur sebelah barat (menghadap kiblat), kemudian diturunkan ke kuburan dengan posisi melintang. Jika orang yang mati di laut jauh dari tepi pantai, hendaklah diikat pada dua bilah papan, lalu dilemparkan ke laut, jika yang mendiami tepi pantai itu adalah orang-orang islam. Sedangkan jika yang berdiam di tepi pantai adalah orang kafir, hendaklah jenazah diikatkan pada benda yang berat, lalu diilemparkanke laut supaya tenggelam ke dasar laut. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Hambali berpendapat : hendaknya didikat dengan benda berat lalu dilemparkan ke dalam laut apabila tidak mungkin dikuburkan.
22
Beberapa sunnat yang bersangkutan dengan kubur 1
Beberapa sunnat yang bersangkutan dengan kubur 1. Ketika memasukkan jenazah ke dalam kubur, sunat menutupi bagian atasnya dengan kain atau yang lainya kalau jenazah itu perempuan. 2. Kuburan itu sunat ditinggikan kira-kira sejengkal dari tanah biasa, agar diketahui. 3. Kuburan lebih baik didatarkan daripada dimunjungkan. Menurut mazhab syafi’i sunnah kuburan diratakan dan itu yang lebih utama. Sedangkan hanafi , maliki, dan hambali mengatakan : yang lebih utama ditinggikan tanah di atas kubur, karena meratakanya itu telah menjadi syi’ar orang syi’ah. 4. Menandai kuburan dengan batu atau yang lainya di sebelah kepalanya. 5. Menaruh kerikil (batu kecil-kecil) di atas kuburan. 6. Meletakkan pelepah yang basah di atas kuburan. 7. Menyiram kuburan dengan air. 8. Sesudah jenazah di kuburkan, orang yang mengantarkanya disunatkan berhenti sebentar untuk mendoakanya(memintakan ampun dan minta supaya ia mempunyai keteguhan dalam menjawab pertanyaan malaikat).
23
Cara Memasukkan Jenazah ke Liang Kubur
a. Menurut Imam Syafi’i dan Hambali, dimulai dengan kakinya, lalu diulurkan sampai kepalanya. Lalu dibuka tali kafan yang ada di bagian kepala dan kaki jenazah. b. Menurut Imam Hanafi, jenazah berada di sebelah kiblat liang kubur, lalu diangkat dan dimasukkan. Hal ini berarti bahwa para petugas pemakaman berada dalam posisi menghadap kiblat. Jika tidak dimungkinkan, dimulai dari kakinya atau kepalanya terlebih dahulu. c. Menurut madzhab Malikiyah, dari mana saja, tetapi sebaiknya dari arah kiblat.
24
Meratakan dan Membongkar kuburan
Semua ulama madhab sepakat bahwa kalau mengikuti sunnah maka kuburan itu rata, berdasarkan ketetapan bahwa rasulullah telah meratakan kuburan putranya ibrhim dan untuk membongkar kuburan semua ulama madhab sepakat bahwa hukumnya haram dan ulama madhab berbeda pendapat tentang bolehnya menggali lagi kuburan mayat kalau ia telah dipendam tanpa dimandikan tapi tidak mengikuti peraturan syara. Hanafi; tidak boleh karena ia telah rusak dam semacamnya dan Hambali, Syafi’i, maliki; boleh dibongkar lagi, dimandikam dan dishalatkan, kalau tidak kawatir rusak badannya.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.