Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Ekonomi Pembangunan (EIE21105)

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Ekonomi Pembangunan (EIE21105)"— Transcript presentasi:

1 Ekonomi Pembangunan (EIE21105)
Kuliah 4 Pendidikan dan pertumbuhan ekonomi 27 September 2012

2 Pendidikan dan ekonomi
Ekonomi Pembangunan – Kuliah 2 (13/09/2012) Pendidikan dan ekonomi Solow model – variabel pendidikan tidak masuk secara eksplisit. Kemungkinan ia masuk lewat variabel produktifitas, A Pemikiran lanjutan: akumulasi modal fisik tidak akan optimal jika tidak diimbangi oleh tenaga kerja yang terdidik (untuk menjalankan mesin, manajemen dll) Pendidikan (human capital accummulation) harusnya berperan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi Analisis mikro sejak 1960an, analisis makro-empiris baru sejak pertengahan 1980an

3 Analisis mikro – human capital
Gary Becker’s human capital approach (1960s) wage = Price x Marginal product of labor Education  productivity  higher wage Juga menganalisis keputusan individu untuk investasi human capital (menempuh pendidikan) Jacob Mincer (1974) Dasar untuk analisis empiris dalam labor economics Wage = f (education, …)

4 Ekonomi Pembangunan – Kuliah 2 (13/09/2012)
Analisis makro Stock of human capital improves a country’s ability to adopt/imitate new technology (Nelson and Phelps 1966) Robert Lucas (1988), Lucas-Uzawa model: hubungan antara stock of human capital dan eksternalitas positif terhadap ekonomi Semakin banyak populasi terdidik, semakin tinggi tingkat inovasi dll, pertumbuhan ekonomi semakin tinggi Romer (1990): membagi tenaga kerja terdidik ke dalam sektor riset (R&D) dan non-riset Mankiw, Romer, Weil: augmented Solow model

5 Analisis makro – augmented Solow model
Y = A F(K, H, L) L = unskilled labor H = skilled labor y = A/L F(k, h)  in per capita term Augmented Solow model: “capital” didefinisikan dalam arti luas – physical dan human capital Teknologi adalah eksogen, tingkat human capital yang tinggi membuat pemanfaatan teknologi di suatu negara makin tinggi Mankiw (1995) menggunakan % secondary enrollment sebagai proxy human capital: 80% perbedaan income per capita dijelaskan oleh physical + human capital Tanpa human capital, physical capital hanya menjelaskan ~1/3

6

7 Kelemahan analisis Mankiw
Mengapa secondary enrollment? Bagaimana dengan primary enrollment? Jika negara miskin = low education level dan negara miskin = higher growth rate, maka return on skilled labor akan lebih tinggi di negara miskin  movement from rich to the poor countries. Faktanya: brain drain Gaji di negara kaya jauh lebih tinggi Causality. Benarkah higher schooling  economic growth  higher income per capita?

8

9 Does schooling matter? (1)
Pritchett (2003): The growth rate of the OECD countries have been relatively stable for >100 years, but schooling has expanded substantially There has been divergence in the average worker output between the leading and lagging countries ( ), but there has been convergence in the level of education across countries Stdev log(GDP): 0.93  1.13 Stdev log(schooling): 0.94  0.56 Substantial and pervasive deceleration of growth in developing countries since the late 1970s, but schooling is nearly universally much higher and growing as fast as before the late 1970s

10 Does schooling matter? (2)
Kemajuan tingkat pendidikan suatu negara tidak selalu diterjemahkan ke dalam pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Countries can grow without education, and did not grow despite being educated. Afrika: antara , pertumbuhan tingkat partisipasi sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4% per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5% per tahun. Itu pun karena ada ‘keajaiban ekonomi’ di Afrika yaitu Botswana dan Lesotho. Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan yang negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami oleh Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8% per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi negatif. Dalam periode yang sama, negara-negara Asia Timur menikmati periode keajaiban pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Padahal, pertumbuhan tingkat partisipasi sekolah di Asia Timur tidak secepat apa yang terjadi di Afrika.

11

12 Where have all the education gone?
The mystery of missing benefit: investasi di bidang pendidikan di negara-negara miskin sudah demikian besar. Tapi belum bisa menjadi solusi atas kemiskinan dan ketertinggalan secara global. Perlu memahami penyebab mengapa tingkat pendidikan rendah dan mengapa return on education juga rendah di banyak negara miskin. Difference in education explains difference in income per capita. But what explains difference in education? Micro analysis of the economics of education Hal ini memiliki implikasi atas kebijakan yang harus diambil.

13 Demand side (1) Tidak ada uang
Tapi ada uang tidak berarti ada minat untuk sekolah Mengapa penduduk miskin tidak berminat sekolah? Low return on schooling Low demand for skilled labor Manfaat pendidikan tidak tersebar secara merata di antara sektor-sektor usaha yang berbeda atau jenis-jenis pekerjaan yang bebeda. Pendidikan tinggi (tersier) jelas memberikan pengaruh besar bagi mereka yang bekerja di sektor-sektor yang high-skilled labor intensives seperti sektor keuangan atau teknologi informasi. Tapi bagi yang bekerja sebagai petani penggarap atau buruh kasar, tambahan manfaat yang diterima dengan memperoleh gelar sarjana mungkin nol. (India, green revolution). Atau negatif – bayangkan opportunity cost dari menuntut ilmu bagi seorang petani yang mengandalkan pengalaman kerja.

14 Demand side (2) Mengapa low return on schooling?
Banerjee dan Duflo (2011), Poor Economics ( Chapter 4 Hambatan atas mobilitas sosial. Sistem kasta di India Akses usaha yang tidak sama, misalnya KKN di penerimaan pegawai. Faktor-faktor lain (misalnya: kesehatan) Studi di Kenya: nilai rendah karena penyakin cacingan Informasi tentang manfaat dari pendidikan dan bidang pendidikan yang spesifik

15 Supply side (1) No school (no nearby school) Bad school conditions
Tapi membangun sekolah lebih banyak, sekolah gratis, belum tentu jadi solusi Bad school conditions Investasi yang tidak optimal

16 Ekonomi Pembangunan – Kuliah 2 (13/09/2012)
Supply side (2) No teacher Belum tentu karena jumlah guru kurang. Bisa jadi karena tingkat absensi guru tinggi, atau distribusi antardaerah yang jelek Variasi antara murid yang besar Membuat efektifitas pengajaran turun

17 Implikasi kebijakan (1)
Tujuan kebijakan pendidikan tidak harus berupa indikator ekonomi. Tapi teori ekonomi mengajarkan trade-off dan opportunity cost. What to improve? How to improve? Demand or supply? Fix the problem, not symptoms. Low schooling may be a symptom of other problems (poverty, health) Low return on schooling may be caused by imperfect market. Apakah problemnya ada di sektor pendidikan

18 Implikasi kebijakan (2)
Tidak selalu menambah anggaran/subsidi. Ada kalanya yang dibutuhkan adalah ‘making the market works’ (labor market, credit market, bahkan commodity/book market). Kalau anggaran: bukan soal ‘berapa’ tapi ‘untuk apa’. Bangunan vs. guru vs. operasional sekolah vs. subsidi murid Subsidi: perlukah subsidi pendidikan tinggi?

19 Subsidi pendidikan tinggi (1)
Argumen: pendidikan tinggi termasuk hak-hak dasar warga negara Counterarguments: Bukan termasuk hak dasar, tapi ‘choice’ Private benefit lebih besar dari social benefit Subsidi SPP: menjadi sumber ketidakadilan Pendidikan tinggi = labor market signal Lebih baik anggaran berorientasi pada pendidikan dasar/menengah

20 Subsidi pendidikan tinggi (2)
Increasing return to scale: benefit dari human capital rendah jika jumlah orang berpendidikan tinggi sedikit. Tapi makin besar jika critical mass membesar. Interaksi antara orang-orang berpendidikan tinggi akan lebih tinggi dan bersinergi positif. Ide-ide baru akan lebih cepat lahir Revolusi mesin cetak dan internet Perkembangan sektor IT di India Jika jumlah lulusan PT masih sedikit  benefit rendah  tidak ada insentif untuk menempuh pendidikan tinggi Kebijakan subsidi pemerintah  increased incentives

21 Increasing returns to scale
y y1 y0 h0 h1

22 Subsidi pendidikan tinggi (3)
Haruskah pendidikan tinggi disubsidi? Ya dan tidak Subsidi selektif: untuk sektor/lokasi yang masih menghasilkan increasing return. Misalnya di daerah/kota kecil yang punya potensi ekonomi berbasiskan skilled labor Model AS: community colleges. Di kota besar tapi targetnya adalah kelompok menengah bawah. Bukan untuk bersaing dengan lulusan universitas papan atas. Kredit pendidikan tinggi.

23 Analisis mikro lanjutan – signaling (1)
Michael Spence’s signaling theory (1970s) Nobel Laureate (2001 – with Akerloff, Stiglitz) Dalam banyak hal, tingkat upah sudah ditentukan saat pekerja melamar, bukan setelah bekerja Tidak mungkin upah ditentukan oleh produktifitas, kecuali untuk upah berdasarkan output Ijazah/tingkat pendidikan adalah ‘signal’ untuk menunjukkan seorang adalah produktif

24 Analisis mikro lanjutan – signaling (2)
Ada dua tipe pekerja: produktif dan non-produktif Tipe produktif: ‘cost’ untuk menempuh pendidikan tinggi lebih kecil  lebih bersedia ‘invest’ dalam pendidikan Upah: reward atas ijazah, bukan atas true productivity Asumsi: mereka yang menempuh pendidikan tinggi adalah mereka yang memang produktif Teori human capital dan signaling menyimpulkan bahwa pendidikan menyebabkan upah yang lebih tinggi. Tapi beda implikasi atas kebijakan.

25 Ekonomi Pembangunan – Kuliah 2 (13/09/2012)
Recap Solow model dan pendidikan (tidak eksplisit) Teori awal human capital: Becker, Mincer (mikro) Pendidikan dalam teori pertumbuhan: Nelson dan Phelps (1966), Lucas (1988), Romer (1990), Mankiw, Romer, Weil (1992) The mystery of missing benefit of education  analisis mikro tentang benefit dan incentives Pendidikan dan increasing returns dalam teori pertumbuhan Higher education as signaling


Download ppt "Ekonomi Pembangunan (EIE21105)"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google