Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Pendekatan Filosofis Dalam Studi Islam.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Pendekatan Filosofis Dalam Studi Islam."— Transcript presentasi:

1 Pendekatan Filosofis Dalam Studi Islam

2 terminologi Philo = cinta pada kebenaran, ilmu, dan hikmah.
Filsafat= mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman2 manusia (al-Syaibani,1979:25) Filsafat=berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dlm rangka mencari kebenaran,inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yg ada (Sidi Ghazalba, 1967: 35) Contoh: ada banyak pulpen dng gaya dan kwalitasnya: intinya untuk menulis. Ada banyak artsitektur rumah dan ukurannya. Intinya untuk tempat tinggal.

3 Louis O Kattsoff, kegiatan kefilsafatan adalah merenung secara:
Mendalam: dilakukan sedemikian rupa hinga dicari sampai ke batas akal tidak sanggup lagi Radikal: sampai ke akar-akarnya hingga tidak ada lagi yang tersisa Sistematik: dilakukan secara teratur dng menggunakan metode berfikir tertentu Universal: tidak dibatasi hanya pada satu kepentingan kelompok tertentu, tetapi menyeluruh

4 Manfaat: Agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Seseorang dapat memberi makna thd sesuatu yg dijumpainya dan mengambil hikmah shg ketika melakukan ibadah ia tidak akan kekeringan spiritualitas yg menimbulkan kebosanan. So…tlh muncul filsafat hukum Islam, filsafat sejarah, dll.

5 Hikmatu tasyri’ wa falsafatuh: karya al-Jurjani
Mengungkap hikmah di balik ajaran agama Islam. Salat berjamaah: agar seseorang merasakan hikmahnya hidup berdampingan dengan orang lain Puasa:seseorang dapat merasakan lapar dan selanjutnya merasa iba kepada sesamanya yang kekurangan Tawaf: mengandung makna hidup harus penuh dinamika yang tak kenal lelah, namun tertuju sbg ibadah kepada Allah Sa’i: lari-lari kecil mengambakan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus mencoba. Mulai dari bukit sofa yang artinya bersih, sampai ke bukit marwah yang artinya berkembang. Hidup harus berniat bersih hingga memperoleh keberkahan

6 Filosofis vs formalistik?
Dgn pendekatan filosofis, seseorang tidak terjebak dlm peribadatan formalistik (mengamalkan agama dgn payah tapi unmeaningfull). Pak haji, salat rajin. Tetapi, pendekatan filosofis yang esoteris itu (batin) tidak berarti menafikan segi eksoterik (formal) ‘gerakan eling’ berarti menyimpang dari pendekatan filosofis

7 sebagai masalah kebudayaan
Aplikasi Tafsir al-Qur’an sebagai masalah kebudayaan (Kajian Filosofis) Oleh: Imam Mukhsin Jurnal Tsaqafiyat vol 8. No.2 Juli-Desember 2007

8 Sistematis: Teori kebudayaan: Van Peursen
Kasus Fenomena glorifikasi tafsir mainstream dan penolakan thd tafsir marjinal. Bagaimanakah kita memikirkannya secara mendalam, radikal, sistematis, dan universal? Sistematis: Teori kebudayaan: Van Peursen

9 Reading Guide Apakah relasi tafsir dan kebudayaan?
Bila tafsir mrpk fenomena kebudayaan, bgm menentukan otentisitas dan validitasnya? Instrumen penafsiran ada 3; nash, intuisi dan akal. Bgm hasil dr implementasi ketiganya dlm menentukan corak tafsir? Tahap mitis, apa tu? Tahap ontologis, gmn maksudnya? Tahap fungsionil, jelaskan dunk?

10 Pendahuluan Tafsir al-Qur’an mrpk hasil kerja akal;potensi dasar terpenting yg dimiliki manusia sbg pembentuk kebudayaan. Ia lahir dr seorang mufassir stlh membaca dan memahami ayat-ayat al-Qur’an. Gagasan itu ditranskripsikan dlm bentuk tulisan.baik gagasan maupun tulisan hasil transkripsinya itu mrpkn wujud dr kebudayaan ideal

11 Pendekatan Tafsir al-Qur’an dlm perspektif perkembangan kebudayaan dibagi dalam tiga tahap:
Pertama tahap mitis; penafsiran yang menempatkan al-Qur’an sbg ‘kekuatan gaib’ dan hanya dapat didekati oleh orang-orang yang berkekuatan gaib (tafsir bil ma’tsur) Kedua tahap ontologis; penafsiran di mana seorang mufassir memiliki kemandirian dalam menetapkan suatu ajaran atau teori tentang riyadah keruhanian bagi dirinya sendiri, dengan itu ia dpt sampai kepada dasar hakekat makna a-Qur’an tetapi tertutup dari pengaruh lingkungan luarnya, (tafsir bil isyari) Ketiga tahap fungsionil; penafsiran dimana seorang mufassir tidak lagi terbelenggu lingkaran obyek (al-Qur’an) dan tidak pula tertutup dari pengaruh luar yang melingkarinya, melainkan bersifat mandiri sekaligus terbuka terhadap obyek dan berbagai pengaruh di luar dirinya. (tafsir bil ra’yi).

12 Pembahasan Al-Qur’an Kalam Allah (kumpulan wahyu illahi yang memuat pesan suci Tuhan yg bernilai absolut) Kitab Allah (himpunan hikmah dan kebenaran tuhan yang ‘membumi’ untuk menuntun manusia) Ia tidak diturunkan sebagai representasi kehidupan ‘langit’ yang kudus dan tidak terjangkau-meski dlm batas tertentu ia suci- Ia hadir sebagai sumber nilai dan norma kehidupan ‘bumi’ yg riil dan profan (ditandai dng asbab nuzul) (ada pendapat) Wacana al-Qur’an bersifat antroposentris dan bukan teosentris

13 Jadi, al-Qur’an tidak hanya dipahami pada dataran ‘terminologis teologis’
Tetapi juga harus dipahami pada dataran ‘terminologis antropologis-sosiologis

14 Fenomena Kebudayaan dlm Tafsir al-Qur’an
al-fasr = menyingkap sesuatu yg tertutup Tafsir = menjelaskan makna yg dikehendaki oleh kata yg sulit/penyingkapan makna-makna yg blm jelas. Penampakan makna yg dpt dipahami dng akal (kerja akal) Tafsir mrpkn sistem pengetahuan yg berhub dgn al-Qur’an. Hal ini smkn mempertegas esksitensi tafsir, baik proses maupun produk, sbg fenomena kebudayaan.

15 Instrumen penafsiran Nash (tafsir bil riwayah) Intuisi (bil isyari)
Akal (bil ra’yi) Pemakaian nash menempati derajat tertinggi, krn menyangkut aspek kualitatif (otentisitasnya) Tapi tdk rigit, bahkan saling sapa antar ketiganya (Cuma kadarnya yg berbeda)

16 Tafsir bil riwayah Pendekatan nash bertolak dr pandangan bhw Q hrs dipahami berdasarkan panduan Q sendiri, penjelasan Rasul serta para sahabat.

17 Tahap mitis (tafsir bil ma’sur)
Sikap manusia yg merasakan dirinya terkempung oleh kekuatan gaib di sekitarnya. Dlm proses penafsiran seorang mufassir sbg subyek tdk memiliki kemandirian. Ia terpengaruhi dan berpartisipasi dengan, serta dilingkupi oleh, daya kekuatan di luar dirinya, yaitu riwayat yg terdiri dr Q, Rasul, dan Sahabat/tabiin. Mufasir dan kekuatan riwayat melebur, shg ia belum memiliki individualitas yg utuh.

18 Tahap ontologis (bil isyari)
Mufassir melakukan pentakwilan thd ayat-ayat yg menyalahi ketentuan zahir ayat. Ia berusaha mengemukakan isyarat-isyarat tersembunyi yg nampak olehnya stlh melakukan berbagai latihan ruhani (riyadlah). Terdapat jarak yg tegas antara mufasir dgn Q. Ia berada di luar tp tdk jauh.

19 Tafsir bil ra’yi Menggunakan akal sbg instrumen untuk memperoleh ‘kebenaran’, terjadi hubungan timbal balik antara mufasir sbg subjek dan al-Qur’an sbg objek. Sebab tafsir bil ra’yi adalah penjelasan mengenai al-Qur’an dengan jalan ijtihad.

20 Tahap fungsionil Tahap di mana manusia ‘ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan baru thdp segala sst dlm lingkungannya. Mufassir bersifat mandiri sekaligus terbuka thdp obyek dan berbagai pengaruh di luar dirinya.

21 Antara mufassir dan al-Qur’an dapat saling menyapa, dan ini terjadi dlm hubungan dialektis fungsional. Mufassir harus menyapa al-Qur’an terlebih dahulu utk menemukan nilai-nilai yg dpt diterapkan dlm kehidupan masyarakat, di saat lain; Al-Qur’an yg menyapa mufassir melalui pesan-pesan moral universalnya. Dalam tahap ini, proyeksi penafsiran al-Qur’an yg dilakukan seorang mufasir harus dpt memenuhi kebutuhan masyarakat yg berkembang dan berubah. Di sinilah adagium yang menyatakan bahwa al-Qur’an salihun likulli zaman wa makan dpt menemukan makna dan relevansinya.


Download ppt "Pendekatan Filosofis Dalam Studi Islam."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google