Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

HAKIM, MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ALAIH

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "HAKIM, MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ALAIH"— Transcript presentasi:

1 HAKIM, MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ALAIH
IHWAN ABDURAHMAN,S.Pd.I

2 HAKIM Etimologi Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam fiqih, istilah hakim semakna dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki. Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah Swt. (QS. Al-An’am: 57) “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenar-benarnya dan Dia Pemberi Kehidupan yang paling baik.”

3 PERBEDAAN TENTANG BAIK DAN BURUK
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam masalah: Apakah hukum-hukum yang dibuat Allah Swt hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah Saw, atau apakah akal mempunyai kewenangan dalam penetapan hukum-hukum syari’at? Perbedaan ini berpangkal dari perbedaan pandangan tentang fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu hal (tahsīn ‘aqli wa taqbīh ‘aqli). 1. Golongan Mu’tazilah Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi kepada dua kategori: (1) Perbuatan yang sifat baik atau buruknya bersifat esensial (hasan lidzātih dan qabīh lidzātih). Kekuatan akal yang sehat secara independen mampu mengetahuinya. Fungsi wahyu untuk memberitahukan suatu perbuatan adalah baik atau buruk, dikemas dalam bentuk perintah dan larangan. (2) Perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal terhadap nilai baik dan buruknya,seperti ibadah dan cara-caranya. Secara mutlak, diperlukan wahyu untuk mengetahui baik buruknya.

4 2. Golongan Maturidiyah Golongan Maturidiyah membagi sesuatu perbuatan itu kepada: Hasan lidzātih, qabīh lidzātih, dan sesuatu yang ada diantara keduanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah Swt. Menurut mereka, akal semata tidak dapat dijadikan landasan hukum, setiap hukum haruslah bereferensi kepada wahyu. 3. Golongan Asy’ariyah Golongan Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik atau buruk adalah perintah atau larangan Allah Swt, akal tidak mempunyai kewenangan menetapkannya.

5 MAHKUM FIH Definisi Mahkum fih berarti perbuatan orang mukallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’. Misal, dalam QS. Al-Maidah: 1 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” Yang menjadi objek perintah dalam ayat tsb adalah perbuatan orang mukallaf, yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan.

6 SYARAT-SYARAT MAHKUM FIH
1.Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga suatu perintah dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Ayat-ayat al-Quran yang bersifat global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan secara rinci tatacaranya dari Rasulullah Saw. seperti shalat, puasa, zakat, haji, dsb. 2.Diketahui secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah itu datang dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya setiap upaya mencari pemecahan hukum, yang paling utama dilakukan adalah pembahasan tentang validitas suatu dalil sebagai sumber hukum. 3.Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.

7 MAHKUM ‘ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Definisi    Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum: Ulama ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf . Sehingga istilah mahkum alaih disebut dengan subyek hukum.

8 Syarat-syarat mahkūm ‘alaih
orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi), jika telah memenuhi beberapa persyaratan. 1. Mampu memahami khithab syar’i dan dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi disebabkan seseorang mempunyai akal yang sehat sempurna. Jika diukur secara fisik, batas baligh berakal pada wanita ditandai dengan menstruasi, sedangkan pada pria ditandai dengan mimpi basah. QS. Al-Nur: 59. 2. Mempunyai ahliyat al-ada`, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut mukallaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, ia diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti itu baru dimiliki seseorang jika ia baligh, berakal sehat, bebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tsb seperti keadaan tertidur, gila, lupa, terpaksa, dsb. Khusus tasharruf harta, kewenangan seseorang baru dianggap sah disamping sudah baligh berakal juga setelah rusyd (kemampuan mengendalikan hartanya).

9 TENTANG AHLIYYAH Definisi
Secara etimologi, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan secara terminologi, ahliyyah adalah: “Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.”

10 Pembagian Ahliyah 1. Ahliyyat al-ada`:
sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik positif maupun negatif. Ukurannya adalah ‘aqil, baligh dan rusyd (QS. Al- Nisa`: 6). 2. Ahliyyat al-Wujub, Sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misal: ia telah berhak menerima hibah, jika hartanya dirusak orang lain,ia diangap mampu menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris. Namun, ia dianggap belum mampu untuk dibebani kewajiban syara’ seperti shalat, puasa, haji dsb. Maka walaupun ia mengerjakan amalan tsb statusnya sekedar pendidikan bukan kewajiban. Ukuran yang digunakan adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan. Bayi dan anak kecil termasuk kategori ini.

11 Pembagian Ahliyyat al-Wujub
Ahliyyah al-wujub terbagi dua: 1. ahliyyat al-wujub al-naqishah, yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin), ada 4 hak baginya: hak keturunan dari ayahnya, hak warisan, wasiat, dan harta wakaf yang ditujukan kepadanya. 2. ahliyyat al-wujub al-kamilah, kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal. Jika seseorang melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan orang lain, maka orang yang berstatus ahliyyah al-ada` ataupun ahliyyah al-wujub al-kamilah wajib mempertanggungjawabkannya, wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri, dan pengadilan berhak memerintahkan wali atau washi untuk mengeluarkan ganti rugi dari harta anak itu sendiri. Tapi jika tindakannya bersifat mencederai fisik atau bahkan membunuh orang lain, maka tindakan anak kecil yang berstatus ahliyyat al-wujub al- kamilah belum dapat ditindak secara hukum, maka hukumannya tidak dengan qishash, tetapi dianggap melukai atau pembunuhan semi-sengaja yang hukumnya dikenakan diyat atau ta’zir.

12 SELAMAT BELAJAR PERUBAHAN TIDAK AKAN DATANG DALAM SEBUAH LONCATAN BESAR, MELAINKAN MELALUI LANGKAH-LANGKAH KECIL YANG BERKESINAMBUNGANBESAR


Download ppt "HAKIM, MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ALAIH"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google