MATERI HUKUM LINGKUNGAN

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
Advertisements

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM.
ANTARA STRATEGI REDUKSI DAN ADAPTASI DI BIDANG PELAYANAN PUBLIK
Sosialisasi Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) RAN/RAD - GRK
Emisi Referensi dan Monitoring dalam REDD 2, November, 2007 IFCA Team Ministry of Forestry.
LITBANG MENJAWAB TANTANGAN PERUBAHAN IKLIM
CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM (CDM) MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH
Makalah Kunci (Keynote Speech)
Clean Development Mechanism
KELEMBAGAAN PROTOKOL KYOTO-CDM
CDM DAN CARBON TRADE Protokol Kyoto adalah suatu instrumen hukum (legal instrument) yg dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim (KPI)
BAB 2 BERBAGAI KASUS SUSTAINABILITY A. KASUS SUSTAINABILITY PERUSAHAAN
KEBIJAKAN DAN REVITALISASI PERTANIAN
PRODUKSI BERSIH (Cleaner Production)
Perubahan Iklim: Adaptasi dan Mitigasi
Suharnoko dan Andri Gunawan.  Meningkatnya banjir dan tanah longsor;  Meningkatnya kekeringan dengan segala dampaknya terhadap pertanian, perkebunan.
MASA DEPAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA TERBARUKAN DI INDONESIA
Pendahuluan Limbah telah lama mengitari kehidupan manusia terutama setelah dikenal adanya peradapan menetap di suatu tempat dan membentuk koloni. Secara.
Resiko Korupsi dalam REDD+ Oleh: Team Expert. Kenapa Kita Bicara Korupsi dalam REDD? Hutan Dikelola Rusak Lestari Korupsi Good Governance REDD Lestari.
PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN
INDONESIA INFRASTRUCTURE INITIATIVE IURSP – Monitoring dan Evaluasi IURSP – Monitoring and Evaluation Workshop 3 Steve Brown VicRoads International Projects.
MENANGGAPI TANTANGAN PERUBAHAN IKLIM
Kelompok 6 Ibrahim Gulagnar Hanifa Galih Ajisaka Wahyu Suhana
PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP
KAJIAN ANALISIS DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH (SIDA) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2015 PT. Secon Dwitunggal Putra.
KOORDINASI, INTEGRASI DAN SINKRONISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
PERENCANAAN PEMANFATAN LAHAN; ZONASI LAHAN & PERWILAYAHAN KOMODITAS
KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DASAR-DASAR PENGELOLAAN SAMPAH
HUTAN DAN PEMANASAN BUMI
GREEN ECONOMY DALAM SISRENBANG INDONESIA
HASIL NEGOSIASI AGENDA REDD+ PADA SBSTA 42
Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim
KULIAH VALUASI ESDAL PERTEMUAN KE
Clean Development Mechanism
ADAPTASI.
Kebijakan Pelaksanaan REDD
PEMANASAN GLOBAL.
Kebijakan-Kebijakan Internasional untuk Kegiatan Adaptasi Perubahan Iklim Global ME4234 KEBIJAKAN IKLIM.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Dr. Ir. F. DIDIET HERU SWASONO, M.P.
Dr. Ir. F. DIDIET HERU SWASONO, M.P.
Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar
Perencanaan Lingkungan Hidup
Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R. MSc.
DEFORESTASI DI INDONESIA: ANALISA BIAYA MANFAAT DAN IDENTIFIKASI PENYEBABNYA Sugiharso Safuan.
Oleh: Enjang Asri (6540) Imamul M. (6541) Haryo Ajie (6542)
KESEJAHTERAAN SOSIAL : SUATU PENGANTAR
Dr. Ir. F. DIDIET HERU SWASONO, M.P.
KERJASAMA INTERNATIONAL
Dr. Ir. F. DIDIET HERU SWASONO, M.P.
KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
PERAN SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEMANASAN GLOBAL
Sekilas memahami berbagai dimensi dalam isu perubahan iklim
Pertemuan Persiapan Kegiatan PMR Pokja Industri Penyusunan Profil GRK dan Pengembangan Sistem MRV Pelaporan Emisi GRK Bogor, September 2017.
Nama Anggota Kelompok :
Monitoring dan Mitigasi Dampak Kanal di Lahan Gambut
Perubahan Lingkungan Global dan Kerjasama Internasional
Ns Chandra W SKP MKep SpMAt
Perubahan Iklim Global dan Dampaknya
AKSI MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DAN PEP RAD-GRK DI BIDANG KEHUTANAN
ANTISIPASI PEMANASAN GLOBAL DAN MITIGASI IKLIM MELALUI PENGHIJAUAN
RUSAKNYA KEKAYAAN ALAM KARENA ULAH MANUSIA MENYEBABKAN “GLOBAL WARMING DAN CLIMATE CHANGE” DAN USAHA MENGATASINYA Prof.Dr.dr.H.J.MUKONO,MS.,MPH. FAKULTAS.
CDM (CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM)
Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
Kuliah 6 Review materi (kul 1 sd 6) Hukum Lingkungan
POKOK BAHASAN 7 Protokol Kyoto: Climate Change (Perubahan Iklim)
ISU LOKAL DAN GLOBAL OLEH YUDO SISWANTO ASEAN ECO SCHOOL MANDIRI
POKOK BAHASAN 7 Protokol Kyoto: Climate Change (Perubahan Iklim)
RENCANA AKSI DAERAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA / RAD GRK KABUPATEN CILACAP Cilacap 5, Maret 2011.
Transcript presentasi:

MATERI HUKUM LINGKUNGAN PENGAJAR: Dr. Andri G. Wibisana, SH, LLM (AGW), Bono Priambodo (BP), Dr. R. Bambang Prabowo Sudarso, SH, MES (BPS), Dr. Harsanto Nursadi, SH, M.Si (HN—Penanggungjawab kelas A), Mas Achmad Santosa, SH, LL.M. (MAS), Wiwiek Awiati, SH, M.Hum (WA—Penanggungjawab Kelas B),

PEMANASAN GLOBAL DAN KEBIJAKAN PENURUNAN GAS RUMAH KACA DI INDONESIA Materi Ajar Hukum Lingkungan FHUI SESSION 2 PEMANASAN GLOBAL DAN KEBIJAKAN PENURUNAN GAS RUMAH KACA DI INDONESIA

Outline Resiko Protokol Kyoto Long-term objective: Pasal 2 UNFCCC dan kegagalan Protokol Kyoto (PK)

RESIKO DARI PERUBAHAN IKLIM Gradual climate change: kenaikan air laut, pengaruh thd cuaca ekstrim, penyakit, dll Singular events: Matinya Thermohaline Circulation Melelehnya Greenland Ice Sheet dan West Antarctic Ice Sheet

UNFCCC UNITED NATION FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE Pasal 2 “to achieve …stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system” Stabilisasi bukan pengembalian Yg distabilkan adalah konsentrasi (bukannya emisi dan suhu) Pasal 3: Prinsip intra dan intergenerational equity Common but differentiated responsibility Precautionary principle

Pasal 4: Komitmen pasal 4 (2) Negara annex I memiliki komitmen: 4 (2) a: Mengadopsi kebijakan nasional dan menurunkan GHGs serta meningkatkan kapasitas sinks dan reservoir. 4 (2) b: Dalam 6 bulan setelah berlakunya UNFCCC melaporkan secara periodik informasi ttg kebijakan dan langkah2 yang telah diambil (terkait penurunan GHGs dan peningkatan sinks) “with the aim of returning individually or jointly to their 1990 levels” COP 1995, BerlinBerlin Mandate Strengthening the commitments in 4 (2) a and b of the convention for developed countries/other parties included in Annex I, both to elaborate policies and measures, as well as to set quantified limitation and reduction objectives within specified time-frames…

KYOTO PROTOKOL

Komitmen: Kewajiban negara2 tertentu untuk menurunkan emisi sekitar 5% di bawah emisi mereka tahun 1990 (pasal 3 (1)) antara thn 2008-12 Negara berkembang dibebaskan dari kewajiban tersebut Common but differentiated responsibility, mengapa? Konsentrasi GRK sebagian besar (sekitar 80%) berasal dari negara maju Negara berkembang membutuhkan energi untuk pembangunan mereka Negara berkembang tidak memiliki dana dan teknologi untuk menurunkan GRK Tidak ada rujukan ke pasal 2 UNFCCC 3 (2):Thn 2005 melaporkan progress report 3 (3): net changes dihitung dari “GHGs emission from sources” dan “removals by sinks from LULUCF (Land-Use, Land-Use Change and Forestry) limited to a- forestation, reforestation, and deforestation since 1990”

Mekanisme pemenuhan komitmen Target Emisi GRK Assigned amount: emisi thn 1990 X jatah komitmen x 5 Aktifitas pada LULUCF (Land-Use, Land-Use Change and Forestry) dihitung sebagai sumber emisi atau penghapusan emisi Penghapusan emisi menghasilkan Removal Unit (RMU), yang dapat dikonversi menjadi Assigned Amount Unit (AAU) Mekanisme pemenuhan komitmen Emission Trading Joint Implementation Clean Development Mechanism

Emission Trading (ET) Joint Implementation Sesama Annex I countries Membeli boleh bebas, tapi menjual tidak bebas: Setiap negara harus menyimpan cadangan emisi yang jumlahnya tidak boleh lebih rendah dari 90% dari Initial Assigned amountcadangan ini disebut dengan commitment period reserve (CPR) Komoditas ET: Assigned Amount Unit (AAU), Emission Reduction Unit (ERU) dan “hot air” Joint Implementation Setiap negara Annex I dapat melakukan investasi pada proyek2 penurunan emisi di negara Annex I lainnya Investasi ini akan menghasilkan Emission Reduction Unit (ERU)

Clean Development Mechanism Negara Annex I dapat melakukan investasi di negara non-Annex I yang meliputi investasi pada proyek2 pengurangan emisi di negara non-Annex I, aforestasi (penghijauan di lahan bekas hutan yang telah mengalami deforestasi selama lebih dari 50 tahun), dan reforestasi (penghijauan untuk hutan yang mengalami deforestasi pada kurun waktu kurang dari 50 tahun) CDM menghasilkan Certified Emission Reductions CDM pada sektor LULUCF maksimum 1% dari total jatah emisi CER dapat dikonversi menjadi AAU, sehingga dapat diperjualbelikan dalam mekanisme ET

TIDAK BOLEH LEBIH BESAR DARI Cara penghitungan: Total emisi 2008 s.d. 2012 + emisi dari LULUCF - RMU - emisi yang diperoleh dari CER atau ERU atau ET + emisi yang dijual TIDAK BOLEH LEBIH BESAR DARI Jatah emisi awal untuk 2008 s.d. 2012 Contoh: Emisi jepang pada thn 1990 adalah: 1,272 Gton Jatah jepang tiap tahun adalah 94% dari 1990 = 1,272 x 0,94 = 1,196 Gt. Selama 5 tahun berarti 1,196 x 5 = 5,98 Gt Total emisi Jepang tahun 2006 (termasuk emissions/ removals dari LULUCF) = 1,249 Gt. Asumsikan bahwa emisi Jepang per tahun tetap, maka selama 5 tahun emisi total Jepang adalah 1,249 x 5 = 6,245 Gt.

Jika lebih: Pengurangan jatah emisi sebesar 1,3 kali kelebihan emisi. Misalnya: 1,196 – {(1,249 - 1,196)1,3} Gt = 1,127 Gt per tahunnya. Selama 5 tahun, jatah emisi Jepang turun sebanyak: (6,245 - 5,98) x 1,3 = 0.3445 Gt Pembuatan rencana penurunan emisi Penangguhan keabsahan untuk melakukan pemindahan AAU ke periode berikutnya

HUKUM YG MENGATUR MITIGASI GRK OUTLINE OVERVIEW KEBIJAKAN MITIGASI GRK POSISI INDONESIA DALAM POLITIK PERUBAHAN IKLIM REDD DAN KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

1. OVERVIEW KEBIJAKAN MITIGASI GRK Rencana Aksi Nasional mengenai Perubahan Iklim tahun 2007 Menyediakan petunjuk utk beberapa institusi dalam melaksanakan upaya menghadapi perubahan iklim Membuat persyaratan bagi kordinasi kelembagaan Upaya yang akan dilakukan: Pengurangan emisi dan peningkatan kapasitas penyerapan karbon (“sink”). Sektor kehutanan: Pemberantasan illegal logging Pada tahun 2025 mampu merehabilitasi 36.31 juta ha dari 53.9 juta ha hutan yang rusak. Mengurangi deforestasi dan kerusakan hutan sampai dengan 23.63 juta ha dalam periode 2007-2009, 6.15 juta ha antara thn 2009-2012, dan 10 juta ha dalam periode thn 2012-2025.

Impelementasi Kebijakan pemberian insentif utk sektor LULUCF. Pencegahan kebakaran hutan: pengurangan titik api sebanyak 50% pada thn 2009, 75% pada thn 2012, dan 95% pada thn 2025. Penerapan praktek penebangan hutan yang ramah lingkungan, penguatan pengelolaan daerah konservasi, dan perumusan Road Map untuk mengimplementasikan REDD. Sektor pertanian: penggunaan pupuk dan pestisida organik serta pemanfaatan mesin pertanian yang lebih efisien. Impelementasi Kebijakan pemberian insentif utk sektor LULUCF. Melanjutkan program “Menuju Indonesia Hijau”: pemberian penghargaan kepada bupati yang berhasil mempertahankan hutan lindung dan menigkatkan wilayah hijau di daerahnya Pengembangan kebijakan pendukung, tmsk kebijakan terkait tata ruang nasional dan wilayah, penegakan hukum, pengentasan kemiskinan, litbang, dan rekayasa sosial.

B. Rencana Aksi Nasional Penurunan GRK (RAN-GRK) Per.Pres No. 61 thn 2011 tentang RAN-GRK RAN-GRK adalah rencana kerja utk melakukan berbagai kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung akan mengurangi tingkat emisi GRK Indonesia. RAN-GRK terhdiri dari berbagai kegiatan inti dalam sektor pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, pengelolaan limbah, dan berbagai kegiatan pendukung Fungsi RAN-GRK: Arahan bagi kementrian/instansi terkait utk merencanakan, menerapkan, mengawasi, dan mengevaluasi berbagai upaya penurunan emisi GRK Arahan bagi pemda dalam menyusun rencana aksi daerah Arahan bagi masyarakat dan pelaku usaha dalam perencanaan dan implementasi kegiatan penurunan emisi GRK

Lampiran I dari Perpres menjelaskan berbagai rencana kegiatan di berbagai sektor, antara lain: RAN-GRK sektor pertanian diarahkan pada penurunan sebanyak 0.008 GtCO2e bagi target penurunan 26% dan 0.011 GtCO2e bagi target penurunan 41% Contoh kegiatan alih fungsi hutan yang rusak menjadi lahan perkebunan (860 ribu ha menjadi perkebunan kelapa sawit, 105 ribu ha menjadi perkebunan karet). Alih fungsi ini dilakukan di 19 provinsi antara tahun 2011-2014, dengan target penurunan emisi sebesar 74.53 MtCO2e.

RAN-GRK sektor kehutanan dan lahan gambut diharapkan mampu mencapai pengurangan emisi sebesar 0.672 GtCO2e (utk target penurunan 26%) dan 1.039 GtCO2e (utk target penurunan 41%). Contoh kegiatan: pengembangan pertanian berkelanjutan di daerah lahan gambut seluas 325,000 ha di 11 provinsi pada tahun 2011 dan 2020, dengan target pengurangan emisi sebesar 103.98 MtCO2e

RAN-GRK dalam sektor energi dan transportasi ditargetkan mampu mengurangi emisi sebesar 0.038 GtCO2e (untuk target penurunan 26%) dan 0.056 GtCO2e (untuk target penurunan emsisi 41%), yang antara lain dilakukan dengan jalan: Pembangunan PLTA skala kecil dan mikro, PLT surya, PLT angin, PLT biomassa, dan pengembangan desa swasembada energi, dengan target penurunan sebanyak 1.27 MtCO2e antara periode 2010-2014, Pembangunan bus rapid transit (BRT) di 12 kota besar, jalur KRL baru di Bandung dan Jabodetabek, serta jalur monorail dan mass rapid transit (MRT) di Jakarta, yang akan dilakukan antara tahun 2010-2020 RAN-GRK juga memperkenalkan kemungkinan penerapan pajak/pungutan macet dan penggunaan jalan raya (congestion charges dan road pricing)

C. Sektor Energi PP No. 5 thn 2006 ttg kebijakan energi nasional: dalam energi mix pada tahun 2025 ditargetkan peningkatan peran batu bara sebagai sumber energi menjadi lebih dari 33% konsumsi energi nasional. KEPMEN ESDM No. 2 thn 2004 ttg konservasi energi dan pemanfaatan energi hijau Inpres No. 10 thn 2005 and PerMen ESDM No. 31 thn 2005 ttg implementasi penghematan energI

D. Sektor Kehutanan UU No. 41 thn 1999 ttg Kehutanan PPNo. 45 thn 2004 ttg perlindungan hutan PP No. 4/2001 ttg penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan karena kebakaran hutan dan lahan PP No. 6/2007 (diubah dgn PP No. 3/2008) ttg perencanaan hutan, perencanaan pengelolaan hutan, dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan Inpres No No. 4 /2005 ttg penghapusan illegal logging

E. CDM DI INDONESIA Procedures for CDM project approval used by Komnas MPB Source: CDM Country Guide for Indonesia, 2006, p. 61

F. Kesimpulan umum Ratifikasi UNFCCC dan Protokol Kyoto Ratifikasi UNFCCC melalui UU No. 6/1994 Ratifikasi Protokol Kyoto Melalui UU No. 17/2004. Question: Apakah ratifikasi tsb cukup? Tidak ada peraturan perundangan-undangan yang terintegrasi mengenai perubahan iklim Tidak ada institusi yang kuat untuk membuat dan mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim terintegrasI

Tidak adanya kewajiban Indonesia untuk menurunkan GRK (menurut UNFCCC dan Protokol Kyoto) tampaknya menjadi sebab mengapa kebijakan perubahan iklim Indonesia masih sangat mengandalkan pada pendekatan sukarela dan instrumen ekonomi yang longgar (dalam bentuk subsidi atau tax holiday), meskipun Perpres No. 61/2011 sudah memperkenalkan congestion charges dan road pricing Beberapa peraturan kadang memberikan sanksi yang berbeda, bahkan kadang tidak ada sanksi sama sekali

2. POSISI INDONESIA DALAM POLITIK PERUBAHAN IKLIM komitmen pengurangan emisi secara sukarela sebesar 26% dari skenario Business As Usual (BAU) di tahun 2020 dan 41% dari BAU dengan kerjasama internasional di tahun 2020, Mekanisme penaatan dalam pasal 18 Kyoto Protokol perlu untuk dilaksanakan sebagai bagian dari evaluasi pelaksanaan protokol. Besar kemungkinan Accord dijadikan dasar dari negosiasi di masa yang akan datang. Sedangkan seharusnya rejim pasca 2012 harus dilandasi pada track AWG-KP (Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol) dan AWG-LCA ((Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention)

Copenhagen Accord tidak belajar dari kelemahan yang dianut oleh Kyoto Protokol The Wrong Targets: Reductions Rather than Limits The targets have been determined by measuring the level of inconvenience they will produce, not by calculating the level of reduction that is necessary to solve the problem. Pengurangan tanpa ditentukan batas aman emisi Differentiated Responsibilities: Targets Vary from Country to Country The Greater the Emissions, the More Lenient the Standards

Pelajaran dari Kyoto Protocol Pembagian negara-negara annex tidak dilandasi pada pembagian secara scientifik. Pelajaran tersebut tidak diperbaiki dalam Copenhagen Accord. Komitmen pengurangan emisi negara-negara yang terdapat dalam annex Accord tidak dapat menjamin pencapaian target 2°.

Pentingnya kekuatan posisi Indonesia pada pertemuan pasca COP 15 Pembentukan Instrumen Penanganan Dampak Perubahan lklim yang Bersifat Mengikat (binding) Pasca komitmen I Kyoto Protocol hanya dapat dilakukan dengan menyelesaikan 2 track perundingan di AWG-KP dan AWG LCA. AWG-KP (Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol) 1st session: Bonn, May 2006 10th session: Copenhagen, Dec. 2009 AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention): 1st session: Bangkok, March-April 2008 9th session: Bonn, April 2010

FCCC/AWGLCA/2009/17 Annex I art. 2 A long-term aspiration and ambitious global goal for emission reductions, as part of the shared vision for long-term cooperative action, should be based on the best available scientific knowledge and supported by medium-term goals for emission reductions, taking into account historical responsibilities and an equitable share in the atmospheric space

Accordingly: Parties shall cooperate to avoid dangerous climate change, in keeping with the ultimate objective of the Convention, recognizing [the broad scientific view] that the increase in global average temperature above pre-industrial levels [ought not to] exceed [2oC] [1.5 oC][1oC] [preceded by a paradigm for equal access to global atmospheric resources]; [Parties should collectively reduce global emissions by at least [50] [85] [95] per cent from 1990 levels by 2050 and should ensure that global emissions continue to decline thereafter;] Developed country Parties as a group should reduce their greenhouse gas emissions by [[75–85] [at least 80–95] [more than 95] per cent from 1990 levels by 2050] [more than 100 per cent from 1990 levels by 2040];]

Keterkaitan antara FCCC/AWGLCA/2009/17 Annex I art Keterkaitan antara FCCC/AWGLCA/2009/17 Annex I art. 2 dengan pasal 2 UNFCCC “to achieve …stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system” Copenhagen Accord: ….To achieve the ultimate objective of the Convention to stabilize greenhouse gas concentration in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system, we shall, recognizing the scientific view that the increase in global temperature should be below 2 degrees Celsius…

Maksimum temperatur dan konsentrasi Sumber: L. Bernstein, et.al., Climate Change 2007: Synthesis Report, hal. 67

Suhu Max., Konsentrasi, dan Emisi Suhu Max. = 2oC Konsentrasi 450ppm Trajektori emisi per tahun emisi peak sekitar 10.5 Gt C pada pada 2020 Emisi global dibagi populasi dunia Emisi per capita National Allowable annual emissions = Emisi per capita x populasi nasional

Penurunan emisi berdasarkan emisi per kapita Negara yang wajib menurunkan emisi adalah negara yang emisinya melebihi National Allowable Annual Emissions Mengapa? each person shares equal entitlements of the atmospheric resource Konsekuensi: people in developed countries should significantly reduce their current excessive emissions, while people in developing countries are still allowed to emit more than their current emissions level

Per Capita Emissions + Historical Emissions Alasan: consistent with the polluter pays principle science is on the side of historical accountability each person shares an equal opportunity to use atmospheric resource, regardless of when and where this person lives Neumayer: pengabaian historical per capita emissions = “privilege those who lived in the past in the developed countries and to discriminate against those who live in the present or will live in the future developing countries”

KESIMPULAN Hal positif dari Copenhagen Accord adalah adanya batasan temperatur jalan untuk penentuan long term objective Batasan ini harus dikaitkan dengan stabilisasi konsentrasi GRK, yg kemudian dikaitkan dengan batasan emisi global Pentingnya AWG-LCA: Per Capita Emissions + Historical Emissions Debt (HED)

Pelaksanaan per capita emissions + historical emissions tergantung pada kesepakatan mengenai (E. Nuemayer, 2000, hal. 186-187 ): long-term target total emission global a base year untuk penghitungan kapan terjadinya Historical Emissions Debt (HED) Berapa banyak HED dari sebuah negara Berapa lama kompensasi (dari negara yang memiliki HED kepada negara yang tidak memiliki HED) akan berlangsung

Posisi Indonesia DELRI menyampaikan intervensi mengenai usulan format dan struktur keputusan COP-15 di Kopenhagen. Pada intinya usulan tersebut berisikan skenario “jalan tengah”dimana akan dihasilkan dua keputusan utama: (1) umbrella decision berisikan komitmen politis dari AWG-LCA berisi goal, process, timeline dan key elements untuk menstabilkan konsentrasi emisi gas rumah kaca dunia yang juga mencakup satu target pengurangan emisi dunia pada tahun 2050 (2) keputusan untuk melanjutan periode komitmen kedua protokol kyoto yang intinya adalah target pengurangan emisi gas rumah kaca bagi negara maju, yang juga berisikan process, tmeline (yang sama dengan AWG-LCA) dan key elements. (Sumber: presentasi DNPI)

Penyusunan Posisi RI atas teks negosiasi Persiapan RI Penyusunan Posisi RI atas teks negosiasi Kajian target penurunan emisi global jangka panjang: Angka penurunan emisi secara aggregate untuk semua negara yang akan memberikan dampak stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat 450 ppm dan 350 ppm. Angka penurunan emisi secara aggregate untuk negara maju, dalam persentase, agar didapatkan angka penurunan emisi negara berkembang, secara aggregate, yang tidak menghambat pembangunan di negara tersebut. Strategi untuk mewujudkan komitmen pengurangan emisi secara sukarela sebesar 26% dari skenario Business As Usual (BAU) di tahun 2020 dan 41% dari BAU dengan kerjasama internasional di tahun 2020, yang telah disampaikan Presiden RI di Pittsburgh dan di KTT APEC. (Sumber: presentasi DNPI)

3. REDD dan kebijakan nasional perubahan iklim Kebijakan di tingkat nasional Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (mitigasi dan adaptasi) Pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim Perencanaan nasional pengurangan GRK RAN PI Strategi Nasional REDD LoI antara RI dgn Norwegia Keppres 10 thn 2010 ttg pembentukan Satgas REDD Pembentukan Pokja Bersama Pemberantasan Mafia Hutan

Pengurangan dilakukan dengan jalan: Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan Mencegah deforestasi dan degradasi hutan Mempromosikan efisiensi energi Mengurangi limbah padat dan cair dari rumah tangga dan industri Moda transportasi beremisi rendah

Persoalan REDD di Indonesia Ketidakjelasan hak masyarakat adat (benefit sharing) Perencanaan tata ruang dan perizinan yang mengabaikan aspek governance Lemahnya kordinasi horizontal dan vertikal Disharmonisasi dan ketidakjelasan peraturan per-UU-an Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum