Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

KULIAH II TITIK-TITIK PERTALIAN

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "KULIAH II TITIK-TITIK PERTALIAN"— Transcript presentasi:

1 KULIAH II TITIK-TITIK PERTALIAN
Devica Rully, SH., MH., LLM FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS ESA UNGGUL MARET 2017

2 Hukum Antar Tata Hukum: Skematika
HATAH Ekstern/HPI Intern Hukum Antar Golongan (HAG) Hukum Antar Tempat (HAT) Hukum Antar Waktu (HAW)

3 Hukum Antar Tata Hukum HATAH Intern:
Gautama: “Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga(-warga) negara dalam satu negara, memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-kuasa-waktu, tempat pribadi dan soal-soal.” HATAH Ekstern (HPI): Gautama: “Keseluruhan peraturan dan keputusan-hukum yang menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga(-warga) negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan-kuasa-tempat, (pribadi-) dan soal-soal.”

4 HATAH: Penguraian definisi (1)
Terdapat 2 atau lebih stelsel hukum yang bertemu. Pertemuan stesel-stelsel hukum tersebut ditandai oleh adanya titik-titik pertalian. HATAH menentukan stelsel hukum yang berlaku. HATAH Intern tidak memiliki unsur asing, HATAH Ekstern memiliki unsur asing.

5 HATAH: Penguraian definisi (2)
Stelsel-stelsel hukum yang bertemu memiliki kedudukan yang sama satu terhadap lainnya. Keberlakuan stelsel hukum A, bukan karena stelsel(-stelsel) hukum lainnya bersifat inferior, tetapi karena stelsel hukum A-lah stelsel hukum yang tepat untuk diberlakukan. HATAH Ekstern adalah hukum perdata nasional!

6 SUMBER HUKUM HPI Di Indonesia HPI yang belum terkodifikasi:
Menganut Algemeene Bepalingen van Wetgeving – AB) 30 April 1847; Pasal 16 AB Pasal 17 AB Pasal 18 AB

7 Asas Konkordansi atau Concordantie-beginsel
Dasar hukum: Pasal 131:2 (a) IS “… de in Nederland geldende wetten gevold….” “… berlaku (dianut) undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda ….” Asas Konkordansi untuk memberlakukan Hukum di Belanda bagi Golongan Rakyat Eropa (Europeanen). Perkecualian untuk Asas Konkordansi: hukum khusus yang menyesuaikan keperluan hukum golongan Eropa dengan keadaan khusus di Indonesia; dan hukum yang berlaku bagi beberapa golongan rakyat secara bersama- sama (gemmenschappelijk recht).

8 Golongan-golongan Rakyat (bevolkingsgroepen) di Hindia Belanda berdasarkan 163 IS
Golongan Eropa (Europeanen) Orang Belanda; Semua orang yang berasal dari Eropa; keturunan orang Eropa; Orang Jepang; Semua orang, yang di negara asalnya, tunduk pada hukum keluarga yang pada intinya sama dengan dengan hukum Belanda, seperti Orang Thailand dan Turki; dan Keturunan sah atau diakui sebagai keturunan sah dari orang-orang di atas. Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) Timur Asing Tionghoa Timur Asing Non Tionghoa Golongan Pribumi/Bumiputera (Inlanders) Dikecualikan dari golongan ini, orang pribumi/bumiputera yang telah dipersamakan dan masuk sebagai golongan Eropa melalui lembaga Persamaa Hak (Gelijkstelling).

9 Golongan-golongan Rakyat (bevolkingsgroepen) & Golongan-golongan Hukum (rechtsgroepen) menurut 131 IS Golongan Eropa Hukum Belanda sebagaimana yang berlaku di Belanda  concordantiebeginsel; Dalam hal-hal tertentu, peraturan khusus yang berlaku bagi semua golongan rakyat. Golongan Timur Asing Timur Asing Tionghoa  Sejak 1 Mei 1919 Hukum Eropa: Burgelijke Wetboek (dengan pengecualian tentang syarat-syarat sebelum perkawinan & Catatan Sipil), Wetboek van Koophandel, pengaturan tentang adopsi & kongsi.  Dalam hal-hal tertentu, peraturan khusus yang berlaku bagi semua golongan rakyat. Timur Asing Non Tionghoa  Hukum Adat (bysnya orang dan keluarga) Golongan Pribumi/Bumiputera  Hukum Adat ;

10 Pasal 16 Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesië
De wettelijke bepalingen betreffende den staat en den bevoegdheid der personen blijven verbindend voor Nederlandse Onderdanen, wanneer zijn zich buiten ‘s lands bevinden. Evenwel zijn zij bij vestiging in Nederland of in eene andere Nederlandsche kolonie, zoolang zij aldaar hunne woonplaats hebben, ten aanzien van het genoemde gedeelte van het burgerlijk recht onderworpen aan de ter plaatse geldende wet. Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku bagi kawula negara Belanda, apabila ia berada di luar negeri. Akan tetapi apabila ia menetap di Negeri Belanda atau di salah satu daerah koloni Belanda, selama ia mempunyai tempat tinggal di situ berlakulah mengenai bagian tersebut dan hukum perdata yang berlaku di sana. Lex Originis atau Statuta Personal.

11 Pasal 17 Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesië
Ten opzigte van onroerende goederen geldt de wet van het land of de plaats, alwaar die goederen gelegen zijn. Terhadap barang-barang yang tidak-bergerak berlakulah undang- undang dari negeri atau tempat di mana barang-barang itu berada. Lex rei sitae atau Statuta Realis.

12 Pasal 18 Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesië
De vorm van elke handeling wordt beoordeeld naar de wetten van het land of de plaats, alwaar die handeling is verrigt. Bij de toepassing van dit en ban het voorgaande art. moet steeds worden acht gegeven op het verschil, hetwelk de wetgeving daarstelt tusschen Europeanen en Indonesiërs Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut perundang- undangan dari negeri atau tempat, di mana tindakan hukum itu dilakukan. Untuk menerapkan pasal ini dan pasal di muka, harus diperhatikan perbedaan yang diadakan oleh perundang-undangan antara orang-orang Eropa dan orang-orang Indonesia. Locus regit actum atau Statua Mixta.

13 Titik Pertalian TITIK PERTALIAN ATAU TITIK PERTAUTAN:
Hal-Hal dan Keadaan-Keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum. Titik-titik pertalian dibagi dalam beberapa bagian tertentu, antara lain: 1. Titik-titik pertalian primer (TPP) 2. Titik-titik pertalian sekunder (TPS).

14 Teori Statuta (teori HPI) menurut Bartolus Saxoferato, adalah:
a. personalia, yaitu untuk orang dan benda bergerak dipakai status personal b. realia, yaitu untuk benda tidak bergerak (lex rei sitae) c. mixta, yaitu locus regit actum

15 Titik pertalian primer (TPP)
Alat Pertama untuk mengetahui apakah suatu “perselisihan” hukum merupakan soal HATAH. Melahirkan atau menciptakan hubungan HATAH.

16 Titik pertalian sekunder (TPS)
ialah titik taut yang menentukan hukum mana yang harus diberlakukan. (Titik Taut Penentu) TPP adalah faktor-faktor dan keadaan yang menimbulkan, manciptakan suatu hubungan HATAH. TPS adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu.

17 FAKTOR-FAKTOR PENENTU DALAM TPS
Pilihan Hukum yang secara Tegas dinyatakan para pihak dalam Perjanjian; Pilihan Hukum yang disimpulkan oleh hakim/ pilihan hukum secara diam-diam (tidak tegas); Pilihan Hukum yag diperintahkan oleh Negara; Fakta-Fakta khusus

18 TPP Titik pertalian primer untuk HAG: golongan rakyat
Titik pertalian primer untuk HPI: kewarganegaraan Bendera kapal TPP untuk HPI Tanah sebagai TPP untuk HAG Domicillie Tempat kediaman (residence) Tempat kedudukan

19 Menentukan TPS Pilihan hukum Tempat letaknya benda (situs)
Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum Tempat dilaksanakannya perjanjian Tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum Pemakaian prinsip kewarganegaraan untuk HPI Indonesia Hukum harta benda dalam perkawinan Syarat-syarat perkawinan Pewarisan

20 BACA ULANG DALAM BUKU UNTUK MEMAHAMI KONSEP TITIK TAUT PRIMER DAN TITIK TAU SEKUNDER.
KUIS: CONTOH KASUS


Download ppt "KULIAH II TITIK-TITIK PERTALIAN"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google