Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

 ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTIONS ( ADR ) , Sejarah perkembangan ADR dalam masyarakat tradisional di indonesia

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: " ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTIONS ( ADR ) , Sejarah perkembangan ADR dalam masyarakat tradisional di indonesia"— Transcript presentasi:

1  SEJARAH PERKEMBANGAN ADR DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL DI INDONESIA PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS BHAYANGKARA - BEKASI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah ADR (Alternatif Penyelesaian Sengketa) Dosen : PROF. I MADE WIDNYANA, S.H., M.H. Oleh: ARINI NPM: 201520251002 BETTY TJIANDRA NPM: 201520251001

2  Istilah ADR > Pilihan Penyelesasaian Sengketa (PPS) Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) UU No. 30 Tahun 1999 > Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. PENGERTIAN

3  Penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional dari masa ke masa, dilakukan sesuai dengan kearifan lokal dengan mekanisme yang berbeda antara masyarakat adat yang satu dengan lainnya, seperti: sangkepanan/paruman (Bali), rembug desa (Jawa), pegundem (Lombok), runggun (Batak Karo). Penyelesaiannya diusahakan sebisa mungkin dilakukan secara kooperatif ( co-operative solutions ) atau biasa diistilahkan sebagai “ win-win solutions ”, yaitu suatu penyelesaian di mana semua pihak merasa sama-sama menang.

4  Pengertian ADR Menurut Ahli Phillip D. Bostwick dalam bukunya “ Going Private With the Justificial Systems: Making Created Uses of ADR Procedures to Resolve Commercial Space Dispute” (1995), mengartikan ADR sebagai sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan: 1.Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak; 2.Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi; 3.Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Kamus Hukum Membedakan antara istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan Alternative Dispute Resolution : Alternatif Penyelesaian Sengketa: “Suatu pilihan penyelesaian sengketa yang dipilih melalui prosedur yang disepakati para pihak yang bersengketa, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara melakukan konsultasi, negosiasi, mediasi, atau dengan menggunakan penilaian ahli.” Alternative Dispute Resolution : “Suatu konsep yang meliputi berbagai bentuk pilihan penyelesaian sengketa selain proses peradilan yaitu melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus ataupun tidak.”

5  Keuntungan-keuntungan dari proses ADR: 1.Nothing to lose; 2.Fast as you want; 3.Less expensive; 4.Walk out any time; 5.Confidential; 6.No precedent; 7.Neutral you want; 8.Hearing certainty; 9.Relationship enchanced; 10.More remedics; 11.Own procedure; 12.Retain control; 13.Settle sooner; 14.Nothing wasted; 15.Narrow issues; 16.Clarify issues; 17.No exposure; 18.Sign of strength; 19.Win-win solutiion; 20.Big name user; 21.Multi-party dispute; 22.Complex issues; 23.Finality; 24.Eliminates fear; 25.Wider issues; 26.Commercial settlement; 27.Credibility stays. Selain itu, ADR juga memberikan keuntungan sbb : 1.Sifat kesukarelaan dalam proses; 2.Prosedur yang cepat; 3.Keputusan non-yudisial; 4.Kontrol tentang kebutuhan organisasi; 5.Prosedur rahasia; 6.Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah; 7.Hemat waktu; 8.Hemat biaya; 9.Pemeliharaan hubungan; 10.Besarnya kemungkinan untuk mencapai kesepakatan; 11.Kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil; 12.Keputusan bertahan sepanjang waktu.

6  ADR sering diartikan sebagai  Alternative to Litigation : Seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR.  Alternative to Adjudication : Mekanisme penyelesaian sengketanya dilakukan secara kooperatif dan konsensual melalui perdamaian seperti negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Sedangkan arbitrase yang bersifat ajudikatif tidak termasuk didalamnya, karena sama halnya dengan pengadilan cenderung menghasilkan putusan dengan solusi menang kalah (win-lose). Indonesia merupakan salah satu penganut dari Alternative to Adjudication, karena UU No. 30 Tahun 1999 memisahkan secara tegas istilah Arbitrase dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

7  Dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat hukum asli (masyarakat hukum adat), apa yang sekarang dikenal dengan istilah ADR sebetulnya sudah dilaksanakan dan dipraktikkan. Hanya saja istilah-istilah yang digunakan dan prosedur yang ditempuh tidak persis sama dengan apa yang dipakai dalam ADR. Tradisi ADR dalam masyarakat adat di Indonesia dilaksanakan berdasarkan pada nilai-nilai, kebiasaan, dan kondisi sosial budaya masyarakat bersangkutan. Pada saat itu, semua sengketa biasanya diselesaikan secara berjenjang:  Penyelesiaan sengketa langsung oleh pihak-pihak (negosiasi).  Apabila tidak ada kesepakatan, baru kemudian mereka dapat meminta bantuan pihak ketiga seperti tetua adat, tokoh agama, atau tokoh masyarakat (mediasi). Tujuannya agar masyarakat tetap hidup harmonis dan tidak timbul kegoncangan.

8  ADR DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL DI INDONESIA

9  Sejalan dengan falsafah (pandangan) masyarakat tradisional, penyelesaian sengketa yang timbul dari masa ke masa dapat digambarkan sbb: 1. Masa Sebelum Kedatangan Penjajah 2. Masa Setelah Belanda Menjajah Indonesia 3. Setelah Setelah Indonesia Merdeka

10 Bangsa Portugis, Belanda, dan bangsa-bangsa asing lainnya mulai menginjakkan kakinya ke beberapa daerah di Indonesia. Bangsa-bangsa asing tersebut selain membawa produk hasil industrinya juga mempengaruhi masyarakat setempat dengan ajaran-ajaran agamanya, sehingga Hukum Adat setempat, seperti: di Batak, Sulawesi, Maluku, Papua, Timor, dan Flores, mulai meresepsi unsur-unsur hukum Eropa dan agama Kristen/Katolik. Abad ke-17 M Agama Islam mulai masuk kesebagian wilayah Indonesia, sehingga di daerah- daerah tersebut berkembang agama Islam dan secara bertahap juga mempengaruhi Hukum Adat asli yang semula masih berlaku, seperti di Aceh, Banten, Sulawesi Selatan, Lombok Abad ke-14 M Agama Hindu masuk ke wilayah Nusantara dan mempengaruhi Hukum Adat asli yang selama itu berlaku dan meresepsi Hukum Hindu. Keadaan itu berlangsung terus sampai abad ke-14 Masehi sehingga Hukum Adat asli yang berlaku di sebagian wilayah nusantara sudah meresepsi dan mendapat pengaruh Hukum Hindu, seperti: di Jawa Timur (Majapahit), Bali, dll. Abad ke-7 M I. Masa Sebelum Kedatangan Penjajah Dari aspek sejarah perkembangan hukum di Indonesia awalnya hanya berlaku Hukum Adat yang asli beserta segenap tatanan dan kelembagaannya. Saat itu, setiap daerah memiliki sistem hukum adatnya sendiri-sendiri dengan asas dan falsafah yang dianggap benar di daerah tersebut.

11  576245_3988189546972_1258126729_n Peranan Tetua Adat (tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama) tetap diakui eksistensinya. Bahkan kedudukan mereka kemudian disebut sebagai Hakim Perdamaian Desa (Pasal 3a R.O. jo. Pasal 13 R.I.B). Pasal 3a R.O. yang diundangkan dengan Staatsblaad 1935 No. 102, menentukan: a.Perkara-perkara yang pemeriksaannya menurut hukum adat menjadi wewenang hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil tetap diserahkan kepada pemeriksaan mereka itu. b.Apa yang ditentukan dalam ayat (1), sekali-kali tidak mengurangi wewenang dari para pihak untuk setiap waktu menyerahkan perkaranya kepada hakim (dan seterusnya). c.Hakim2 yang dimaksud dalam ayat (1), mengadili menurut hukum adat, mereka tidak boleh mengenakan hukuman. Pasal 13 R.I.B., yang diundangkan dgn Staatsblad 1941 No. 44, menentukan: a.Kepala desa hendaklah berihtiar supaya penduduk desanya tetap tenteram dan rukun serta menjauhkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan perselisihan dan perbantahan. b.Perselisihan kecil-kecil yang semata-mata menyangkut kepentingan-kepentingan penduduk desa saja, sedapat- dapatnya hendaklah diperdamaikannya dengan tidak berpihak dan dengan mufakat orang tua-tua desa itu. II.Masa Setelah Belanda Menjajah Indonesia

12  Eksistensi Hakim Perdamaian Desa tetap diakui berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU No.1/DRT/1951: “Tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a R.O.”

13  III. MASA SETELAH INDONESIA MERDEKA Eksistensi masyarakat hukum asli (Desa Adat/Desa Pakraman di Bali), dengan segala perangkat dan wewenang yang ada padanya diperkuat/ diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman dan tetap diakui keberadaannya berdasarkan semangat Pasal 18 UUD 1945.

14 Istilah Desa Pakraman berasal dari kata “karaman” yang ditemukan dalam prasasti no. 303 Bwahan (916 Saka) yang dikeluarkan Raja Udayana dan Ratu Gunapriyadharmapatni, Karaman I Wingkang Ranu Bwahan. Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat, diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, mempunyai wewenang sebagai berikut:  Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.  Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada diwilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana.  Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Desa Pakraman. DESA ADAT DESA PAKRAMAN - BALI

15  DASAR HUKUM PERDAMAIAN DESA DAN ADAT

16  Inheemsche Rechtspraak (pengadilan adat atau pengadilan pribumi) dan Dorps Rechtspraak (pengadilan desa) sebagai salah satu ekspresi keberadaan hukum adat, telah ada di pulau Nusantara sejak abad ke-9. Prasasti Bulai (860 Masehi) dari Rakai Garung dari Kerajaan Sriwijaya menyebutkan tentang peradilan adat untuk perkara perdata. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat lebih memilih penyelesaian sengketa secara informal. Peradilan non-negara ini lebih dipilih karena mudah diakses, cepat, dan murah. Kelebihan lainnya adalah fleksibel, maksudnya struktur dan norma yang berlaku di sana bersifat longgar untuk menyesuaikan dengan perubahan sosial.

17  Dari sudut kasus adat yang dilakukan, perdamaian desa ini membawa beberapa aspek positif, diantaranya:  Hakim Perdamaian Desa bertindak aktif mencari fakta, meminta nasihat kepada tetua-tetua adat dalam masyarakat, putusannya diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dan putusannya dapat diterima oleh para pihak serta memuaskan masyarakat secara keseluruhan.  Pelaksanaan sanksi yang melibatkan para pihak, menunjukkan adanya tenggang rasa (toleransi) yang tinggi di antara pihak.  Suasana rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan serta integrasi masyarakat dapat dipertahankan. Dari sudut kasus adat yang dilakukan, perdamaian desa ini membawa beberapa aspek positif, diantaranya:  Hakim Perdamaian Desa bertindak aktif mencari fakta, meminta nasihat kepada tetua-tetua adat dalam masyarakat, putusannya diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dan putusannya dapat diterima oleh para pihak serta memuaskan masyarakat secara keseluruhan.  Pelaksanaan sanksi yang melibatkan para pihak, menunjukkan adanya tenggang rasa (toleransi) yang tinggi di antara pihak.  Suasana rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan serta integrasi masyarakat dapat dipertahankan.

18 Pemerintah kolonial memberikan landasan hukum pengakuan yang berbeda-beda, dengan mengeluarkan berbagai staatsblad yang berisi pengakuan pada keberadaan peradilan adat di berbagai tempat di Nusantara, antara lain: 1.Staatsblad Tahun 1881 Nomor 83 untuk Aceh Besar; 2.Staatsblad Tahun 1886 Nomor 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat); 3.Staatsblad Tahun 1889 Nomor 90 untuk daerah Gorontalo; 4.Staatsblad Tahun 1906 Nomor 402 untuk Kepulauan Mentawai; 5.Staatsblad Tahun 1908 Nomor 231 untuk daerah Hulu Mahakam; 6.Staatsblad Tahun 1908 Nomor 234 untuk daerah Irian Barat; dan 7.Staatsblad Tahun 1908 Nomor 269 untuk daerah Pasir Selanjutnya, pada tanggal 18 Februari 1932, pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad Nomor 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap peradilan adat yang disebutkan di atas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru. Pemberlakuan peraturan baru ini dilakukan secara bertahap, yaitu : 1.Untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur dimulai tanggal 1 April 1934 dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 116 dan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 340; 2.Untuk Aceh pada tanggal 1 September 1934 dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 517; 3.Untuk Tapanuli pada tanggal 1 Oktober 1934 dengan Staatsblad Tahun 1935 Nomor 465; 4.Untuk Kalimantan Barat dan Maluku pada tanggal 1 Januari 1936 dengan Staatsblad Tahun 1936 Nomor 490; 5.Untuk Bali dan Lombok tanggal 1 Januari 1937.

19 Melalui Staatsblad Tahun 1935 No. 102, disisipkan Pasal 3a ke dalam R.O., maka kedudukan peradilan desa diakui, sehingga selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 (dua) bentuk peradilan bagi orang pribumi, yaitu: peradilan adat dan peradilan desa yang tidak memiliki dasar perbedaan yang prinsipil.

20 Perkembangan selanjutnya menunjukkan terjadinya kenyataan berikut: 1.Secara diam-diam ketentuan di atas dianggap tidak berfungsi lagi, baik oleh pihak badan peradilan umum maupun oleh pihak penggugat sementara banyak Kepala Desa tidak menyadari kedudukannya selaku hakim perdamaian desa atau kalaupun menyadari, ia tidak cakap menjabatnya. 2.Pada umumnya warga desa yang bersangkutan mengajukan perkaranya langsung ke Pengadilan Negeri setempat tanpa melalui bahkan tanpa sepengetahuan Kepala Desa. 3.Peraturan perdamaian atas suatu sengketa yang menjadi wewenangnya dibuat oleh Kepala Desa tanpa menyebutkan kedudukannya sebagai Hakim Perdamaian Desa. 4.Putusan perdamaian tersebut pada umumnya kerap kali tidak memenuhi syarat materiil dan/atau formil sebagaimana telah diatur di dalam ketentuan yang berlaku bagi keputusan-keputusan perdamaian. 5.Pada umumnya desa di seluruh Indonesia tidak memiliki administrasi peradilan desa dan kalaupun ada, satu dua, dan tidak seragam. 6.Pengajuan perkara ke Pengadilan Negeri kerap kali tidak efisien. Artinya, objek yang diperkarakan atau dipersengketakan nilainya jauh lebih rendah dibandingkan dengan ongkos perkara dan biaya lainnya. 7.Biasanya tidak efektif karena menyeret orang sekampung ke meja hijau dan oleh yang bersangkutan dipandang sebagai penghinaan. Dengan demikian timbullah sebagai akibat sosial negatif, seperti: dendam, kekecewaan, dsb. 8.Pengajuan perkara ke Pengadilan Negeri kerap kali bukannya menghasilkan ketenangan, kerukunan kembali, ataupun perdamaian, melainkan permusuhan dan memberi kesempatan kepada oknum tertentu untuk menghasut salah satu pihak sebagai pokrol bambu dsb.

21 Pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan suatu susunan pengadilan-pengadilan sebagai berikut: Nama LembagaPimpinan SidangPemberlakuan 1. Peradilan Gubernemen ( Gouvernements Rechtspraak ) Hakim Pemerintah atas nama Raja/Ratu Belanda dengan tata hukum Eropa Untuk seluruh daerah Hindia Belanda. 2. Peradilan Pribumi/Peradilan Adat ( Inheemsche Rechtspraak ) Hakim Eropa dan juga Hakim Indonesia, tidak atas nama Raja/Ratu dan tidak berdasarkan tata hukum Eropa, tetapi dengan tata hukum adat yang ditetapkan oleh Residen dengan persetujuan Direktur Kehakiman di Batavia, Daerah-daerah di mana dilaksanakan Peradilan Pribumi/Peradilan Adat adalah: Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan, Sulawesi, Manado, Lombok, dan Maluku 3.Peradilan Swapraja ( Zelfbestuur Rechtspraak ) Hakim SwaprajaDi Jawa dan Madura kewenangan peradilan ini terbatas untuk mengadili kerabat Raja yang sedarah atau semenda sampai sepupu keempat dan para pegawai tinggi Swapraja dalam posisi sebagai Tergugat baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana yang ringan 4. Peradilan Agama ( Godsdienstige Rechtspraak ) Hakim Agama atau Hakim Pribumi atau Hakim Gubernemen Perkara yang menyangkut Hukum Islam 5. Peradilan Desa ( Dorpjustitie ) Hakim Desa baik dalam lingkungan peradilan Gubernemen, peradilan pribumi/ peradilan adat maupun peradilan swapraja di luar Jawa- Madura Hukum adat setempat.

22 Berdasarkan ketentuan Pasal 192 Konstitusi RIS, peraturan-peraturan tersendiri tersebut tetap berlaku sebagai peraturan-peraturan RIS sendiri, selama, dan sekedar peraturan-peraturan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh Undang-Undang atau kuasa Konstitusi RIS. Sehubungan dengan kembali pada bentuk negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950, di mana kekuasaan daerah- daerah bagian RIS, baik secara de jure maupun de facto, berada dalam kekuasaan pemerintah Republik Indonesia, maka perlu dilakukan tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan (unifikasi) susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan- pengadilan sipil dalam wilayah Republik Indonesia. Pada tanggal 13 Januari 1951 ditetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, yang berlaku tanggal 14 Januari 1951. Dengan UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka dilakukan: 1.Menghapus beberapa pengadilan/mahkamah, seperti Hot van Justitie (Mahkamah Justisi) di Makassar; Pengadilan Distrik; Pengadilan Kabupaten; Pengadilan Negorij di Maluku; Raad Distrik; Pengadilan Magistraat (pengadilan rendah); Pengadilan Kepolisian: Pengadilan Negara dan Landgerecht; serta Appelraad, yang dianggap tidak sesuai dengan susunan negara kesatuan. 2.Menghapus secara bertahap Pengadilan Swapraja ( Zelfbestuurs Rechtspraak). 3.Melanjutkan peradilan agama yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4.Menyatukan pengadilan-pengadilan sipil atau Pengadilan Negara ( Landgerecht ) dari Gubernemen yang merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk pemeriksaan dan pemutusan perkara perdata dan perkara pidana sipil menjadi atau membentuk Pengadilan Negeri.

23 Sesuai dengan ketentuan Pasal 3a R.O. jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, menentukan bahwa perdamaian desa melalui peradilan desa ataupun peradilan adat yang merupakan peradilan desa tetap dipertahankan untuk diteruskan menjalankan kewenangan, sedangkan yang dihapus hanyalah wadahnya untuk dicarikan penggantinya Adapun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 menyatakan: “ Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke Organisatie.” Namun, dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, menentukan bahwa pengadilan adat akan dihapuskan secara berangsur-angsur, akan tetapi mengenai hak dan kekuasaan yang selama ini diberikan kepada Hakim Perdamaian Desa, tidaklah dikurangi. Peranan Hakim Perdamaian Desa masih diakui oleh peraturan perundang-undangan, tetapi wadahnya dihapuskan (untuk diganti dengan wadah atau lembaga lain).

24  Sesuai dengan amanat Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, penghapusan Pengadilan Swapraja dan pengadilan adat dilakukan dalam berbagai penetapan penetapan/keputusan, yaitu:  Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 19 Maret 1951 Nomor J.S.4/8/16 yang menghapus pengadilan-pengadilan swapraja (8 buah) di seluruh Pulau Bali.  Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 Nomor J.B.4/3/17 yang menghapus pengadilan-pengadilan swapraja (57 buah) dan pengadilan adat (5 buah) di seluruh Sulawesi.  Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 Nomor J.B.4/4/7 yang menghapus pengadilan adat di seluruh Lombok.  Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 19 Maret 1954 Nomor J.B.4/2/20 yang menghapus pengadilan swapraja (49 buah) di seluruh daerah Sumbawa, Sumbawa Timor, dan Flores.  Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 Nomor J.B.4/3/2 juncto Surat Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954 Nomor J.B.4/4/20 yang menghapus pengadilan swapraja (5 buah) dan peradilan adat (1 buah) di seluruh Kalimantan.  Penetapan Menteri Kehakiman Nomor J.B.4/3/20 Tahun 1956 yang menghapus pengadilan adat di Karesidenan Bengkulu.  Keputusan Menteri Kehakiman Nomor J.B.1/4/12 Tahun 1960 yang menghapus pengadilan adat di daerah Karesidenan Palembang.  Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor J.B.1/2/18 Tahun 1962 yang menghapus pengadilan adat di seluruh daerah Jambi.  Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor J.B.1/1/21 Tahun 1964 yang menghapus pengadilan swapraja dan asli.  Undang-Undang Nomor 6/Prps/Tahun 1966 yang menghapus pengadilan adat dan swapraja di daerah Irian Barat.

25  Pada tahun 1964 diadakan suatu undang-undang yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman sebagaimana termuat dalam UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia merupakan peradilan negara ; TIDAK ADA TEMPAT pada Pengadilan Swapraja ataupun Pengadilan Adat dalam sistem peradilan di Indonesia Namun, di sisi lain negara menganjurkan penyelesaian sengketa dalam masyarakat melalui lembaga perdamaian atau perwasitan. Artinya, eksistensi lembaga Perdamaiann Desa tetap diakui dan dipertahankan dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1964. Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 1964 menyatakan: “Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara, yang ditetapkan dengan undang-undang.”

26  UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Secara eksplisit kedudukan Kepala Desa sebagai Hakim Perdamaian Desa diakui dihubungkan dengan tugasnya sebagai Kepala Desa di bidang ketentraman dan ketertiban. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Menentukan salah satu tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah mendamaikan perselisihan masyarakat di desa. Peranan Kepala Desa bukan hanya mengurusi soal-soal pemerintahan, melainkan juga mempunyai tugas, kewajiban, dan wewenang untuk menyelesaikan perselisihan atau mendamaikan kedua belah pihak dari warganya yang bersengketa dengan dibantu oleh lembaga adat desa atau dengan membentuk peradilan desa Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa Salah satu tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, dengan dibantu oleh lembaga adat desa UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Tidak secara eksplisit mengakui eksistensi peradilan desa atau perdamaian desa. Namun, dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa tetap mengakui eksistensi peradilan desa atau perdamaian desa dalam mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, dengan dibantu oleh lembaga adat desa. Peranan Kepala Desa Sebagai Hakim Perdamaian Desa

27 UUD 1945 telah mengakui penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dengan segala kelembagaannya. Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 (yang belum diubah) merupakan generasi pertama, di mana pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa untuk menopang pemerintahan Republik. Perubahan Kedua UUD1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 memberikan aturan yang lebih luas tentang masyarakat adat dibandingkan dengan UUD1945 generasi pertama. Dikatakan lebih luas karena di samping meneguhkan aturan pemerintah masyarakat adat yang istimewa, juga diatur secara deklaratif:

28 Kemudian dalam beberapa undang-undang yang dibuat pasca Orde Baru masih konsisten untuk mengerem progresivitas masyarakat adat lewat persyaratan-persyaratan sebagaimana dalam ketentuan:  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Demikian pula dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD1945 (yang diubah) menyatakan: “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Urgensi pengakuan, penghormatan, dan pemajuan peradilan adat serta memasukkannya ke dalam sistem hukum di Indonesia adalah sebuah langkah pasti menuju peran peradilan yang menyediakan keadilan secara substantif.

29

30


Download ppt " ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTIONS ( ADR ) , Sejarah perkembangan ADR dalam masyarakat tradisional di indonesia"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google