Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehEdwin Alvin Telah diubah "10 tahun yang lalu
1
Sejak pertama kali meluap, 29 Mei 2006, banjir Lapindo telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Menurut berbagai sumber data di lapangan, sampai saat ini jumlah bangunan yang terendam meliputi 10.426 tempat tinggal, 33 sekolah, dan 31 pabrik. Lahan sawah yang diperuntukkan tebu yang terendam mencapai 64,02 ha dan sawah untuk tanaman padi yang terendam mencapai 482,65 ha. Banjir lumpur ini telah mengakibatkan ratusan ribu warga kehilangan mata pencahariannya dan ketidakjelasan nasibnya. Anehnya, penanganan terhadap hal tersebut, baik dari Pemerintah maupun DPR, cenderung mengabaikan kepentingan korban. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan berikut: Pertama, penanganan Pemerintah terhadap korban lumpur Lapindo diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Perpres ini lebih berpihak kepada Lapindo. Misalnya, Perpres ini telah membatasi kewajiban Lapindo hanya mencakup Peta Terdampak sesuai dengan kondisi pada tahun 2007. Padahal areal yang terendam banjir lumpur tersebut terus meluas hingga saat ini. Akibatnya, berdasarkan Perpres ini, Lapindo hanya bertanggung jawab terhadap sekitar 22.301 jiwa dari 4 desa/kelurahan yang termasuk dalam Peta Terdampak. Adapun lebih dari 40 ribu jiwa yang lahan dan tempat tinggalnya terendam lumpur dianggap di luar tanggung jawab Lapindo karena berada di luar areal Peta Terdampak. Perpres tersebut juga telah menetapkan pembayaran ganti rugi melalui mekanisme jual-beli kepada korban dilakukan secara bertahap, yaitu sebesar 20% dibayarkan di muka dan sisanya yang 80% akan dibayarkan kurang lebih
2
setelah dua tahun. Sampai saat ini masih belum jelas pembayaran sisanya tersebut. Perpres itu juga telah mengubah kewajiban Lapindo memberikan ganti rugi kepada korban menjadi masalah keperdataan jual-beli tanah dengan harga yang sudah ditentukan oleh Lapindo. Warga korban pada Januari 2008 telah mengajukan uji material Perpres No. 14 Tahun 2007 tersebut kepada Mahkamah Agung (MA). Intinya, mereka meminta Perpres itu dibatalkan karena pembayaran ganti rugi yang diberikan kepada para korban menggunakan proses jual-beli secara tidak tunai. Cara tersebut dinilai sama sekali tidak mendahulukan kepentingan para korban dan justru menguntungkan Lapindo. Namun, MA sejalan dengan Pemerintah dalam menjaga kepentingan Lapindo; MA menolak pengajuan tersebut. Kedua, pihak DPR yang seharusnya menjadi pembela rakyat yang menjadi korban tersebut juga tidak bisa diharapkan. Sejak awal tahun 2007 DPR telah mengancam akan melakukan hak interpelasi kepada Pemerintah terkait dengan pola penanganan lumpur Lapindo. Namun, hingga saat ini isu interpelasi itu faktanya hanya menjadi 'jualan' politik, tidak benar-benar untuk membela kepentingan rakyat. Buktinya, minggu lalu TP2LS-DPR RI menyatakan bahwa semburan lumpur tersebut dianggap sebagai akibat bencana alam, bukan karena kelalaian Lapindo. Kelihatannya TP2LS yang dibentuk oleh DPR tersebut memang 'bekerja' untuk Lapindo, bukan untuk menolong rakyat lemah yang menjadi korban. Buktinya, laporan TP2LS ini sama persis dengan iklan yang diterbitkan oleh Lapindo
3
Brantas Inc. di berbagai media massa. Dalam iklan bertajuk, "Meneropong Bencana Lumpur di Sidoarjo" (Republika, 27/11/2007), Lapindo Brantas Inc. mencoba mencari-cari keterkaitan antara gempa Yogyakarta dan awal munculnya semburan lumpur panas. Dengan meminjam pernyataan dari beberapa pakar perguruan tinggi, Lapindo Brantas Inc. menyebut semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo adalah proses dari apa yang dinamakan mud vulcano. Kesimpulan TP2LS-DPR memang wajar senada dengan iklan Lapindo Brantas Inc. tersebut. Sebab, dalam TP2LS itu DPR mengirim dua orang ahli yang berasal dari pihak Lapindo. Kedua ahli tersebut jelas akan mengatakan bahwa itu merupakan peristiwa alam yang bukan disebabkan karena salah pengeboran. Padahal seorang ilmuwan dari Jepang, Prof. Mori, menunjukkan bahwa posisi lumpur Lapindo di Sidoarjo ternyata berada jauh di luar pusat gempa yang terjadi di Yogyakarta. Intinya, getaran yang sampai ke Sidoarjo tidak cukup kuat untuk dapat menimbulkan aktivitas gunung api lumpur. Anehnya, TP2LS-DPR hanya mengambil pendapat dari sejumlah pakar yang sependapat bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam, dan cenderung mengabaikan pendapat pakar lain yang menyatakan sebaliknya. Inilah fakta betapa Pemerintah dan DPR sebenarnya memang berpihak kepada Lapindo Brantas Inc. daripada mempedulikan penderitaan massal yang menimpa rakyat yang menjadi korban itu. Tentu ini semakin menguatkan dugaan bahwa politik dan ekonomi yang berjalan saat ini sebenarnya dikendalikan oleh para kapitalis pemilik modal. Adapun pihak Pemerintah, DPR dan bahkan
4
Lembaga Peradilan lebih berfungsi sebagai penguat kepentingan para kapitalis tersebut. Ini jelas sebuah kezaliman yang luar biasa.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.