Mendekonstruksi Mitos – Mitos Masa Kini (Hoed, Benny, 2011 : 119 – 125)
Mitos dan Dekonstruksi Roland Barthes dalam bukunya Mythologies, mengemukakan dua pemikiran pokok : Melakukan kritik ideologi atas bahasa budaya massa Melakukan pembongkaran semiologis atas Bahasa tersebut untuk memahami dasar pemaknaan yang sudah “mengakar” atas fenomena budaya Perancis. Teori tentang mitos diterangkan melalui konotasi, yakni pengembangan segi signifie (petanda, “makna”) oleh pemakai bahasa.
Pada saat konotasi menjadi mantap, itu akan menjadi mitos Pada saat konotasi menjadi mantap, itu akan menjadi mitos. Ketika mitos menjadi mantap, itu akan menjadi ideologi. Jadi banyak fenomena budaya dimaknai dengan konotasi. Jika menjadi mantap, makna fenomena itu menjadi mitos dan kemudian ideologi. Dekonstruksi merupakan konsep Jaques Derrida, dalam bukunya De la grammatologie I dan II.
Teori dekonstruksi merupakan kritik terhadap Ferdinand de Saussure Teori dekonstruksi merupakan kritik terhadap Ferdinand de Saussure. Bagi Derrida, teori tentang tanda dari Saussure bersifat statis, yakni melihat tanda sebagai hubungan antara significant (penanda, “bentuk”) dan signifie (petanda, “makna”). Makna tanda didasari oleh perbedaan semiologis. Dalam kenyataannya, hubungan signifiant dan signifie dinamis. Hubungannya sering “ditunda” dan diberi makna baru. Argumen ini diperkuat dengan konteks Bahasa perancis, kata differer tidak hanya berarti “berbeda”, tetapi juga “menunda”.
Hubungan antara penanda dan petanda, antara bentuk dan makna bersifat dinamis. Makna tidak sekedar diperoleh dari “perbedaan”, tetapi juga “penundaan” semiologis. Oleh karena itu, Derrida mengetengahkan istilah differance (mengganti hurud e dengan huruf a), yang mencakup makna “berbeda” dan “menunda” sekaligus.
Beberapa Fenomena Budaya : Pendekatan Barthes dan Derrida Gotong – royong : Merupakan tradisi bertahun – tahun Denotasi ; bekerjasama dan saling membantu untuk mengerjakan sesuatu, khususnya sesuatu yang bermakna sosial. Misal ; membangun masid, pembuatan jalan desa, pemadaman kebakaran. Konotasi : kewajiban membantu tetangga yang sedang kesusahan. Konotasi kedua, Kewajiban bekerja untuk memperbaiki prasarana di desa.
Jika menggunakan teori dekonstruksi, maka akan kita lihat penundaan relasi antara gotong – royong sebagai significant dan makna denotatifnya sebagai signifie. Penundaan itu memberi kesempatan bagi para pengguna kata gotong – royong untuk memberi makna (konotasi) sesuai dengan pengalaman masing – masing. Gotong royong dimaknai sebagai “kewajiban berterima”. Kita melihat di desa ada pembayaran uang pengganti untuk mereka yang tidak dapat ikut bergotong-royong. Gotong-royong, tidak jarang dimaknai sebagai semacam “kerja paksa” yang kalau dilanggar dapat memberi akibat pengucilan dan hukuman.
2. Bangsa yang ramah – tamah Tradisi lisan mengenal kata ramah – tamah yang dilekatkan pada sifat bangsa kita - mitos. Setelah reformasi, mitos ini luntur. Tawuran sudah menjadi bagian dari tradisi lisan baru (bentrokan SARA). Mitos bangsa yang ramah – tamah sedang berproses menjadi mitos bangsa yang suka berkelahi. Perkembangan budaya masyarakat memperlihatkan in-groupness menjadi menonjol.
3. Aja Dumeh “jangan mentang – mentang” (aja dumeh), tradisi lisan yang berkembang. Denotatif ; jangan mentang – mentang, jangan sombong Sudah menjadi mitos, karena sudah dipandang sebagai cara yang baik dalam masyarakat. Mitos ini mengalami perubahan di kalangan tertentu. Misal – eksekutif muda / yuppies memaknainya ; harus berani menonjolkan kemampuan diri dan harus memiliki kebanggaan akan diri sendiri.
Bagi yang memegang mitos “lama” aja dumeh, mitos di kalangan eksekutif muda sebagai sesuatu yang buruk. Generasi baru di kota dan kalangan bisnis, sedang mendekonstruksi aja dumeh yang memberi makna “tidak boleh maju” dan “tidak boleh menonjolkan diri”. Ini menyebabkan aja dumeh menjadi tidak berterima, karena menghambat kemajuan dalam masyarakat perkotaan
4. Reformasi dan civil society Reformasi, tradisi lisan baru. Makna denotasi ; perubahan radikal) untuk perbaikan di bidang sosial, politik, ekonomi, atau agama di suatu masyarakat / negara. Reformasi menjadi bagian tradisi lisan “baru” dan pegangan moral dan harapan hidup masyarakat Indonesia. Reformasi dewasa ini, memperolah konotasi “tindakan mengutuk orde baru”, pergantian kekuasaan, perubahan kebijakan, boleh berbuat sesukanya. Boleh mengkritik pemerintah, aparat, atasan serta melakukan pembalasan terhadap pejabat dari jaman Orba.
Reformasi seringkali berpasangan dengan demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif “kebebasan” dan keberanian melawan kekuasaan”. Kata ini sering berpasangan dengan civil society = masyarakat yang tidak dikuasai militer, masyarakat yang dikuasai oleh sipil. Sipil menguasai militer dan militer hanya alat negara dan berada di bawah kekuasaan pemerintah sipil. Dekonstruksi atas mitos tersebut banyak dilakukan agar makna “perbaikan” dan “sama rasa sama rata” serta “kepatuhan terhadap etika dan hukum” dapat menggantikan mitos buruk yang berkembang dari konotasi salah kaparah itu.
5. Mahasiswa Kekuatan Moral dan Harapan Bangsa Hal tersebut menjadi mitos. Mitos tersebut terancam pudar Alasannya banyak perilaku mahasiswa yang berubah dan sering terbawa oleh arus permainan politik, narkoba atau tawuran Makna mitis ‘generasi penerus dan calon pemimpin’, sedang terancam berubah menjadi ‘lost generation’ yang tidak lagi punya kekuatan moral. Beragam peristiwa yang memberikan citra buruk pada mahasiswa, dapat membuat kita mendekonstruksi mitos yang bertahun hidup di masyarakat.
Memahami Kode Kode Kebudayaan (Piliang, 2012 : 354 - 359)
Analisis semiotik kebudayaan, beroperasi pada dua jenjang analisis : Pertama, analisis tanda secara individual ; jenis tanda, struktur tanda, kode tanda, relasi antar tanda, dan makna tanda secara individual. Kedua, analisis tanda sebagai kelompok atau kombinasi. Kumpulan tanda yang membentuk sebagai teks.
Analisis Produk Kebudayaan dengan Semiotik Struktural dalam konteks cultural studies : Semiotika Iklan, beberapa poin penting : Iklan merupakan objek kebudayaan sentral dalam masyarakat informasi kapitalistik. Intens menggunakan tanda dan citra visual Fungsi komunikasi langsung ; pesan perusahaan lembaga tertentu. Pesan merupakan unsur utama
Metode analisis semiotik dikembangkan oleh ; Gillan Dyer,Torben Vestergaard dan Judith Williamson. Judith Williamson, dalam decoding advertisement, mengembangkan pendekatan semiotik dan psikoanalisis untuk iklan. Unsur –unsur tanda dalam iklan ; objek, konteks lingkungan, makhluk yang memberi makna pada objek, teks (tulisan) yang memperkuat makna (anchoring). Digambarkan dalam skema berikut :
Objek Konteks Teks Entitas Visual / tulisan Tulisan Fungsi Elemen tanda yang merepresentasikan objek atau produk yang diiklankan Elemen tanda yang memberikan (atau diberikan) konteks dan makna pada objek yang diiklankan Tanda linguistik yang berfungsi memperjelas dan menambahkan makna (anchoring) Elemen Penanda/petanda Petanda Tanda Tanda semiotik Tanda linguistik
Iklan = ajang permainan tanda. Analisis mengenai konteks dalam iklan menjadi penting, karena melaluinya dapat dilihat persoalan gender, ideologi, fetisisme, kekerasan simbol, lingkungan, konsumerisme, dll. Riset Yasraf Piliang, melihat relasi iklan dengan realitas sosial. Ada gap (jarak) antara produk dengan realitas lingkungan yang sesungguhnya, yang menghasilkan semacam pemalsuan realitas.
Semiotika Fashion Barthes salah satu tokoh yang mengembangkan semiotika fashion, menganalisis fashion sebagai sistem tanda. Dick Hebdige, dalam Subculture ; The Meaning of Style, mengkombinasikan metode semiotika dan antropologi untuk memahami fashion di kelompok subkultur (punk, hippies, skhinhead, dsb). Dalam fashion, ada sistem fashion ; sistem pakaian resmi, seragam militer, sistem seragam sekolah, dsb.
Berikut contoh sistem pakaian resmi dalam kebudayaan barat : Sintagma Paradigma [kemeja] + [dasi] + [jas] + [celana] + [sepatu] [jaket] [jas hujan] [safari] [rompi] [batik]
Dalam bagan tersebut, ada aturan atau kode yang mengatur pakaian tersebut dan disepakati secara sosial. Meski demikian, fashion dapat mengalami perubahan mulai dari moderat sampai radikal. Perubahan tsb mendekonstruksi tanda, bentuk, ekspresi bahkan kode – kode fashion sebelumnya. Kombinasi baru dibuat dengan mendekonstruksi aturan yang ada sebelumnya.
Sistem pakaian resmi berikut mengalami perubahan radikal : Jas Kemeja dasi Celana Sepatu Pulpen Jaket Kaos Kupu-kupu c.pendek Sandal jam Rompi batik Sarung Sepatu kat Kalung Jas hujan Jean s. Tentara Anting Safari Jean sobek Topi Batik Piyama Tatto Jaket militer Training
3. Semiotika Komoditi Jean Baudrillard dalam The System of Object, menganalisis semiotika objek dalam masyarakat kapitalis. Objek berkembang tidak lagi sekedar objek yang berfungsi utilitas, tetapi objek sebagai tanda (sign objects), yang menandai status, kelas dan prestise sosial tertentu. Bagaimana objek komoditi dimuati dengan citra – citra tertentu, memberi status pada yang menggunakan
Beberapa ahli semantika produk, Klaus Krippendorf, Charles Burnett, Horst Oehlke, dan Susann Vihma. Penelitian mereka mengungkapkan kompleksitas tanda dan makna produk. Secara mikro, semantika produk fokus pada aspek makna dari sebuah produk dalam konteks sosialnya. Salah satu model semantika produk dikembangkan oleh Oehlke, seperti berikut :
INFORMATION MEANING EXPRESSION Object-mediated contextual information values and properties of the product as a cultural object in its material and ideal totality) Meaning of the environs (context of the objects) in social environs, cultural contexts and historic situation Expression of the meaningful ideal exsistence in the social cultural context Objective – functional information (properties of function and gestalt) Objective meanings (activity of abc with the object/production and use Epression of the purpose – functional esistence Material and structural information (sense signals/perceptive qualities of form, colour materials) Elementary meanings (exsistence of the object/structural elements/material qualities) Expression of the elementary-structural exsistence
Skema Oehlke tsb, menjelaskan model informasi, makna dan ekspresi dalam desain produk, dengan memperlihatkan 3 tingkat makna : Makna yang berkait dengan hal elementer pada produk (elementary meaning). Makna yang berkait dengan fungsi produk (objective meaning) Makna yang berkait dengan konteks sosial dan budaya (socio-cultural meaning)
Kesimpulan Pendekatan semiotik pada iklan, fashion dan produk akan memperlihatkan keberagaman dan kompleksitas penggunaan semiotika (struktural) dalam analisis objek kebudayaan. Berbagai perkembangan objek kebudayaan kontemporer, seperti media, fotografi digital, televisi, film, seni musik, asesoris, video, video klip, multimedia, holografi, video / internet game, virtual reality, cyberspace berkembang menjadi bidang kajian semiotika khusus. Seperti semiotika televisi, video, cyber semiotics. Dalam kompleksitas tsb, semiotika post-strukturalis mungkin dapat mengisi ruang kosong yang ditinggalkan semiotika struktural, yang dapat menjadi bidang kajian tersendiri.