POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI
Pada masa pemerintahan Megawati, kebijakan politik luar negari Indonesia mengalami perubahan kembali, yaitu dengan menempatkan kembali ASEAN sebagai batu pijakan awal dan menjadi fokus kebijakan.
Dengan kembali menempatkan ASEAN sebagai fokus kebijakan luar negeri, diharapkan Indonesia dapat meraih kembali peran regional di kawasan Asia Tenggara, yang nantinya akan menjadi modalitas dan daya tawar bagi pengembangan peran yang lebih luas di kawasan lain maupun tingkat global seperti yang telah dijalankan dua periode terakhir pemerintahan Soeharto.
Dengan kata lain Indonesia ingin tampil dengan profil politik luar negeri dan diplomasi yang lebih tegas dan konsisten serta tidak perlu keluar dengan berbagai pernyataan controversial yang dapat menyinggung martabat dan harga diri negara lain, khususnya di kalangan ASEAN
Bagi Indonesia, perannya di ASEAN dianggap sebagai suatu tantangan bagi politik luar negerinya. Indonesia telah banyak kehilangan kredibilitasnya di kawasan Asia Tenggara sejak krisis yang melanda dan seakan tak kunjung surut.
Peran signifikan Indonesia di ASEAN seakan talah surut Peran signifikan Indonesia di ASEAN seakan talah surut. Pengakuan terhadap Indonesia sebagai pemimpin Asean hilang, dan justru Indonesia menjadi negara anggota yang sedang sakit dan tidak memiliki peran berarti di ASEAN. Disini pemerintahan Megawati menghadapi persoalan seberapa jauh Indonesia masih dianggap sebagai negara yang memiliki kredibilitas dalam menentukan dan membentuk perkembangan kawasan Asia Tenggara
BEBAS AKTIF Sejak semula politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif, itu berarti Indonesia senantiasa memelihara kebebasan dalam menjalankan politik luar negeri guna melaksanakan kepentingan nasionalnya, sikap demikian terbukti kebenaran dan manfaatnya saat didunia ini sedang terjadi perang dingin. Indonesia memilih tidak berpihak pada dua kekuatan dunia dalam tataran sistem internasional.
Namun berbarengan dengan tragedi yang menimpa WTC, Indonesia ikut-ikutan mengecam, dan setuju dengan tindakan yang dilakukan oleh Amerika untuk menghancurkan terorisme internasional.
Hal ini menunjukan ada warna yang cenderung mulainya masa Indonesia tidak bebas aktif lagi. Tekanan Amerika kepada Indonesia untuk menindak tegas terorisme, ditindaklanjuti dengan ditangkapnya Ketua Laskar Ahlul Sunnah Wal Jamaah, Jaffar Umar Thalib
keterlibatan BAKIN dalam penangkapan Agus Dwikarna cs di Philipina
interogasi yang dilakukan terhadap Abubakar Ba’asyir
penangkapan dan pem-vonisan Amrozi
penangkapan dan pem-vonisan Imam Samudera dkk
Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki kepentingan untuk bermesraan dengan Amerika yaitu butuh dukungan investor barat terutama dari Amerika untuk membantu pemulihan krisis yang berkepanjangan.
Atas tekanan AS, Indonesia kini telah masuk dalam blok negara-negara yang siap memerangi terorisme. Harus diakui, dengan menguatnya AS dalam blantika politik internasional (karena kapabilitas AS dalam segala bidang) pasca runtuhnya USSR, membuat negara-negara lain terpaksa mematuhi keinginan AS, karena belum ada kekuatan penyeimbang (balance of power) pangganti Uni Soviet dan tumpulnya DK PBB sebagai institusi legal penjaga dan pemelihara perdamaian dunia.
Namun dibalik tekanan tersebut, dalam forum-forum internasional, baik Presiden maupun Menlu Hasan Wirayuda melakukan diplomasi yang kreatif dan pendekatan yang luwes untuk menjelaskan kepada dunia dan AS, perlunya tidak melulu mengedepankan pendekatan militer/kekerasan dalam mengatasi masalah terorisme.
Politik Luar Negeri Indonesia pada masa pemerintahan ini (Megawati) mengalami ujian yang berat. Indonesia sejak semula, sejak awal kemerdekaan telah mencanangkan politik luar negeri yang bebas aktif dan non-blok, yang oleh Bung Hatta dikiaskan sebagai, perlunya mendayung di dua karang, tidak memihak blok Timur maupun blok Barat.
Sikap dan strategi non-alignment adalah strategi dan sikap yang tepat dan tetap relevan sebagai negara berdaulat sesuai dengan tuntutan zaman maupun konstitusi dalam kancah politik internasional, baik bipolar, unipolar maupun multipolar.
Terlepas dari sedikit tergelincirnya pemerintahan Megawati dalam kasus tersebut, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dibawah kepemimpinan Megawati jauh lebih berprofil, terencana dan memiliki arah yang jelas dibandingkan dengan kepemimpinan Gus Dur.
Beban berat utama yang diemban pemerintahan Megawati adalah mengembalikan citra dimata negara-negara ASEAN lainnya bahwa Indonesia menetapkan ASEAN tetap menjadi corner stone politik luar negeri Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh Megawati dengan cara mengadakan lawatan ke negara-negara ASEAN sebagai prioritas sebelum mengunjungi negara-negara lain.
Langkah ini diambil selaras dengan skala prioritas kabinet gotong royong yang mengutamakan upaya memagari potensi konflik atau memelihara persatuan dan kesatuan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Menlu Hasan Wirajuda, yang memandang penting untuk membina hubungan dengan negara tetangga, terutama yang bisa menimbulkan ancaman untuk memberi bantuan pada daerah-daerah yang bergejolak seperti:
Aceh (Thailand dan Malaysia)
Maluku (Philipina)
dan Irian (Papua Nugini).
Dalam hal ini penekanan diplomasi diberikan pada upaya memperkecil ruang gerak dukungan dari luar bagi kelompok sparatis. Hal itu antara lain dilakukan dengan cara mencegah penyelundupan senjata, termasuk menindak para pelakunya.
Sebelum krisis melanda, Indonesia sempat dijuluki sebagai the big brother di kalangan negara-negara anggota ASEAN. Ketika krisis ekonomi mulai melanda kawasan ini, rasa keterikatan (kohesivitas) dan persatuan (integritas) para anggota ASEAN mulai diragukan.
Kelompok-kelompok di luar ASEAN memandang para anggota ASEAN sibuk mencari solusi penanggulangan krisis secara sendiri-sendiri. Indonesia yang paling parah mengalami krisis, secara tidak langsung telah menyulitkan Indonesia untuk mempertahankan peran regionalnya
Dengan menempatkan kembali ASEAN sebagai corner stones dalam politik luar negeri Indonesia, diharapkan dapat “merajut” kembali hubungan yang sempat kusut dengan para tetangga akibat ucapan-ucapan yang di lontarkan oleh Gus Dur.
Tantangan berat lain yang dihadapi politik luar negeri Megawati adalah, pasca perang dingin dimana terjadi peralihan system percaturan politik internasional dari bipolar ke multipolar, politik luar negeri Indonesiapun diibaratkan mendayung diantara banyak karang, dan kondisi kapalnyapun sedang bocor.
Kondisi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati, kurang mendukung posisinya di percaturan politik internasional. Politik luar negeri yang bebas aktif secara gampang diartikan sebagai independence of action atau kebebasan dan kemampuan untuk bertindak yang didasarkan pada kepentingan nasional Indonesia.
Namun paling tidak, dalam konteks regional, ASEAN dan Asia Pasifik, Indonesia nampaknya berhasil memainkan peranannya dalam berbagai isu penting dalam ASEAN seperti TAC (Treaty of Amity and Cooperation) dengan negara-negara mitra dialog seperti India, Cina, Jepang dan Rusia. Keberhasilan juga bisa dilihat dari adanya kerjasama antara ASEAN dengan Uni Eropa dalam memerangi terorisme global dalam kerangka PBB yang ditandatangani di Brussels Belgia
Demikian pula dengan ASC (ASEAN Security Community), konsep kerjasama di bidang politik dan keamanan, dengan tanpa perlunya menggunakan kekuatan militer. Konsep ini menekankan perlunya meretas kebersamaan untuk saling melindungi dan memperhatikan sesama negara anggota ASEAN, yang tidak selalu ditafsirkan sebagai turut campur dalam masalah dalam negeri anggota.
Polugri Indonesia Pada dasarnya politik luar negeri Indonesia tidak mengalami perubahan, tetap politik luar negeri bebas aktif yang berdasarkan pada Pembukaan UUD 45 dan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. Dalam GBHN digariskan bahwa sasaran penyelenggaraan hubungan luar negeri adalah: “perwujudan politik luar negeri yang berdaulat, bermartabat, bebas dan pro-aktif bagi kepentingan nasional dalam menghadapi perkembangan global.”
GBHN telah menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antar negara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat. Disamping itu, dengan disahkannya UU No. 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri pada tanggal 14 September 1999, maka pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan termasuk UU tersebut.
Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif didefinisikan sebagai sikap politik tidak berpihak kepada salah satu kekuatan dunia, meskipun bukan berarti netral. Dalam situasi pasca perang dingin, politik luar negeri bebas-aktif masih relevan, mengingat bahwa meskipun kebebasan secara fisik dapat dimiliki oleh setiap negara, tetapi dalam praktek tidak setiap negara (khususnya negara-negara berkembang), dapat menggunakan kebebasan yang dimilikinya, karena masih besarnya pengaruh dan ketergantungan mereka kepada negara-negara maju. Dalam pelaksanaannya, kebijakan luar negeri Indonesia yang didasarkan pada politik bebas-aktif ini, tidak terlepas dari pengaruh factor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi.
Berkaca dari pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang dalam dua pemerintahan sangat bertolak belakang, meski dalam koridor yang sama yaitu bebas aktif, besar kemungkinan akan semakin menantang bahkan menghadang. Sebab bagaimanapun politik luar negerai Indonesia saat ini dihadapkan pada dua permasalahan yang pelik, yang bisa-bisa akan menjerumuskan politik luar negeri Indonesia dari bebas aktif.
Pertama, dengan semakin membengkaknya utang luar negeri Indonesia, menyebabkan Indonesia harus mengundang kehadiran IMF sebagai dokter dalam pemulihan krisis yang tak kunjung berujung. Kehadiran IMF, tentu saja membawa konsekuensi berupa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia agar mereka mau menjadi dokter krisis di Indonesia. Sedangkan diketahui bersama IMF adalah salah satu agen dari negara barat untuk menanamkan nilai-nilai mereka di negara-negara yang dibantu pemulihannya. Apalagi IMF merupakan symbol atau cap bagi kehadiran investor asing untuk masuk ke suatu negara. Jelas disini, bahwa negara yang berada dalam pengawasan IMF, sedikit atau banyak akan memiliki ketergantungan kepada barat terutama Amerika sebagai Great Economic Power. Hal itulah yang sempat hampir menggelintirkan politik luar negeri Megawati pasca tragedy 11 September.
Kedua, dengan terjadinya polarisasi terutama terlihat dalam ekonomi, bisa menimbulkan kebingungan Indonesia untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif. Hal ini bisa ditenggarai dengan semakin dekatnya batas pemberlakuan AFTA dan APEC, mau tidak mau Indonesia harus include dengan system yang digulirkan oleh Amerika, mengingat Amerika memainkan peran di tiga sentral ekonomi dunia yaitu : NAFTA (Amerika Utara), Uni Eropa dan Asia Pasifik. Apalagi kalau dikaitkan dengan bukunya Francis Fukuyama The End of History, yang memandang bahwa persaingan ideology sekarang sudah berakhir yang dimenangkan oleh kapitalis-demokratis.
Kedua hal tersebut menguatkan pandangan bahwa dimasa yang akan datang, mau tidak mau posisi Indonesia yang bebas aktif akan lebih berwarna barat. Bebas aktif hanya sebatas konsep, tetapi dalam pelaksanaannya akan lebih cenderung ke barat. Namun jika ingin kembali diperhitungkan dan tetap dengan nuansa non-alignment, Indonesia harus secepatnya bangkit dari keterpurukan, kembali ke khittahnya sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri, tidak berkhianat kepada dasar dan tujuan negara, tidak mengkhianati rakyat, mengedepankan gotong royong untuk sama-sama bangkit dari keterpurukan.
Disamping itu, perlunya Indonesia menjadi lokomotor dalam berbagai kerjasama baik dalam kerangka multilateral seperti yang digagas oleh Gus Dur: Strategic partnerships dengan India dan Cina, Forum Pasifik Barat dengan Philipina, Papua Newguinea, Australia, New Zealand, dan Timor Leste, maupun bilateral, terutama bagi kepentingan pemulihan ekonomi. Indonesia juga perlu memperkuat dan mendorong reformasi dan demokratisasi lembaga-lembaga dan badan-badan internasional.
Polugri Indonesia Dalam konteks ASEAN Pada tanggal 12 Oktober 2003, sepuluh pemimpin ASEAN yang terdiri dari Thaksin Shinawatra (Thailand), Phan Van Khai (Vietnam), Sultan Hasanal Bolkiah (Brunai), Hun Sen (Kamboja), Megawati Soekarnoputri (Indonesia), Bounnhang Vorachith (Laos), Mahathir Muhammad (Malaysia), Khin Nyunt (Myanmar), Gloria Macapagal Arroyo (Philipina) dan Goh Chok Tong (Singapura), dalam KTT ke-9 ASEAN di Bali menandatangani pengesahan Bali Concord II, sebagai pernyataan kembali bahwa ASEAN merupakan satu kelompok negara yang terikat dalam kemitraan pembangunan yang dinamis serta masyarakat yang saling peduli.
Thaksin Shinawatra (Thailand)
Phan Van Khai (Vietnam)
Sultan Hasanal Bolkiah (Brunai)
Hun Sen (Kamboja)
Megawati Soekarnoputri (Indonesia)
Bounnhang Vorachith (Laos)
Mahathir Muhammad (Malaysia)
Khin Nyunt (Myanmar))
Gloria Macapagal Arroyo (Philipina)
Goh Chok Tong (Singapura)
Semangat Bali Concord II adalah dalam upaya mempersatukan kembali semangat kebersamaan diantara negara-negara yang tergabung dalam wadah ASEAN yang sempat tercerai berai pasca krisis yang berkepanjangan. Memang disadari bersama bahwasannya ASEAN pasca krisis telah kehilangan seorang Soeharto, yang diyakini bisa dijadikan perekat semu kebersamaan negara-negara tersebut. Sehingga pasca lengsernya Soeharto terjadi rebutan pengaruh diantara para pemimpin ASEAN untuk meneruskan tongkat kepemimpinan Indonesia dengan Soehartonya. Akibatnya masing-masing negara sibuk dengan agendanya masing-masing, dan tidak lagi memandang ASEAN sebagai lembaga pengikat mereka.
KTT ASEAN ke-9 di Bali mencoba untuk mencairkan kembali hubungan diantara negara-negara anggota yang semakin kurang kondusif. Seluruh peserta KTT sepakat untuk menciptakan komunitas ASEAN yang di dukung tiga pilar yakni: kerjasama politik dan keamanan (ASC = ASEAN Security Community), kerjasama ekonomi (AEC = ASEAN Economic Community) dan kerjasama sosial budaya (ASCC = ASEAN Socio - Culture Community)
ASC=ASEAN Security Community Bentuk kerjasama keamanan ASEAN ini usulannya datang dari Indonesia, yang diarahkan untuk kerjasama kawasan ASEAN agar hidup damai satu sama lain dalam lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis. ASC tidak diarahkan untuk menjadi pakta pertahanan, aliansi militer atau kebijakan luar negeri bersama, melainkan bertujuan untuk memperkuat kapasitas nasional dan regional dalam memberantas dan mencegah terorisme serta kejahatan lintas batas lainnya. ASC juga berfungsi memberikan jaminan agar kawasan Asia Tenggara tetap bebas dari semua senjata pemusnah massal. Selain itu, harus mampu menjadikan ASEAN memiliki kapasitas dan tanggung jawab yang lebih besar sebagai motor utama ASEAN Regional Forum (ARF).
Namun kehadiran ASC tidak secara otomatis mengkerdilkan perangkat politik lainnya seperti Deklarasi ZOPFAN, TAC (Treaty of Amity and Cooperation), dan perjanjian SEANWFZ, melainkan sebaliknya perangkat-perangkat tersebut harus terus berperan di kawasan Asia Tenggara untuk pembangunan, tindakan, diplomasi pencegahan, dan pendekatan kepada resolusi konflik. ASC diharapkan mampu menyelesaikan perbedaan pendapat secara damai serta berpandangan bahwa keamanan masing-masing saling terkait secara mendasar satu sama lain dan terikat lokasi geografis, visi, serta tujuan bersama. ASC akan mengedepankan prinsip-prinsip keamanan komprehensif meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial budaya sejalan dengan visi ASEAN 2020. Hal itu dengan memperhatikan kedaulatan masing-masing negara anggota untuk melaksanakan kebijakan luar negerinya maupun mengatur pertahanannya serta mempertimbangkan keterkaitan antara antara kenyataan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Pada konsep ASC, ASEAN harus terus meningkatkan solidaritas dan kerjasama kawasan dan menghormati hak negara anggota untuk menjalani kehidupan nasional yang bebas dari campur tangan dalam persoalan dalam negeri mereka. Sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip Hukum Internasional lainnya dan prinsip ASEAN yang non-interference, terutama tentang kedaulatan. ASC diharapkan dapat berperan lebih jauh dalam mempromosikan perdamaian dan keamanan di kawasan Asia Pasifik serta menggambarkan tekad ASEAN untuk melangkah maju.
AEC = ASEAN Economic Community Berdasarkan perkembangan global yang kian cepat, kebutuhan integrasi ekonomi ASEAN menjadi sangat mendesak. Pembentukan komunitas ekonomi ASEAN (AEC) selayaknya untuk secepatnya direalisasikan. Oleh karena itu, Singapura pada KTT ke-9 di Bali mengusulkan diwujudkannya AEC. Oleh karenanya 10 negara ASEAN, sebelum KTT sepakat untuk mempercepat integrasi ekonomi kawasan pada tahun 2010 untuk 11 sektor prioritas. Namun bagi negara yang belum siap, di perkenankan untuk mundur dari jadwal tersebut.
Dasar pertimbangan percepatan integrasi ekonomi sepuluh tahun lebih awal, karena sektor-sektor yang akan diintegrasikan sangat banyak dan bisa mencapai angka ribuan item. Oleh karena itu, percepatan sebelas sektor itu, dimaksudkan sebagai proyek percontohan untuk menimba pengalaman saat menerapkan komunitas ekonomi ASEAN secara menyeluruh tahun 2020
Komunitas Ekonomi ASEAN akan di tandai dengan adanya pasar dan basis produksi tunggal melalui arus pergerakan barang, jasa, investasi, tenaga kerja, serta modal yang lebih bebas. AEC merupakan salah satu pilar yang ingin di wujudkan menuju terbentuknya komunitas ASEAN. Pemerintah negara-negara ASEAN akan menyusun standardisasi dan kemudahan sistem kepabeanan untuk mempercepat terwujudnya konsep satu pasar ASEAN khususnya untuk sebelas sektor yang menjadi unggulan. Bali Economic Plan of Action juga memaparkan sebelas sektor yang menjadi prioritas untuk integrasi ekonomi ASEAN. Setiap negara yang di tunjuk akan menjadi ketua dalam pengembangan sektor tertentu.
Indonesia akan memimpin sektor produksi kayu (wood base product) dan automotif; Malaysia di bidang produksi karet (rubber base product), tekstil dan pakaian jadi; Myanmar diserahi upaya pengembangan produksi pertanian (agro base product) dan perikanan (fishery); Philipina elektronik; Singapura sektor e-bisnis dan perawatan kesehatan (health-care); Thailand sektor perhubungan udara (air travel) dan parawisata (tourism). Dengan percepatan sebelas sektor tersebut di harapkan ASEAN menjadi pasar yang menarik bagi investor. Dalam Bali Plan of Action juga di rekomendasikan agar sebelas sektor prioritas itu di dasarkan pada penggabungan kekuatan ekonomi negara anggota ASEAN demi keuntungan regional, memfasilitasi dan mempromosikan investasi intra-ASEAN, mengembangkan kondisi untuk menarik dan mempertahankan industri dan aktivitas ekonomi lain di dalam kawasan, mempromosikan program out-sourcing di dalam ASEAN serta mempromosikan pengembangan produk dan jasa “Buatan ASEAN”.
ASCC = ASEAN Socio - Culture Community ASCC di gagas oleh Philipina, dalam upaya mengintegrasikan kehidupan sosial dan budaya masyarakat ASEAN menjadi suatu komunitas yang memiliki ke khas-an di banding wilayah lainnya. Dalam lingkungan ASEAN seperti halnya Indonesia yang di kenal memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, lingkungan ASEAN juga memiliki perbedaan diantara anggota-anggotanya, tentu saja ada kebutuhan untuk bersatu menjadi vital.
Oleh karenanya dengan dicanangkannya komunitas ASEAN 2020 maka di selenggarakan berbagai event yang relevan, diantaranya adalah ASEAN Students Exchange. ASCC juga menangani kerjasama pada bidang pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan kemakmuran bersama di wilayah Asia Tenggara. Sasaran dari ASCC sebetulnya bisa saja berubah atau di kedepankan kalau kemampuan yang perlu di bangun sudah dapat di bangun. ASEAN mengembangkan soal tingkat pendidikan, sebab masih harus di kembangkan. Bila di lihat persentase orang yang mengenyam pendidikan tersier akademis di Indonesia hanya 2,4 %, Philipina mencapai 30-32 %, ini menjadi salah satu tugas dari ASCC.
SUMBER (Dikutip dari buku Ade Priangani dan Sigid Harimurti, Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Orde Baru, CEPLAS, Bandung, 2004, Bab II dan Bab V).