Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehHadian Darmadi Telah diubah "6 tahun yang lalu
2
Pendahuluan Obat merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan dan pencegahan terhadap suatu penyakit. Keputusan penggunaan obat selalu mengandung pertimbangan antara manfaat dan risiko. Fokus pelayanan kefarmasian bergeser dari kepedulian terhadap obat (drug oriented) menuju pelayanan optimal setiap individu pasien tentang penggunaan obat (patient oriented) Untuk mewujudkan pharmaceutical care dengan risiko yang minimal pada pasien dan petugas kesehatan perlu penerapan manajemen risiko.
3
MEDICATION ERROR "A medication error is any preventable event that may cause or lead to inappropriate medication use or patient harm while the medication is in the control of the health care professional, patient, or consumer. Medication Error ( ME ) atau kesalahan pelayanan obat menurut NCC MERP yaitu setiap kejadian yang dapat dihindari yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat yang tidak tepat atau membahayakan pasien sementara obat berada dalam pengawasan tenaga kesehatan atau pasien. The National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP) is an independent body composed of 27 national organizations. Menurut Kepmenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Medication Error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.
4
MEDICATION ERROR Medication Error adalah jenis Medical Error yang paling umum terjadi di berbagai rumah sakit. Diperkirakan 7000 orang meninggal pertahun (The Business Case for Medication Safety, February 2003). Studi di 36 rumah sakit (dipublikasi 2002) ditemukan pada setiap kemungkinan terjadi 2 ME setiap hari. Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien mulai dari produksi dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan dan monitoring pasien. Di dalam setiap mata rantai ada beberapa tindakan, sebab tindakan mempunyai potensi sebagai sumber kesalahan. Setiap tenaga kesehatan dalam mata rantai ini dapat memberikan kontribusi terhadap kesalahan ( Cohen, 1999).
5
Menurut JAMA 1995 Jul 5,274(1):29-34, kesalahan pengobatan dapat terjadi dalam proses prescribing (39%), transcribing (12%), dispensing (11%), dan administering (38%). Prescribing Errors Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan resep. Fase ini meliputi: Kesalahan resep Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui, terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan suatu obat yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau penulis lain yang sah) yang tidak benar. Seleksi obat yang tidak benar misalnya seorang pasien dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap obat yang ditulis untuk pasien tersebut.
6
Transcription Errors Pada fase transcribing, kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Salah dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada fase ini. Dispensing Error Kesalahan pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian informasi. Administration Error Kesalahan pada fase administration adalah kesalahan yang terjadi pada proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas dan pasien atau keluarganya. Kesalahan yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama makan.
8
13 Guidelines For Safety in Drug Administration:
Know the policies of your work place (clinic, hospital, physician's office.) Give only those medications for which the physician has written and signed the order. Know and use common abbreviations with 100 percent accuracy! Check with the head nurse or physician when in doubt about any medication. Identify the patient. Double check! Make certain that the date on the medicine card, or order corresponds exactly with the label on the patient's medicine. Always have an other person, e.g. the head nurse, or pharmacist check calculations.
9
Cont…. 8. Read all directions, warnings, and interactions about the drug and double check with patient and chart what his/her current medications are and if there are any known allergies to medications. 9. Do not converse during drug administrations, and concentrate onyour duty! Remember that attentiveness is the most important aspect of safety. 10. Remain with patient until all medications have been swallowed. 11. Watch patient for signs and symptoms of an allergic reaction. 12. Record (chart) only after medication has been given. 13. Keep the medication cabinet or drug cart locked at all times when not in use and do not give keys to the medicine cabinet or drug cart to an unauthorized person.
10
Metode pendekatan organisasi untuk menurunkan kesalahan pengobatan, antara lain:
Memaksa fungsi dan batasan (forcing function & constraints) Otomatisasi dan computer (automation & computer) Standar dan protocol (SOP) Sistem daftar tilik dan cek ulang (check list & double check system) Aturan dan kebijakan (rules & policy) Pendidikan dan informasi (education & information) Lebih cermat dan waspada Menciptakan budaya safety (aman) Membiasakan mencatat dan mengkomunikasikan setiap kejadian yang berpotensi untuk error.
11
INFUS CAIRAN INTRAVENA
Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.
12
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:
Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas. Pemberian kantong darah dan produk darah. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi) Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi) Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh) Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
13
Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena:
Inflamasi (bengkak, nyeri) dan infeksi di lokasi pemasangan infus. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
14
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:
Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.
15
INTRAVENOUS INJECTION
16
Jenis Cairan Infus: Cairan Hipotonik:
osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
17
Cairan Isotonik: Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer- Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
18
Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.