Soe D’Atmadji Menulis Artikel Opini Disusun untuk kalangan sendiri, tidak untuk disebarluaskan
Definisi Sebagian surat kabar menyebut artikel opini dengan istilah “opini” saja. Sebagian lainnya menggunakan istilah “artikel” saja. Masalahnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “artikel” didefinisikan sebagai tulisan yang dimuat di surat kabar atau majalah. Jadi semua tulisan di surat kabar dan majalah, termasuk berita, bisa disebut artikel. Opini, masih menuruit KBBI, disinonimkan dengan pendapat, pikiran, atau pendirian
Karena itu, saya lebih suka pakai istilah artikel opini Karena itu, saya lebih suka pakai istilah artikel opini. Ada yang mengartikan artikel opini sebagai jenis tulisan yang berisi gagasan, ulasan, atau kritik terhadap persoalan yang berkembang di masyarakat, biasanya ditulis dengan bahasa ilmiah populer. Intinya, artikel opini adalah tulisan yang berisi pendapat penulis tentang data, fakta, fenomena, atau kejadian tertentu dengan maksud dimuat di surat kabar atau majalah (bahwa tulisan itu akhirnya gagal dimuat di surat kabar, itu soal lain kan.....)
Bentuk Ada yang menggambarkan “bentuk” artikel opini dengan menyebut empat hal: judul, alinea pembuka (lead), alinea penjelas (batang tubuh), dan alinea penutup (ending). Soalnya, kalau gambaran ini yang dipakai, orang mungkin menganggap artikel opini cukup berisi judul plus tiga alinea. Padahal, hampir pasti tidak ada artikel opini yang hanya terdiri atas tiga alinea. Karena itu, saya lebih suka menggambarkan artikel opini sebagai “skripsi mini”. Sebab, semua unsur dalam skripsi biasanya juga bisa ditemukan dalam artikel opini. Sebut saja latar belakang dan rumusan masalah (tema), kerangka teori (rujukan/referensi), hipotesis (arah/sikap penulis artikel opini), dan pembahasan (dalam skripsi biasanya berupa hasil penelitian, dalam artikel opini berupa ide/pendapat penulis).
Bedanya, dalam artikel opini, unsur-unsur itu mungkin hanya muncul satu kalimat hingga beberapa paragraf. Latar belakang, masalah, misalnya., dalam skripsi umumnya ditampilkan hingga beberapa halaman. Dalam artikel opini, bagian ini mungkin hanya ditulis beberapa kalimat. Bahkan, mungkin saja hanya satu kalimat. Sebuah skripsi tak jarang terdiri atas beberapa puluh, bahkan ada yang ratusan, halaman. Artikel opini, meski memiliki semua unsur dalam skripsi, biasanya hanya terdiri atas 4-8 halaman spasi ganda.
Langkah demi Langkah Mula-mula, tema. Seperti saat hendak menyusun skripsi, tidak mungkin menulis artikel opini tanpa tema. Jadi, mula-mula harus ditetapkan tema apa yang akan kita angkat dalam artikel opini kini. Setelah menetapkan tema, penulis artikel opini biasanya perlu memilih angle. Sebab, tema yang ditetapkan biasanya masih terlalu luas untuk bisa ditulis dalam beberapa halaman. Angle diperlukan agar tulisan kita lebih tajam, fokus, dan tidak melebar kemana-mana. Sekadar contoh, kita hendak menulis longsor yang mengubur ratusan rumah di Banjarnegara. Untuk mengupas tema itu, seratus halaman mungkin tidak akan cukup. Jadi, harus dipilih angle yang lebih sempit. Misalnya, kenapa longsor terus terjadi, siapa yang bertanggung jawab, apa yang bisa dilakukan warga agar tidak menjadi korban, dan seterusnya. Yang perlu diperhatikan saat memilih angle adalah kompetensi kita dan ketersediaan referensi. Tulisan kita akan lebih bernilai bila kita menguasai angle yang kita pilih. Kita juga akan lebih mudah menyusun artikel opini yang menarik bila tersedia cukup referensi yang mendukung ide kita.
Langkah berikutnya, mengumpulkan referensi. Bisa dibilang, mengumpulkan referensi merupakan langkah utama dalam menulis artikel opini, bahkan segala jenis tulisan lainnya. Sebab, penulis top pun akan kesulitan menghasilkan karya menarik tanpa cukup referensi. Kita tidak mungkin tahu segalanya kan. Referensi ini bisa berupa buku, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, majalah ilmiah, hasil penelitian, dan sumber-sumber lain. Yang penting, sumber referensi kita itu harus reputable, terpercaya, baik secara ilmiah maupun akademis. Lalu, tertapkan arah tulisan kita. Ini seperti hipotesis dalam skripsi. Berdasar referensi yang terkumpul, penulis menetapkan ke mana bahasannya akan diarahkan. Tapi, proses ini bisa dibalik, penulis menetapkan arah bahasan dulu, baru mengumpulkan referensi yang mendukung. Cara pertama, mengumpulkan referensi dulu baru menetapkan arah tulisan, biasanya lebih mudah. Kini, kita siap menulis artikel opini kita. Soal ini baca kembali Menulislah, Itu Kuncinya yang sudah Anda download sebelumnya.
Wajib Diperhatikan Aktualitas Tema. Menurut KBBI, aktual diartikan (1) betul-betul ada (terjadi); (2) sedang menjadi pembicaraan orang banyak (peristiwa dsb); (3) hangat (berita) Dalam kaitan tema artikel opini, definisi yang pas sepertinya “sedang atau akan menjadi perbincangan atau pusat perhatian khalayak”. Akan? Tidak perlu heran. Ada kok tema yang aktualitasnya bisa diperkirakan bakal terjadi. Misalnya, pada 21 April, tema emansipasi perempuan biasanya aktual. Demikian pula, pada Hari AIDS Sedunia, Hari Buruh, Hari Lingkungan Hidup, tema itu biasanya dianggap aktual. Aktualitas tema juga bisa diperkirakan berdasar agenda. Misalnya, bila akan ada munas partai politik, kongres menteri-menteri ASEAN, Earth Summit, dll, tema tentang itu biasanya aktual menjelang hari H. (Bagi penulis pemula, yang biasanya belum punya cukup data dan referensi, menulis tema aktual jenis kedua lebih mudah. Sebab, ada cukup waktu untuk menyiapkan bahan tulisan). Orisinalitas Ide Ini bukan sekadar tidak menjiplak tulisan orang lain. Orisinal di sini berati sesuatu yang baru, belum pernah diungkapkan orang sebelumnya. Makin orisinal bahasan kita, makin tinggi nilai artikel opini yang kita tulis.
Nama/Kompetensi Dalam menentukan tulisan mana yang akan dimuat, redaktur halaman opini biasanya sangat memperhatikan nama penulis. Gelar biasanya jadi acuan. Tapi, urusannya lebih pada kompetensi. Profesor ilmu kedokteran pun akan dianggap tidak kompeten bila dia menulis artikel opini tentang jembatan layang. Jabatan publik, misalnya seorang menteri, biasanya juga lebih disukai. Maklum, itu berkaitan dengan prestise, gengsi. Seorang profesor, atau menteri, tentu tidak mau menulis di media massa dengan repurasi kurang bagis. Jadi, bila ada profesor atau menteri mengirimkan artikel opini karyanya ke media tertentu, itu bisa dianggap pengakuan atas reputasi media tersebut. Pertanyaannya, tentu, bagaimana dengan penulis pemula? Kalau nama demikian diperhitungkan, penulis pemula pasti tidak kebagian tempat? Jawaban atas pertanyaan itu hampir selalu “ya”. Tapi, jangan berkecil hati dulu. Selalu ada perkecualian kan. Bagi penulis pemula, kuncinya adalah produktivitas, kegigihan, dan orisinalitas. Asal Anda rutin mengirim tulisan ke media tertentu, misalnya seminggu sekali, dan tulisan Anda menunjukkan tren menbaik dari hari ke hari, redaktur halaman opini akan terbujuk untuk memuat tulisan Anda, sekalipun kualitas tulisan Anda masih sedikit dibawah standar media tersebut. Demikian pula, bila tulis Anda terbukti orisinal, belum pernah ditulis orang, nama umumnya menjadi kurang penting.
Kecepatan Peristiwa yang diberitakan hari ini di surat kabar tak jarang langsung muncul artikel opininya di koran yang sama esok hari. Itu kan berarti si penulis telah mengirimkan tulisannya pada hari yang sama dengan tanggal pemuatan berita tersebut. Jadi, kalau Anda baru menulis tema itu dua hari kemudian, kans untuk dimuat pasti hampir nol. Jadi, kecepatan menentukan dimuat tidaknya artikel opini Anda. Itu berkaitan dengan kompetensi dan referensi. Kuncinya, banyak membaca dan mengamati. Seorang yang menguasai bidang konstruksi jembatan, misalnya, akan dengan mudah menulis artikel opini saat ada peristiwa jembatan runtuh. Hal serupa berlaku bagi penulis yang banyak membaca. Dengan telah membaca banyak buku, artikel ilmiah, dan tulisan-tulian lain, tahap mengumpulkan referensi bisa dilalui. Sebab, dia sudah punya referensi itu. Jadi, saat muncul perintiwa yang jadi perbincangan (tema aktual), dia bisa langsung menulisnya.
Haram Dilakukan Mengirim tulisan ke dua penerbitan sekaligus. Perilaku begitu jelas tidak etis. Kalau sampai terjadi artikelnya muncul di dua penerbitan pada hari yang sama, amat mungkin dia akan di-black list dua penerbitan tersebut hingga jangka waktu yang cukup panjang. Karena itu, sebaiknya cabut dulu tulisan yang sudah dkirimkan ke surat kabar tertentu sebelum mengirimkannya ke surat kabar lain. Kalau itu sudah dilakukan, bukan salah penulis bila masih terjadi pemuatan di dua media berbeda. Tidak mencantumkan nama sumber yang dikutip. Ini persoalan etis yang sering diabaikan penulis pemula. Mungkin dia menganggap lebih keren bila kutipan, yang menurut dia hebat, dianggap sebagai idenya. Padahal, sebuah artikel tanpa referensi justru dianggap kurang bernilai. Belum lagi kalau ketahuan beberapa ide dalam tulisan tersebut telah lebih dulu diungkapkan orang lain. Kredibilitas si penulis akan menurun drastis. Menjiplak tulisa orang lain. Yang ini bisa dibilang ini dosa terbesar bagi penulis apa pun. Kalau sampai tulisan penulis itu dimuat di salah satu surat kabar lalu ada yang menunjukkan bahwa tulisan itu jiplakan, hampir pasti dia akan di-black list selamanya di koran tersebut.