Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehTeguh Hartanto Telah diubah "9 tahun yang lalu
1
Pertemuan 5 DIMENSI ETIS KEMAJUAN IPTEK
Matakuliah : CB142 Tahun : 2008 Pertemuan 5 DIMENSI ETIS KEMAJUAN IPTEK
2
Learning outcome Mahasiswa mampu menghubungkan antara penerapan suatu teknologi dengan persoalan etis yang akan ditimbulkan Bina Nusantara
3
Ambivalensi Kemajuan Iptek Ilmu dan Moral
Materi: Pengetahuan Manusia Kebenaran Ilmiah Ambivalensi Kemajuan Iptek Ilmu dan Moral Bina Nusantara
4
1. Pengetahuan Manusia 1.1. Kemampuan menalar
Manusia berkat kekuatan akal budinya, manusia memiliki kemampuan menalar, megembangkan kebudaayaan, membuat sejarah, mengembangkan peradaban, mampu memberi makna kepada kehidupan, dan bahkan menjawab panggilan Tuhannya. Dengan kemampuan menalarnya manusia dapat menghubungkan setiap peristiwa yang ditangkap oleh paca indera berdasarkan kerangka (logis dan analitis) tertentu sehingga mampu menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya. Kemampuan menalar merupakan prinsip dasar bagi pegembangan pengetahuan manusia. Ciri dasar dari kegiatan menalar adalah Namun di samping kemampuan menalar, kemampuan berbahasa juga memainkan peranan yang penting. Bahasa dapat mempengaruhi persepsi manusia terhadap suatu peritiwa. 1.2. Subyek dan Obyek Pengetahuan Sejaraf filsafat mengenai pengetahuan manusia mencatat dua pandangan ekstrim yang saling menegasi yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme di satu sisi bersifat a priori artinya pengetahuan manusia tidak didasarkan pada pengalaman indrawi melainkan konstruksi akal budi semata-mata. Metode yang digunakan adalah deduktif. Bina Nusantara
5
Sedangkan empirisme di sisi yang lain aposteriori
Sedangkan empirisme di sisi yang lain aposteriori. Artinya pengetahuan manusia tergantung pada pengalaman indrawinya. Metode yang digunakan dalam empirisme adalah induktif, berdasar pada pengalaman-pengalam partikular. Kita tentu tidak sampai pada perdebatan filosofis mengenai sifat pengetahuan manusia. Kita cukup dengan menggarisbawahi kedua-duanya (rasionalisme-empirisme) sebagai dua dimensi yang mendasar bagi terbentuknya pengetahuan pada manusia. Manusia sebagai yang mengetahui tidak saja mengetahui sesuatu obyek, realitas yang berada di luar manusia, tetapi juga, manusia sadar terhadap dirinya sendiri. Artinya manusia dapat sebagai subyek dan obyek sekaligus. Manusia sadar bahwa ia adalah subyek, subyek yang sedang sadar mengenai dirinya sendiri. Oleh karena itu ia tidak hanya merefelsikan obyek yang ada di luar dirinya tetapi juga merefeleksikan kegiatan akal budinya sendiri. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas kita dapat merumuskan pengertian pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya, secara langsung maupun tidak langsung. Pengetahuan akan berkembang sebagai ilmu bila dilakukan secara sistematis dan metodis. Bina Nusantara
6
1.3. Fisafat sebagai Induk Pengetahuan
Apa itu filsafat? Fisafat pertama-tama adalah sikap yang mempertanyakan atau bertanya tentang segala sesuatu. Setiap pertanyaan akan menghasilkan suatu jawaban tertentu, namun secara filosofis jawaban-jawaban itu akan melahirkan pertannyaan-pertannyaan baru. Pertanyaan-pertanyaan filosofis menyentuh hakikat, esensi dari sesuatu. Tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat adalah pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang sesuatu. Seperti pada ilmu-ilmu lainnya fisafat bersifat kritis, sistematis, analitis dan metodis. Kita sudah menjelaskan apa itu filsafat walaupun tidak sepenuhnya. Nah, kalau kita mengatakan filsafat sebagai induk pengetahuan, apa artinya? Arti dari ungkapan itu adalah bahwa semua ilmu pengetahuan berawal dari berfilsafat yaitu kita kritis mengenai realitas disekitar kita. Kita mempertanyakannya, mempersoalkannya dan merumuskan jawabannya. Hasil dari pertanyaan-pertannyaan kritis kita adalah pengetahuan. Bina Nusantara
7
1.4. Pengetahuan dan Keyakinan
Pengetahuan harus dapat diverifikasi, diukur dan dibuktikan. Keyakinan tidak perlu harus dibuktikan, diverifikasi dan diukur. 2. Kebenaran Ilmiah Ada tiga teori mengenai kebenaran ilmiah yaitu; teori persesuaian (korespondensi), teori keteguhan (koherensi) dan teori pragmatis. 2.1. Korespondensi; ada persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Setiap pernyataan yang tidak dapat dihubungkan dengan kenyataan dianggap sebagai tidak benar. 2.2. Koherensi; kesimpulan benar, bila sesuai dengan premis- premisnya. Artinya kebenaran suatu kesimpulan hanya merupakan implikasi dari pernyataan sebelumnya. Misalnya, pernyataan (1) semua manusia pasti mati; (2) Socrates adalah manusia; (3) Socrates pasti mati. Kebenaran pada pernyataan 3 tergantung pada pernyataan 1. Kebenaran koherensi sering dianggap sebagai kebenaran logis. 2.3. Teori Pragmatis. Di sini kebenaran sama dengan kegunaan. Sejauh itu bergunak sejauh itu pula benar. Bina Nusantara
8
3. Ambivalensi Kemajuan Iptek
3.1. Optimisme kemajuan ilmu Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia sampai pada puncak-puncak kehidupan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan manusia dapat memecahkan setiap persoalan hidup yang dihadapinya.Namun, disamping optimisme yang dibawah oleh ilmu pengetahuan, ternyata juga ancaman-acaman baru terhadap hidup manusia itu juga bermunculan. Ancaman-ancaman ini bukan karena tidak dapat dipecahkan oleh Iptek, melainkan dilahirkan atau dibawah oleh iptek itu sendiri. Ancaman senjata nuklir, polusi udara, kematin masal karena senjata kimia dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh aktual yang dilahirkan oleh iptek itu sendiri. Dalam konteks ini suatu pertannyaan muncul, apakah iptek itu bebas nilai? 3.2. Masalah Bebas Nilai Secara teoretis ilmu pengetahuan harus otonom, bebas dan tidak ada kaitannya dengan nilai. Namun dalam kenyataannya, Iptek selalu berkaitan dengan kepentingan tertentu. Maka persoalannya adalah bukan lagi bagaimana iptek itu berkembang, tetapi juga untuk apa? Pertanyaan terakhir berkaitan dengan nilai iptek itu sendiri. Bina Nusantara
9
4.1. Persenjataan pemusnah massal.
4. Ilmu dan Moral 4.1. Persenjataan pemusnah massal. Inovasi sebagai hasil ilmu pengetahuan, tidak terkait dengan masalah moral. Sebab, ilmu pengetahuan bersifat otonom Namun, pada taraf penggunaannya menimbulkan persoalan moral. Oleh karena itu pertimbangan moral ilmu pengetahuan tidak saja pada taraf penggunaan, tetapi juga pada proses penemuannya. Ilmu harus menjawab pertanyaan, untuk apa. 4.2. Revolusi Genetika Revolusi genetika dapat dikatakan merupakan babak baru dalam sejarah keilmuan, sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu sendiri Dalam rekayasa genetik, manusia menjadi obyek eksperimental dan rekayasa. Pertanyaan adalah: Apakah manusia dapat dijadikan obyek eksperimental dan obyek rekayasa? Bina Nusantara
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.