Oleh PENEGAKKAN HUKUM TERKAIT PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI KAB. BANYUMAS Oleh AKBP GIDION ARIF SETYAWAN, S.Ik., S.H., M.Hum. KAPOLRES BANYUMAS PURWOKERTO , November 2015
SEJARAH HARAPAN KITA BERSAMA 2 2
PENDAHULUAN Indonesia merupakan sebuah negara yang berdasar kepada Pancasila, dimana pada sila pertama menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Indonesia memang mengakui dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, namun Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara Pancasila. 3
Semua agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia memiliki kedudukan yang sama dan ada jaminan mengenai kebebasan beragama, sehingga agama mempunyai kedudukan yang terhormat dan dengan demikian kepentingan agama perlu dilindungi, diikuti juga dengan pengaturan yang menyangkut kehidupan keagamaan. 4
Norma hukum yang memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap agama telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dalam Pasal 28E, Pasal 28I, dan Pasal 29 sebagaimana berikut : Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan ibadat menurut agamanya. Pasal 28I ayat (1) “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” Pasal 29 ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. 5
Negara berdasar atas Kertuhanan Yang Maha Esa. Atas dasar Norma Hukum Konstitusi tersebut yang mengatur mengenai agama merupakan mandat yang berisi jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap agamanya yaitu : Negara berdasar atas Kertuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. Bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Menjujung nilai-nilai agama. Hak agama sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangii dalam keadaan apapun. 6
Disamping jaminan perlindungan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah juga mengaturnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan atau penistaan terhadap agama sebagaimana tercantum dalam pasal 156a. Dalam perkembangannya orang yang melakukan tindak pidana terhadap penodaan agama tidak terfokus pada tindak pidana tersebut saja namun ada ekses lain yang berkembang timbulnya tindak pidana yang lain karena adanya sekelompok masyarakat yang tidak puas dengan putusan hakim sehingga melakukan pengrusakan terhadap fasilitas umum, pembakaran kendaraan aparat, melakukan pencurian dan lain sebagainya. 7
Juga yang terjadi pada akhir-akhir ini yang berkembang di masyarakat dan dianggap oleh masyarakat sebagai aliran sesat karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang sebenarnya sehingga memicu masyarakat untuk membubarkan bahkan bertindak anarkis. Kasus yang sering timbul yaitu tentang sengketa pendirian tempat ibadah yang dapat memicu konflik antar umat beragama. Karena bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, sehingga masyarakatnya memeluk berbagai macam agama yaitu agama Islam, Nasrani, Hindu dan Budha serta ada aliran kepercayaan yang lain yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. 8
Untuk mencegah terjadinya suatu konflik tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri membuat peraturan bersama No 8 Tahun 2006 dan No 9 Tahun 2006 yang berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. 9
Bagaimana pemerintah dalam hal ini Polri untuk melakukan penegakan hukum agar tidak terjadi perpecahan antar umat beragama apabila terjadi konflik yaitu dengan menggunakan jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non penal” (diluar hukum pidana) 10
FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB KONFLIK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA PEMBAHASAN FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB KONFLIK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Bahwa negara Indonesia berlandaskan Pancasila, dimana sesuai dengan sila ke satu berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa yang dijabarkan dalam rumusan Pancasila butir ke satu yaitu : Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. 11
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yanag Maha Esa. 12
Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. g. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. 13
Kehidupan umat beragama juga diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai mana tercantum dalam : Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan ibadat menurut agamanya. Pasal 28I ayat (1) “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” Pasal 29 ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. 14
Bebas memeluk agama dan ibadat menurut agamanya masing-masing. Dari uraian tersebut diatas sudah jelas bahwa Negara memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warga negara untuk : Bebas memeluk agama dan ibadat menurut agamanya masing-masing. Sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 15
Untuk tetap terpeliharanya kerukunan umat beragama, Pemerintah telah membuat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 2006 dan No. 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Dengan adanya landasan hukum yang kuat yang mengatur tentang kehidupan umat beragama di Indonesia dan harus ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia, seharusnya tidak terjadi adanya konflik warga sesama umat beragama atau konflik antar umat beragama yang bisa merusak kerukunan umat beragama. Hal tersebut bisa terjadi karena : 16
Pemahaman mengenai Pancasila sudah mulai luntur karena sekarang sudah tidak ada lagi penataran P4 yang dulu diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia. Timbulnya aliran sesat yang dianggap sebagian besar umat Islam ajarannya menyimpang dari ajaran agama Islam yang sebenarnya. Kurangnya pemahaman terhadap hukum dan lebih patuh terhadap tokoh agama yang dianut. Pendirian tempat ibadat yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan sehingga mendapat protes dari warga masyarakat. 1 2 3 4 17
Adanya perbuatan yang dianggap sebagai penistaan atau penodaan terhadap agama sehingga dapat menimbulkan konflik antar umat beragama yang berakibat merusak kerukunan umat beragama. Ketentuan peraturan yang ada hanya dipahami oleh tokoh-tokoh agama tertentu saja sehingga masyarakat tidak memahami karena kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat. 5 6 18
2. PENEGAKKAN HUKUM TERHADAP KASUS YANG TERJADI UNTUK MENJAGA TETAP TERPELIHARANYA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI BANYUMAS. Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, dimana prinsip negara hukum dilihat dari aspek pelaksanaan hukum mengandung arti yaitu segala tindakan pemerintah dan tindakan masyarakat harus selalu sesuai dengan hukum yang berlaku ( DR. Kusnu Goesniadhie S., S.H., M.Hum ). 19
Bangsa Indonesia menganut aliran positivisme dan azas legalitas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. Jadi seseorang tidak boleh dipidana atau dihukum kalau tidak ada undang-undang atau peraturan yang dilanggar. Penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri harus seimbang dengan keamanan dan ketertiban masyarakat yaitu apabila melakukan penegakan hukum tidak boleh timbul permasalahan baru dengan kerugian yang lebih besar. Untuk itu penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri dengan menggunakan dua jalur yaitu lewat jalur “penal (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/diluar hukum pidana). 20
Penegakkan hukum lewat jalur penal (hukum pidana). Apabila ada masyarakat yang melakukan tindak pidana atau pelanggaran hukum, maka Polri dalam melakukan penegakkan hukum dengan menggunakan hukum pidana formil dalam hal ini menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan hukum pidana materiil dalam hal ini menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal yang diterapkan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan keagamaan yaitu : Pasal 156a KUHP yaitu tentang penodaan agama. Pasal 175 KUHP yaitu tentang merintangi suatu pertemuan umum agama yang tidak terlarang. Pasal 176 KUHP yaitu tentang sengaja mengganggu dengan mengadakan hura-hura membuat gaduh sesuatu pertemuan agama umum yang tidak terlarang. Pasal 170 KUHP yaitu dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang. Pasal 351 KUHP yaitu tentang penganiayaan, dan Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Pasal 338 KUHP yaitu sengaja menghilangkan nyawa orang lain Pasal 2 ayat (1) Undang –undang Darurat no 12 tahun 1951 ttg Penyalahgunaan Senjata Tajam 21
Penegakkan hukum lewat jalur non penal (bukan/diluar hukum pidana). Tidak semua tindak pidana yang terjadi harus diselesaikan lewat jalur penal, namun ada yang diselesaikan lewat jalur non penal walaupun unsur-unsur pidananya terpenuhi. Polri dalam melakukan penegakkan hukum mempertimbangkan aspek keamanan dan ketertiban masyarakat yaitu dalam melakukan penegakkan hukum tidak menimbulkan permasalahan baru dan menimbulkan kerugian yang lebih besar. 22
Melakukan koordinasi dengan pejabat pemerintah setempat. Dalam menyelesaian lewat jalur non penal kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : Memanfaatkan Forum Kerukunan Umat Beragama yang telah terbentuk dimasing-masing Kabupaten. Melakukan koordinasi dengan pejabat pemerintah setempat. Melakukan koordinasi dengan tokoh agama maupun tokoh masyarakat setempat. Mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa. 23
KESIMPULAN Dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama di Banyumas, Polri pada saat melakukan penegakkan hukum dengan menggunakan jalur penal (hukum pidana) yaitu memproses tersangka sampai ke sidang pengadilan. Dan menggunakan jalur non penal (bukan/diluar hukum pidana) yaitu lebih mengedepankan musyawarah dan mufakat karena penegakkan hukum yang dilakukan harus seimbang dengan keamanan dan ketertiban. 24
Bersama Polri Membangun Kondusifitas di Wilayah Banyumas 25