Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehShinta Susanto Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
Damai di Tobelo, Padam di Ternate, Terjun Bebas di Ambon
Berangkat melakukan perjalanan ke Ternate, Tidore, Halmahera, Morotai, Ambon dan Poso perasaan saya kurang enak. Di Ternate, sejak sebulan lalu listrik kembali padam secara bergilir. Memang tidak parah, tapi sangat menganggu citra PLN di sana. Sebenarnya hanya kurang 1 MW, namun sempat menimbulkan penilaian negatif, termasuk di kalangan internal PLN setempat: bahwa program sehari sejuta sambungan tanggal 27 Oktober lalu itu kurang tepat. Buktinya, setelah itu terjadilah pemadaman bergilir. Saya tidak memberitahukan info yang kurang enak itu ke Pak Murtaqi Syamsuddin, Direktur Bisnis dan Manajemen Resiko yang bersama-sama saya ke Ternate. Soalnya info itu belum tentu benar. Dalam hati kecil, saya juga berharap info itu mengada-ada. Tapi rupanya info pemadaman bergilir itu benar. Dalam pertemuan dengan karyawan PLN di Ternate, seorang karyawan angkat bicara. Dia mengeluhkan hal itu. Dia mempersoalkan janji saya untuk mengatasi pemadaman bergilir. Seolah-olah saya tidak menepati janji itu di Ternate. Tentu saya bisa memahami pernyataan tersebut. Tapi saya juga heran mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Karena itu saya balik bertanya dulu sebelum memberikan komentar: apakah janji tersebut diucapkan oleh saya sebagai Direktur Utama PLN atau janji saya sebagai pribadi? Ini penting ditanyakan balik agar duduk persoalannya jelas. Kalau mereka berpendapat bahwa janji itu merupakan janji saya pribadi, saya pun tidak akan mempersalahkan. Saya akan langsung menggunakan uang pribadi saya untuk membeli pembangkit berkapasitas 1 MW tersebut. Lalu saya kirim ke Ternate. Beres. Listrik di Ternate kembali cukup. Membeli pembangkit 1 MW sama sekali tidak akan memberatkan keuangan pribadi saya. Namun kalau mereka berpendapat janji itu saya ucapkan sebagai Direktur Utama PLN, maka mestinya harus diterima bahwa janji tersebut adalah juga janji kita semua sebagai warga PLN. Terutama para pimpinannya mulai Pimpinan Wilayah, Cabang, Ranting dan jajarannya. Artinya seluruh jajaran PLN Ternate harus ikut mencari jalan agar pemadaman bergilir tidak kembali terjadi. “Kalau prinsip ini tidak bisa diterima,” kata saya di forum itu, “maka konsekwensinya hanya dua: saya yang berhenti sebagai Direktur Utama atau pemilik pendapat tersebut yang harus berhenti dari PLN”. Tentu saya tidak memperpanjang masalah itu menjadi sebuah perdebatan yang tidak produktif. Saya pun tahu karyawan yang menagih janji saya itu pada dasarnya main karambol: mungkin dia hanya ingin mengkritik rekan-rekannya yang di bagian pemeliharaan mesin secara tidak langsung. Atau ini justru menunjukkan bagaimana orang PLN masih sangat terkotak-kotak antara bagian satu dengan bagian lain. Seolah-olah bagian distribusi adalah PLN yang dipisahkan oleh samudera luas dengan bagian pembangkitan. Pertanyaan soal mengapa kembali terjadi pemadaman bergilir di Ternate itu mencerminkan betapa satu bagian tidak mengetahui persoalan di bagian lain. Maka di forum itu saya ungkapkan bahwa sebenarnya sama sekali tidak perlu ada pemadaman bergilir lagi. Masalahnya hanya karena di Ternate ada dua mesin yang rusak dan lamaaaaaa sekali tidak kunjung selesai diperbaiki. Padahal rusaknya tidak berat. Dua mesin diesel itu masing-masing berkapasitas 3 MW. Jadi, kalau satu saja berhasil diperbaiki Ternate sudah kembali kelebihan 2 MW. Apalagi kalau dua-duanya berhasil diperbaiki. Bagi saya ini sangat menarik: mengapa tidak terjadi diskusi yang intens di Ternate untuk mencari jalan keluar agar mesin tersebut bisa segara pulih. Padahal kerusakannya bukanlah kerusakan yang parah. Seolah-olah di sana tidak pernah dilakukan rapat gabungan antar Pimpinan Unit setempat sehingga tidak kunjung ditemukan jalan keluar. Betapa pentingnya rapat gabungan antar Unit seperti itu dilakukan seminggu sekali. Kasus Ternate ini sebenarnya bukan kekurangan listrik 1 MW. Tapi kasus kepedulian. Juga kasus betapa masih berbelitnya birokrasi pengadaan suku cadang. Itulah yang harus dipecahkan. Apalagi kalau hal seperti ini juga terjadi di banyak daerah di seluruh Indonesia. Karena itu saya tidak setuju dengan rencana sewa mesin untuk mengatasi kekurangan listrik di Ternate. Kalau semua kekurangan listrik diselesaikan dengan sewa mesin, betapa manjanya PLN ini. Kalau sedikit-sedikit kekurangan listrik diselesaikan dengan sewa mesin tidak mustahil kalau manajemen PLN hanya akan pintar melakukan transaksi. Tidak pintar dalam melakukan pekerjaan engeneering. Ini perlu saya singgung karena saya masih melihat kecenderungan bermanja-manja seperti ini. Misalnya di Manokwari. Saya juga melihat ada enam unit mesin kita yang dibiarkan rusak. Listrik di Manokwari lebih mengandalkan sewa. Memang ada kalanya mesin sendiri sudah tidak efisien. Ada kalanya menyewa mesin lebih murah daripada menghidupkan mesin sendiri yang sudah derating habis-habisan. Saya memahami itu. Karena itu saya juga setuju dari empat mesin yang rusak di Ternate yang dua mesin tidak perlu diperbaiki. Tapi saya percaya bahwa yang dua lagi yang masing-masing 3 MW itu masih baik. Dalam hal seperti ini saya akan selalu ingat kasus Palu. Mesin-mesin diesel milik PLN sendiri di Palu yang dulunya hanya mampu menghasilkan listrik 9 MW, kini bisa menghasilkan listrik 29 MW. Hanya dengan modal kepedulian. Model ini yang harus jadi cermin untuk banyak daerah lainnya. Maka malam itu juga ketika kami rapat sambil duduk di lantai di ruang control PLTD Ternate. Diputuskanlah tatacara baru dalam memperpendek proses keputusan pengadaan suku-cadang. Saya senang bahwa GM Maluku dan Maluku Utara bisa meluruskan benang kusut proses pengadaan suku-cadang yang ruwet itu. Saya juga senang Pak Murtaqi mencarikan solusi prosedur baru pengadaan suku cadang yang lebih sederhana tapi tetap akuntabel. Di banyak kasus kita memang masih memerlukan sewa mesin. Mesin-mesin sewa di berbagai daerah itu di samping bisa ikut mengatasi krisis listrik sebenarnya juga bisa memberikan pelajaran berharga. Mengapa mesin-mesin sewa itu selalu lancar sedang kita punya tidak. Perbedaan ini begitu terlihat karena mesin-mesin sewa itu biasanya berada dalam satu lokasi dengan mesin-mesin PLN. Malam itu juga diputuskan bahwa apa yang terjadi di mesin sewa harus bisa terjadi di mesin kita sendiri. Tidak ada faktor yang bisa membedakannya: operatornya sama-sama makan nasi! Lain halnya kalau operator mesin sewa makan keju sedang operator kita makan singkong. Keperluan listrik kota Ternate memang meningkat tajam. Ini karena Ternate berkembang pesat. Saya sudah tidak kenal lagi kota Ternate lama yang pernah saya kunjungi 15 tahunan yang lalu. Kotanya sudah lebih teratur, bersih dan terasa menggeliat. Ada mall, hotel bintang lima dan wilayah pengembangan baru hasil reklamasi di pinggir pantai. Di sini dibangun masjid yang indah yang kalau dilihat dari laut seperti mengambang di air. Mirip masjid di Jeddah atau di kota Melaka, Malaysia. PLN ketinggalan langkah di Ternate. Karena itu PLN harus mengejarnya dengan sungguh-sungguh. Kalau tidak, PLN yang seharusnya menjadi lokomotif pembangunan ekonomi di suatu daerah justru akan jadi penghambat. Mengunjungi kota-kota kecil di Indonesia Timur menimbulkan kesan bahwa kota-kota di sana berkembang pesat. Ada geliat baru. Ada gairah baru. Ini agak berbeda dengan kalau kita berkunjung ke kota-kota sekitar Danau Toba seperti Tarutung, Balige dan Porsea. Karena itu saya pernah mengusulkan terobosan untuk menjual Danau Toba lebih taktis dengan cara memperbesar bandara Silangit. Saya tidak melihat cara lain untuk memakmurkan wilayah itu kecuali mendorong bandara di dekat Danau Toba itu. Dari Ternate kami menyebarang ke Tidore. Untuk melihat pembangunan PLTU 2 x 7 MW yang Insya Allah selesai paling lambat 10 bulan lagi. Tapi PLTU ini terasa sudah terlalu kecil, karena beban puncak listrik di Ternate saja sudah 18 MW. Belum termasuk Tidore sendiri. Belum terhitung lagi berapa banyak hotel yang masih menggunakan listriknya sendiri yang amat mahal itu. Karena itu kami memutuskan untuk langsung saja menambah listrik di lokasi itu dengan 2 x 7 MW lagi. Bahkan untuk masa depan, rasanya perlu mengonsentrasikan PLTU di lokasi ini. Listrik untuk pulau Halmahera bisa dialirkan dengan jaringan kabel bawah laut dari Tidore. Jarak terdekat antara Tidore dengan Halmahera hanya 8 km. Lokasi PLTU ini memang cukup strategis dan tidak bermasalah sama sekali. Berada di kapal feri menuju lokasi proyek ini kita seperti berada di tengah-tengah pegunungan yang unik. Di sana-sini terlihat gunung yang menjulang tinggi, tapi gunung-gunung itu seperti mencuat begitu saja dari bawah laut. Di depan kita terlihat gunung Gamalama yang mendominasi pulau Ternate. Di belakang kita ada gunung tinggi yang mendominasi pulau Tidore. Di arah kiri ada gunung seribu. Disebut gunung seribu karena gunung inilah yang menghiasi uang Rp 1000 saat ini. Sedang di kanan sana tampak banyak gunung yang mendominasi pulau Halmahera. Saya melihat kemungkinan yang besar bahwa dengan kabel bawah laut listrik dari Tidore ini bisa untuk Ternate, Sofifi (kota baru yang akan menjadi ibukota Maluku Utara), Jaelolo (ibukota kabupaten Halmahera Barat), Tobelo (ibukota kabupaten Halmahera Utara dan Galela, kota pelabuhan Halmahera. Minggu depan sudah akan ada kabel bawah laut dari Tidore ke Ternate. Pemasangannya sudah selesai. Karena itu saya minta segera dikomisioning agar dalam satu minggu sudah bisa dipergunakan. Dengan kabel ini, maka kelebihan kapasitas 1 MW di Tidore bisa untuk mengatasi kekurangan 1 MW di Ternate sambil menunggu selesainya perbaikan 2 unit mesin yang di Ternate sendiri. Bahkan dengan kabel bawah laut ini, kini antara Ternate dan Tidore (jaraknya hanya 1 km) sudah bisa saling bantu. Sistem di dua pulau itu bisa lebih handal. Perjalanan ke Maluku Utara kali ini memang amat panjang tapi hampir tidak pernah melalui jalan darat. Harus dengan pesawat atau feri. Syukurlah perjalanan dari Halmahera, Morotai, Ternate, Tidore, Ambon dan Poso ini bisa dituntaskan dalam waktu dua hari. Malam pertama menginap di Tobelo dan malam kedua di Ternate. Dua malam itu adalah malam-malam yang hening. Tidak ada hiruk pikuk dan kebisingan. Berada di pulau Halmahera yang indah, hidup terasa lebih damai. Tidak banyak tuntutan dan desakan. Pagi-pagi ketika gerak-jalan pagi bersama karyawan PLN Tobela kami hanya bertemu suami-isteri yang duduk di atas pedati yang ditarik oleh sapi. Begitulah cara penduduk setempat menuju kebun. Begitu damainya. Tidak ada lalu-lintas orang yang serba terburu-buru. Saya teringat kata-kata bijak yang dikutip teman saya selalu: dunia ini cukup untuk keperluan seluruh manusia, tapi tidak cukup untuk satu manusia yang rakus (The world is enough for people’s need but not enough for people’s greed). Di Tobelo kami tidak melihat kerakusan manusia. Demikian juga di Ternate. Pagi-pagi kami juga gerak-jalan bersama karyawan. Karyawan PLN Ternate sangat menyenangkan. Kami ramai-ramai jalan kaki. Rutenya ke pinggir pantai yang indah. Juga begitu damai. Ketika kami melewati satu toko kaset yang sedang memutar lagu dangdut amat keras, kami berhenti di depan toko itu. Kami joget komando bersama memenuhi jalan raya di depan toko itu memanfaatkan musik keras tersebut. Tentu jadi tontonan yang aneh tapi PLN memang sudah waktunya perlu promosi. Sayangnya joget itu tidak bisa terlalu lama. Pertama menghambat lalu-lintas. Kedua, kami harus segera menuju Ambon. Di Ambon sebuah acara bersejarah sudah menanti: memulai pengeboran geothermal Tulehu. PLN Geothermal yang menjadi penanggungjawabnya. Di Tulehu ini Direksi PLN memang melakukan terobosan: geothermal ini harus segera dibangun. Maklum, proyek ini sudah macet sekitar 15 tahun. Keruwetan administrasi dicoba diterobos dengan kiat-kiat yang tajam. Tanpa terobosan itu, proyek geothermal ini mustahil bisa dimulai. Kalau saja Tulehu benar-benar bisa menghasilkan listrik 2 x 10 MW, maka separo keperluan listrik Ambon teratasi dari sini. Geothermal Tulehu ini agak unik karena tidak memerlukan air dari luar. Airnya sudah tersedia di dalam. Bahkan Tulehu bisa menghasilkan air nantinya. Maka pengeboran sedalam meter ini kita doakan segera berhasil. Ketika saya diminta melakukan gunting pita, saya memilih minta para pendeta dan kyai setempat untuk menggunting pita itu. Doa mereka akan lebih terkabul. Dengan dimulainya proyek geothermal Ambon ini maka di sana ada dua proyek besar yang sedang bersaing: mana yang lebih dulu menghasilkan listrik untuk masyarakat Ambon. PLTP Tulehu atau PLTU Tulehu. Skalanya sama. Sama-sama 2 x 10 MW, dan sama-sama baru mulai. Kalau dua proyek ini sukses, maka PLN di Ambon akan terkejut: biaya pokok produksinya akan langsung terjun bebas. PLN akan sangat berhemat karena dari dua proyek ini saja seluruh kebutuhan listrik di Ambon terpenuhi. Ambon yang tahun lalu termasuk wilayah krisis listrik terberat, bisa-bisa akan menjadi daerah dengan listrik terbaik. Dahlan Iskan CEO PLN
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.