Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

dr. Novi Violona Edwar Kedokteran Universitas Andalas

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "dr. Novi Violona Edwar Kedokteran Universitas Andalas"— Transcript presentasi:

1 dr. Novi Violona Edwar Kedokteran Universitas Andalas
KONSTIPASI dr. Novi Violona Edwar Kedokteran Universitas Andalas

2 Sistem Pencernaan

3 Proses defekasi Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Upaya menahan tinja ini tetap dipertahankan sampai individu mencapai toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengejan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus.

4 Tabel.1. Frekuensi normal defekasi pada anak
Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari 0-3 bulan ASI Formula 5-40 5-28 2,9 2,0 6-12 bulan 1,8 1-3 tahun 4-21 1,4 >3 tahun 3-14 1,0

5 Apa itu Konstipasi?? Definisi konstipasi: Menurut Rogers Konstipasi adalah kesulitan melakukan defekasi atau berkurangnya frekuensi defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak. Lewis dan Muir menambahkan bahwa Kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan distress pada anak Menurut Abel Konstipasi sebagai perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya. Menurut Steffen dan Loening-Baucke mengatakan konstipasi sebagai buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat buang air besar dengan tinja yang banyak dan keras. Penulis sendiri ( Agus firmansyah ) berpendapat bahwa konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan atau tidak disertai enkopresis .

6 Epidemiologi Sekitar 3 persen kunjungan ke dokter anak dan 10%- 15% kasus yang ditangani ahli gastroenterologi anak merupakan kasus konstipasi kronis. Sebagian besar (90%-95%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional, hanya 5%-10% yang mempunyai penyebab organik

7 Etiologi a). Idiopatik b). Organik b.1 Kelainan neoromuskular
b.2 Kelainan Anatomi b.3 Penyakit sistemik b.4 Obat - obatan

8 Penyebab konstipasi berdasarkan umur
a. Neonatus/Bayi Meconium plug - Penyakit Hirschsprung - Fibrosis kistik - Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforata, stenosis ani - Chronic idiopathic intestinal pseudo-obstruction - Endokrin: hipotiroid - Alergi susu sapi - Metabolik: diabetes insipidus, renal tubular asidosis - Retensi tinja b. Toddler dan umur 2-4 tahun - Fisura ani, retensi tinja - Toilet refusal - Alergi susu sapi - Penyakit Hirschsprung segmen pendek - Penyakit saraf: sentral atau muskular dengan hipotoni - Medula spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord

9 Penyebab konstipasi berdasarkan umur
c. Usia sekolah - Retensi tinja - Ketersediaan toilet terbatas - Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis - Preokupasi dengan kegiatan lain - Tethered cord d. Adolesen - Irritabel bowel syndrome - Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma) - Diet - Anoreksia - Kehamilan - Laxative abuse

10 Patofisiologi Konstipasi
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan persafaran yang normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum oleh feses akan merangsang sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Apabila relaksasi sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna akan berkontraksi secara refleks dan untuk selanjutnya akan diatur secara volunter. Otot puborektalis akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus mengalami konstriksi. Apabila konstriksi berlangsung cukup lama, refleks sfingter ani interna akan menghilang diikuti hilangnya keinginan defekasi. Etiologi dan Patofisiologi

11 E. Konstipasi Fungsional
Konstipasi fungsional (FC) sering kali terjadi akibat seringnya seorang anak menahan buang air besar. Perilaku menahan buang air besar ini menyebabkan retensi tinja yang menyebabkan usus besar menyerap lebih banyak air, menciptakan tinja yang keras. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, episode sembelit akut akibat perubahan pola makan dapat menyebabkan buang air besar yang kering dan keras, yang dapat menyebabkan buang air besar yang menyakitkan.

12 E. Konstipasi Fungsional
Lingkaran setan terus berlangsung:  tinja keras  nyeri waktu berhajat retensi tinja  tinja makin banyak reabsorpsi air  tinja makin keras dan makin besar  nyeri waktu berhajat  dan seterusnya.

13 E. Konstipasi Fungsional
Kriteria diagnostik konstipasi fungsional, apabila terpenuhi minimal 2 dari kriteria dibawah ini: usia < 4 tahun 1. frekuensi buang air besar ≤ 2 kali seminggu 2. Mengalami inkontinensia fekal ≥ 1 kali dalam seminggu setelah anak menerima toilet training. 3. Riwayat postur retensi atau retensi feses karena kehendak yang berlebihan 4. Riwayat buang air besar yang nyeri atau keras 5. Adanya massa feses yang besar di rektum 6. Riwayat feses berdiameter besar yang bisa menyumbat toilet

14 E. Konstipasi Fungsional
Children dan adolescents : Gejala setidaknya 1 kali dalam seminggu selama 2 bulan, terdapat 2 atau lebih gejala berikut : 1. frekuensi buang air besar ≤ 2 seminggu (di toilet ) 2. Mengalami inkontinensia fekal ≥ 1 kali dalam seminggu 3. Riwayat postur retensi atau retensi feses karena kehendak yang berlebihan 4. Riwayat buang air besar yang nyeri atau keras 5. Adanya massa feses yang besar di rektum 6. Riwayat feses berdiameter besar yang bisa menyumbat toilet

15 Edukasi Edukasi terhadap keluarga sangat penting , sama halnya dengan obat obatan. Konseling mengenai kebiasaan anak menahan defekasi, untuk melakukan toilet training, Dan membuat catatan harian bagi anak untuk mencatat frekuensi defeksi dan memberikan pujian terhadap anak jika berhasil melakukan evakuasi.

16 Medication terapi Evakuasi tinja (disimpaction)
Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada palpasi regio abdomen bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada pemeriksaan colok dubur atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen. Bila menggunakan obat per oral, dapat digunakan mineral oil (parafin liquid) dengan dosis ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimum 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa nasogastrik selama 4 jam per hari

17 2. Terapi rumatan Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang sempurna. Anak dianjurkan untuk banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat. Buah buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang dan melon banyak mengandung serat dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja Serat dan sorbitol banyak terkandung dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.

18 F. Konstipasi Organik Konstipasi organik adalah konstipasi akibat adanya kelainan organik . Penyebab kostipasi organik yang paling serng pada anak adalah penyakit hisrsprung. Temuan pada pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik dari fungsional - Gagal tumbuh - Distensi abdomen - Hilangnya lengkung lumbosakral - Pilonidal dimple covered by a tuft hair - Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosakral) - Agenesis sakrum

19 F. Konstipasi Organik - Bokong datar - Patulous anus
- Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen - Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur - Darah dalam tinja - Hilangnya kedutan anus - Hilangnya reflek kremaster

20 Hirsprung Disease Hirsprung disease merupakan suatu penyakit kongenital berupa tidak adanya segmen ganglion parasimpatik pada submukosa dan myenteric plexuses yang secara anatomi terletak pada bagian anus dan membentang secara proksimal Berdasarkan panjang segmen yang aganglionik Hirsprung disease dibagi menjadi 3 : 1. Short segmen Hirsprung disease, dimana Segmen aganglionik terbatas pada rektosigmoid 2. Total Colonic Aganglionic Hirscprung Disease , dimana segmen aganglionik mengenai semua kolon. 3. Very short segmen aganglionik Hirscprung disease, dimana bagian aganglionik hanya mengenai bagian distal rektum.

21 . Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi
Abdomen Colok dubur Punggung dan spina - Distensi - Kedutan anus - Lesung - Massa tinja - Tonus anus - Berkas rambut Inspeksi anus Neurologi - Posisi - Adanya tinja - Tonus - Adanya tinja di sekitar anus atau celana - Konsistensi - Kekuatan - Adakah massa lain - Refleks kremaster - Eritema sekitar anus - Tinja menyemprot bila jari dicabut - Refleks tendon - Skin tags - Darah dalam tinja - Fisura ani

22 Komplikasi konstipasi kronis pada anak
• Nyeri: anus atau abdomen • Fisura ani • Enkopresis • Enuresis • Infeksi saluran kemih/obstruksi ureter • Prolaps rektum • Ulkus soliter • Sindrom stasis - Bakteri tumbuh lampau - Fermentasi karbohidrat, maldigesti - Dekonjugasi asam empedu - Steatorea

23 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga mempunyai penyebab organik; 1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja. 2. Pemeriksaan enema barium untuk mencari penyebab organik seperti Morbus Hirschsprung dan obstruksi usus. 3. Biopsi hisap rektum untuk melihat ada tidaknya ganglion pada mukosa rektum secara histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschsprung. 4. Pemeriksaan manometri untuk menilai motilitas kolon. 5. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme, ultrasonografi abdomen, MRI, dll.

24 Table 3.Potential Alarm Features in Constipation
Passage of meconium >48 h in a term newborn Abnormal thyroid gland Abnormal position of the anus Constipation starting in the first month of life Absent anal or cremasteric reflex Family history of Hirschsprung’s disease Decreased lower extremity strength/tone/reflex Ribbon stools Blood in the stools in the absence of anal fissures Sacral dimple Tuft of hair on spine Failure to thrive Gluteal cleft deviation Bilious vomiting Anal scars Severe abdominal distension

25 TERIMA KASIH

26


Download ppt "dr. Novi Violona Edwar Kedokteran Universitas Andalas"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google