HUBUNGAN ANTARA NORMA PERKAWINAN islam DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN islam
Ketentuan-ketentuan hukum perkawinan menurut hukum Islam terdapat dalam ayat-ayat pada beberapa surat dalam al-Qur’an an as-Sunnah yang sudah dirumuskan dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991). Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan sistem kekeluargaan Islam terdapat dalam ketentuan larangan perkawinan berdasarkan hubungan darah, ketentuan mahar, dan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan. Ketentuan-ketentuan larangan perkawinan berdasarkan hubungan darah menunjukkan bentuk sistem kekeluargaan menurut Islam, yaitu terdapat dalam surah an-Nisa ayat 22, ayat 23.
Larangan perkawinan dengan mantan isteri ayah kandung terdapat dalam an-Nisa ayat 22, bahwa, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” Meskipun larangan perkawinan itu berdasarkan hubungan semenda, yaitu hubungan seorang laki-laki menikahi ibu tirinya, namun larangan itu berkaitan dengan adanya hubungan darah yang sangat dekat antara laki-laki tersebut dengan ayah kandungnya yang pernah menikahi ibu tirinya tersebut.
Larangan perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah, hubungan sesusuan, dan hubungan semenda juga diatur dalam an-Nisa ayat 23, bahwa, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmua yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusukan kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sedungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Larangan perkawinan karena hubungan darah terbatas pada hubungan darah antara orang-orang yang disebutkan dalam surah an-Nisa ayat 23 tersebut. Hal itu dipertegas dengan adanya perkawinan antara puteri Rasullullah saw, Siti Fatimah binti Muhammad dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib bin Muthalib, yaitu saudara sepupu Rasullullah dari garis laki-laki, yaitu ayah Rasullullah saw, Abdullah bin Muthalib. Ketentuan-ketentuan tersebut lebih diperjelas dalam ketentuan-ketentuan hukum kewarisan yang menunjukkan bentuk masyarakat hukum yang dikehendaki oleh syari’ah Islam. Mahar yang ditentuakan dalam surah an-Nisa ayat 4 dan ayat 24, surah al-Baqarah ayat 236, ayat 237 juga menunjukkan bentuk masyarakat yang dikehendaki Islam. Hal ini dapat dilihat dari jujur (semacam mahar) pada masyarakat patrilineal yang memiliki fungsi berbeda dengan mahar menurut ajaran Islam.
Seperti telah diketahui, pemberian jujur dari keluarga, kerabat, dan masyarakat dari pihak laki-laki (suami) kepada keluarga, kerabat, dan masyarakat pihak perempuan (isteri) adalah berfungsi religiomagis-teritorial untuk mempertahankan keseimbangan (harmonie; evenwicht) pada masyarakat bersangkutan, sehubungan dengan berpindahnya salah seorang anggotanya, yaitu perempuan yang menjadi isteri dari seorang laki-laki yang menjadi anggota masyarakat pemberi jujur, sebagai akibat dari perkawinan yang exogam, patrilokal, dan asimetris, seperti di Batak dan Bali. Sedangkan menurut hukum Islam, pemberian mahar bersifat individual, yaitu berupa pembayaran yang wajib dilakukan oleh calon suami (suami) kepada calon isteri (isteri) secara individual sebagaimana diatur dalam surah an-Nisa ayat 4 jo. Ayat 24 jo. Surah al-Baqarah ayat 236 jo. Ayat 237, yang terlepas dari fungsi kekeluargaan, kekerabatan, maupun kemasyarakatan.
An-Nisa ayat 4 menentukan, bahwa: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” Surah an-Nisa ayat 24 memperjelas ayat 4, bahwa, “…Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni’mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam kedua ayat tersebut secara jelas ditentukan bahwa pemberian mahar itu merupakan kewajiban suami kepada isteri secara individual dan dapat disepakati bentuk, jenis, dan jumlahnya. Pemberian mahar yang bersifat individual itu dikemukakan pula dalam surah al-Baqarah ayat 236 dan ayat 237 yang menetapkan bahawa, “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
(237) Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” Surah al-Baqarah ayat 236 dan ayat 237 tersebut saling menunjang dan saling menjelaskan tentang fungsi mahar menurut ajaran Islam, yaitu bersifat individual, yang sangat berbeda dengan pemberian jujur pada masyarakat patrilineal yang besifat religio-magis-teritorial dan sosial.
Bentuk masyarakat menurut ajaran Islam, selain dapat diketahui dari ketentuan-ketentuan larangan hukum perkawinan, juga terkait erat dengan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan terdapat dalam surah an-Nisa ayat 7, ayat 11, ayat 12, ayat 33, ayat 176. Dalam surah an-Nisa ayat 7 ditentukan bahwa, bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan juga ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Jadi sangat jelas, bahwa sistem hukum kewarisan dalam hukum Islam adalah bilateral.
Hal ini berbeda dengan hukum kewarisan dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau. Meskipun saat ini sudah terdapat perubahan ketentuan pada masyarakat Minangkabau, bahwa terhadap harta pusaka rendah berlaku hukum kewarisan Islam, tetapi terhadap harta pusaka tinggi tetap berlaku hukum kewarisan adat setempat, yaitu, harta tersebut diwarisi secara kolektif oleh anggota keluarga atau kerabat berdasarkan garis keturunan matrilineal, yaitu melalui garis keturunan perempuan. Jadi, terhadap harta pusaka tinggi ini, anak-anak kandung dari seorang ayah (laki-laki), baik laki-laki maupun perempuan, tidak dapat masuk dalam kelompok ahli waris secara kolektif yang berhak atas harta pusaka tinggi itu. Justru yang berhak masuk sebagai ahli waris secara kolektif itu adalah kemenekan-kemenakan dari seorang laki-laki atau ayah bersangkutan, yaitu anak-anak kandung dari saudara-saudara perempuan laki-laki atau ayah tersebut
Demikian pula pada masyarakat patrilineal di Batak, bahwa orang-orang yang berhak menjadi ahli waris adalah hanya keturunan laki-laki dari laki-laki secara patrilineal, sedangkan perempuan, sebagai akibat perkawinan jujur yang menyebabkan ia berpindah dari kerabat ayahnya, maka ia tidak dapat menjadi ahli waris dari bapaknya, dan ia-pun bukan ahli waris dari suaminya. Bentuk masyarakat yang dikehendaki al-Qur’an juga dapat diketahui melalui surah an-Nisa ayat 11 yang menentukan besar bagian harta warisan sebagai berikut:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan dua orang atau lebih, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam….”
Kemudian dalam surah an-Nisa ayat 12 juga lebih memperjelas bahwa hukum kewarisan Islam menghendaki masyarakat bilateral, melalui ketentuan hukum kewarisan bagi suami atau isteri yang berkedudukan sebagai ahli waris dari isterinya atau suaminya. Demikian pula saudara-saudara pewaris, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, baik saudara kandung, saudara seayah, maupun saudara seibu dapat berkedudukan sebagai ahli waris berdasarkan surah an-Nisa ayat 12 jo. Ayat 176. Bahkan menurut Hazairin, keturunan ahli waris dapat berkedudukan sebagai ahli waris penganti (mawali) berdasarkan surah an-Nisa ayat 33, meskipun pendapat tersebut masih diperdebatkan oleh kalangan para ahli hukum Islam. Namun upaya tersebut membuahkan hasil dengan dirumuskannya ahli waris penganti dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan-ketentuan larangan perkawinan berdasarkan hubungan darah, hubungan sesusuan, hubungan semenda, dan adanya perkawinan antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fatimah al-Zahrah binti Muhammad sangat jelas bahwa perkawinan endogami dimungkinkan dengan batasan sebagaimana ditentukan dalam an-Nisa ayat 22 dan 23, yang menunjukkan sistem kekeluargaan yang dikehendaki al-Qur’an dan Sunah Rasullullah (syari’ah Islam) adalah bilateral. Selain itu, ayat-ayat kewarisan juga menunjukkan dengan jelas bahwa sistem kekeluargaan yang dikehendaki oleh Islam juga sistem kekeluargaan bilateral. Hal itu dapat dilihat dari kedudukan anak perempuan, anak laki-laki, ayah kandung pewaris, ibu kandung pewaris, dan isteri pewaris atau suami pewaris dapat bersama-sama berkedudukan sebagai ahli waris dalam waktu yang sama berdasarkan surah an-Nisa ayat 11 dan ayat 12.