PERPAJAKAN INTERNASIONAL KREDIT PAJAK LUAR NEGERI DAN BADAN LUAR NEGERI TERKENDALI [ BAB 8 DAN 9 PAJAK INTERNATIONAL, GUNADI ] M. FIRDAUS WAHIDI S.E., M.E. 1 1
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 KREDIT PAJAK LUAR NEGERI ( K P L N )
UU No. 7 TAHUN 1983, SEBAGAIMANA TELAH DASAR HUKUM : UU No. 7 TAHUN 1983, SEBAGAIMANA TELAH DIRUBAH TERAKHIR DENGAN UU No. 36 TAHUN 2008, ( PAJAK PENGHASILAN). 2. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI No. 164/KMK.03/2002, TGL 19 APRIL 2002, TENTANG KREDIT PAJAK LUAR NEGERI (KPLN). PRINSIP : PENGHSAILAN YANG DIKENAKAN PAJAK BAGI WP DN ADALAH PENGHASILAN SELURUH DUNIA (WORLD WIDE INCOME) RUMUS KPLN : PENGHASILAN LUAR NEGERI PENGHASILAN KENA PAJAK X PPh TERUTANG
KEP MENKEU 164/KMK.03/2002 ( KREDIT PAJAK LUAR NEGERI ) PASAL 1 WAJIB PAJAK DALAM NEGERI TERUTANG PAJAK ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK YANG BERASAL DARI SELURUH PENGHASILAN TERMASUK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI LUAR NEGERI. (2) PENGGABUNGAN PENGHASILAN YANG BERASAL DARI LUAR NEGERI DILAKUKAN SEBAGAI BERIKUT : a. UNTUK PENGHASILAN DARI USAHA DILAKUKAN DALAM TAHUN PAJAK DIPEROLEHNYA PENGHASILAN TERSEBUT. b. UNTUK PENGHASILAN LAINNYA DILAKUKAN DALAM TAHUN PAJAK DITERIMANYA PENGHASILAN TERSEBUT. c. UNTUK PENGHASILAN BERUPA DEVIDEN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM Psl 18 Ayat (2) UNDANG-UNDANG No. 7 TAHUN 1983, SEBAGAIMANA TELAH DIRUBAH TERAKHIR DENGAN UU No. 36 TAHUN 2008, DILAKUKAN DALAM TAHUN PAJAK PADA SAAT PEROLEHAN DEVIDEN TSB DITETAPKAN SESUAI DG KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN. (3) KERUGIAN YANG DIDERITA DILUAR NEGERI TIDAK BOLEH DIGABUNGKAN DALAM MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK.
PASAL 2. (1) APABILA DALAM PENGHASILAN KENA PAJAK TERDAPAT PENGHASILAN YANG BERASAL DARI LUAR NEGERI, MAKA PAJAK PENGHASILAN YANG DIBAYAR ATAU TERUTANG DI LUAR NEGERI ATAS PENGHASILAN TERSEBUT DAPAT DIKREDITKAN TERHADAP PAJAK PENGHASILAN YANG TERUTANG DI INDONESIA. (2) PENGKREDITAN PAJAK SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA ANGKA (1) DIATAS, DILAKUKAN DALAM TAHUN PAJAK DIGABUNGKANNYA PENGSILAN DARI LUAR NEGERI TERSEBUT SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM Psl 1 Ayat ( 2 ). (3) JUMLAH KREDIT PAJAK SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA ANGKA (1) SETINGGI-TINGGINYA SAMA DENGAN JUMLAH PAJAK YG DIBAYAR ATAU TERUTANG DILUAR NEGERI, TETAPI TIDAK BOLEH MELEBIHI JUMLAH YG DIHITUNG MENURUT PERBANDINGAN ANTARA PENGHASILAN DARI LUAR NEGERI TERHADAP PENGHASILAN KENA PAJAK DIKALIKAN DENGAN PAJAK YANG TERUTANG ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK, ATAU SETINGGI- TINGGI NYA SAMA DENGAN PAJAK YANG TERUTANG ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK DALAM HAL PENGHASILAN KENA PAJAK LEBIH KECIL DARI PENGHASILAN LUAR NEGERI.
(4) APABILA PENGHASILAN LUAR NEGERI BERASAL DARI BEBERAPA NEGARA MAKA PENGHITUNGAN KREDIT PAJAK SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA ANGKA ( 3 ) DILAKUKAN UNTUK MASING-MASING NEGARA. PASAL 3 DALAM HAL JUMLAH PAJAK PENGHASILAN YANG DIBAYAR ATAU TERUTANG DILUAR NEGERI MELEBIHI JUMLAH KREDIT PAJAK YANG DIPERKENANKAN, SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM Psl 2, MAKA KELEBIHAN TERSEBUT TIDAK DAPAT DIPERHITUNGKAN DENGAN PAJAK PENGHASILAN YANG TER UTANG TAHUN BERIKUTNYA, TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA ATAU PENGURANG PENGHASILAN, DAN TDK DPT DIMINTAKAN RESTITUSI
PASAL 4 (1) UNTUK MELAKSANAKAN PENGKREDITAN PAJAK LUAR NEGERI, WP WAJIB MENYAMPAIKAN PERMOHONAN KEPADA DIREKTUR JENDERAL PAJAK DG DILAMPIRI : a. LAPORAN KEUANGAN DARI PENGHASILAN YG BERASAL DARI LUAR NEGERI. b. FOTOKOPI SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK YG DISAMPAIKAN DILUAR NEGERI c. DOKUMEN PEMBAYARAN PAJAK DI LUAR NEGERI. (2). PENYAMPAIAN PERMOHONAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI SEBAGAIMANA DIMAKSUD ANGKA ( 1 ) DIATAS DILAKUKAN BERSAMAAN DG PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN. PASAL 5 ATAS PERMOHONAN WP, DIREKTUR JENDERAL PAJAK DAPAT MEMPERPANJANG JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN LAMPIRAN-LAMPIRAN DIMAKSUD DALAM Psl 4 KARENA ALASAN-ALASAN DILUAR KEKUASAAN WAJIB PAJAK.
PASAL 7 PASAL 6 DALAM HAL TERJADI PERUBAHAN BESARNYA PENGHASILAN YANG BERASAL DARI LUAR NEGERI, WAJIB PAJAK HARUS MELAKUKAN PEMBETULAN SPT UNTUK TAHUN PAJAK YANG BERSANGKUTAN DENGAN MELAMPIRKAN DOKUMEN YANG BERKENAAN DENGAN PERUBAHAN TERSEBUT. (2) APABILA KARENA PEMBETULAN TSB PADA ANGKA (1) MENYEBABKAN PPh KURANG BAYAR, MAKA ATAS KEKURANGAN TSB TIDAK DIKENAKAN BUNGA SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM Psl 8 Ayat (2) UU No. 16 TAHUN 2000 (KUP). (3) APABILA KARENA PEMBETULAN TSB PADA ANGKA (1) MENYEBABKAN PPh LEBIH BAYAR, MAKA ATAS KELEBIHAN TSB DAPAT DIKEMBALIKAN KEPADA WP SETELAH DIPERHITUNGKAN DENGAN UTANG PAJAK LAINNYA PASAL 7 KETENTUAN LEBIH LANJUT MENGENAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN INI DITETAPKAN OLEH DIREKTUR JENDERAL PAJAK.
CONTOH-CONTOH PERHITUNGAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI. PT. A DI JAKARTA DALAM TAHUN 2009 MENERIMA DAN MEMPEROLEH PENGHASILAN NETO DARI SUMBER LUAR NEGERI SEBAGAI BERIKUT : a. HASIL USAHA DI SINGAPURA DALAM TAHUN PAJAK 2009 SEBESAR Rp 800.000.000. (SETELAH DIKURS DENGAN RUPIAH). b. DEVIDEN ATAS KEPEMILIKAN SAHAM PADA “X Ltd” DI AUSTRALIA SEBESAR Rp 200.000.000. (SETELAH DIKURS DG RUPIAH). YAITU BERASAL DARI KEUNTUNGAN TAHUN 2007, YANG DITETAPKAN DALAM RAPAT PEMEGANG SAHAM TAHUN 2008 TAPI BARU DIBAYARKAN DALAM TAHUN 2009. c. DEVIDEN ATAS PENYERTAAN SAHAM SEBANYAK 70% PADA “Y CORPORATION” DI HONGKONG YG SAHAMNYA TIDAK DIPERDAGANG KAN DI BURSA EFEK SEBESAR Rp 75.000.000. YAITU BERASAL DARI KEUNTUNGAN SAHAM TAHUN 2008, YG BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN DITETAPKAN DIPEROLEH TAHUN 2009. d. BUNGA KWARTAL IV TAHUN 2009 SEBESAR Rp 100.000.000. DARI “Z Sdn Bhd”di KUALA LUMPUR, YG BARU AKAN DITERIMA MEI 2010.
PENGHASILAN DARI SUMBER LUAR NEGERI YANG DIGABUNGKAN DENGAN PENGHASILAN DALAM NEGERI DALAM TAHUN PAJAK 2009, ADALAH PENGHASILAN PADA HURUF ( a ), ( b ), dan HURUF ( c ), SEDANGKAN PENGHASILAN PADA HURUF ( d ), DIGABUNGKAN DENGAN PENGHASILAN DALAM NEGERI TAHUN PAJAK 2010. DALAM MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK, KERUGIAN YANG DIDERITA OLEH WAJIB PAJAK DI LUAR NEGERI TIDAK BOLEH DIKOMPENSASIKAN DENGAN PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI DALAM NEGERI ( INDONESIA ). CONTOH: 2. PT. D DI JAKARTA MEMPEROLEH PENGHASILAN NETO TAHUN 2009 Sbb : a. DI NEGARA “X” MEMPEROLEH PENGHASILAN (LABA) Rp 1.000.000.000. DENGAN TARIF PAJAK DINEGARA TSB 40% (Rp 400.000.000.) b. DI NEGARA “Y” MEMPEROLEH PENGHASILAN (LABA) Rp 3.000.000.000. DENGAN TARIP PAJAKNYA SEBESAR 25% (Rp 750.000.000.) c. DI NEGARA “Z” MENDERITA KERUGIAN Rp 2.500.000.000. d. PENGHASILAN DARI DALAM NEGERI Rp 4.000.000.000.
PERHITUNGAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI ADALAH Sbb : PENGHASILAN LUAR NEGERI : a. PENGHASILAN (LABA) DI NEGARA X = Rp 1.000.000.000 b. PENGHASILAN (LABA) DI NEGARA Y = Rp 3.000.000.000 c. RUGI DI NEGARA Z = Rp____________ JUMLAH PENGHASILAN LUAR NEGERI = Rp 4.000.000.000 2. PENGHASILAN DALAM NEGERI = Rp 4.000.000.000 3. JUMLAH PENGHASILAN NETO = Rp 8.000.000.000 4. PPh TERUTANG TARIF PASAL 17 ( 28%) = Rp 2.240.000.000 5. BATAS MAX KPLN UNTUK MASING-MASING NEGARA ADALAH : a. UNTUK NEGARA X = 1.000.000.000 8.000.000.000 PAJAK YANG TERUTANG DI NEGARA X ADALAH Rp 400.000.000 NAMUN MAKSIMUM KREDIT PAJAK YANG DAPAT DIKREDITKAN ADALAH Rp 280.000.000 x. 2.240.000.000. = Rp 280.000.000.
b. UNTUK NEGARA Y = 3.000.000.000 8.000.000.000 PAJAK YANG TERUTANG DI NEGARA Y Rp 750.000.000. MAKA MAKSIMUM KREDIT PAJAK LUAR NEGERI YANG DAPAT DIKREDITKAN= Rp 750.000.000. JUMLAH KREDIT PAJAK LUAR NEGERI YANG DIPERKENANKAN adl: ( Rp 280.000.000. + Rp 750.000.000. ) = Rp 1.030.000.000. DARI CONTOH TERSEBUT DIATAS JELAS BAHWA DALAM MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK , KERUGIAN YANG DIDERITA DI LUAR NEGERI YAITU DI NEGARA Z SEBESAR Rp 2.500.000.000. TIDAK DAPAT DIPERHITUNGKAN. x 2.240.000.000. = Rp 840.000.000.
3. PAJAK ATAS PENGHASILAN DI LUAR NEGERI YANG DAPAT DIKREDITKAN TERHADAP PAJAK PENGHASILAN YANG TERUTANG OLEH WAJIB PAJAK ADALAH PAJAK ATAS PENGHASILAN TERUTANG ATAU DIBAYAR DI LUAR NEGERI. * YANG DIMAKSUD DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG TERUTANG DI LN ADALAH PAJAK ATAS PENGHASILAN YG BERKENAAN DENGAN USAHA ATAU PEKERJAAN DI LN. * SEDANGKAN YG DIMAKSUD DG PAJAK YG DIBAYAR DI LN ADALAH PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI MODAL DAN PENGHASILAN LAINNYA DI LUAR NEGERI MISALNYA : BUNGA, DEVIDEN DAN ROYALTY.
PT. A DI JAKARTA DALAM TAHUN 2009 MENERIMA DEVIDEN DARI “B Ltd” DI BELANDA SEBESAR Rp 100.000.000. YANG BERASAL DARI KEUNTUNG AN TAHUN 2008. ATAS DEVIDEN TERSEBUT TELAH DIPOTONG PPh 10%. OLEH PEMERINTAH BELANDA. ADAPUN PENGHASILAN DARI USAHA DI DALAM NEGERI TAHUN PAJAK 2009 BERJUMLAH Rp 400.000.000. PENGKREDITAN PAJAK LUAR NEGERI SEBESAR Rp 10.000.000. ( 10% x Rp 100.000.000. ) DILAKUKAN PADA TAHUN 2009 , YAITU PADA TAHUN PENGGABUNGAN PENGHASILAN DEVIDEN DARI “B Ltd”, KARENA DEVIDEN TERSEBUT DITERIMA TAHUN 2009. DALAM HAL PT. A MEMPUNYAI PENYERTAAN PADA BADAN USAHA YANG BERKEDUDUKAN DI NEGARA TERTENTU SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM Psl 18 Ayat ( 2 ) UU 36 TAHUN 2008. PPh, MAKA PENGKREDITAN PAJAKNYA TIDAK HARUS PADA TAHUN YANG SAMA DENGAN PENGGABUNGAN PENGHASILAN. ..
KALAU TERJADI KERUGIAN DI DALAM NEGERI PT. B. DI JAKARTA MEMPEROLEH PENGHASILAN NETO DLM TAHUN 2009 Sbb : PENGHASILAN USAHA DI LUAR NEGERI Rp 1.000.000.000. - RUGI USAHA DI DALAM NEGERI Rp 200.000.00. PAJAK ATAS PENGHASILAN DI LN MISALNYA 40% = Rp 400.000.000 PERHITUNGAN MAKSIMUM KREDIT PAJAK LUAR NEGERI SERTA PAJAK TERUTANG ADALAH SEBAGAI BERIKUT : PENGHASILAN USAHA DI LUAR NEGERI = Rp 1.000.000.000 RUGI USAHA DI DALAM NEGERI = ( Rp 200.000.000) PENGHASILAN NETO = Rp 800.000.000 PPh TERUTANG MENURUT TARIF Pasal 17 ( 28% ) = Rp 224.000.000 MAKA MAKSIMUM KREDIT PAJAK LUAR NEGERI ADALAH : 1.000.000.000 800.000.000 x 224.000.000. = Rp 280.000.000.
OLEH KARENA PAJAK YANG DIBAYAR DI LUAR NEGERI DAN BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK LUAR NEGERI YANG DAPAT DIKREDITKAN MASIH LEBIH BESAR DARI JUMLAH PAJAK YANG TERUTANG , MAKA KREDIT PAJAK LUAR NEGERI YANG DIPERKENANKAN UNTUK DIKREDITKAN DALAM PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN ADALAH SEBESAR PAJAK PENGHASILAN YANG TERUTANG YAITU SEBESAR Rp 224.000.000. APABILA PENGHASILAN LUAR NEGERI BERSUMBER DARI BEBERAPA NEGARA, MAKA JUMLAH MAKSIMUM KREDIT PAJAK LUAR NEGERI DIHITUNG UNTUK MASING-MASING NEGARA DENGAN MENERAPKAN CARA PENGHITUNGAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (3). CONTOH : 5 . PT.C DI JAKARTA DALAM TAHUN 2009 MEMPEROLEH PENGHASILAN NETO Sbb : a. PENGHASILAN DARI DALAM NEGERI Rp 2.000.000.000 b. PENGHASILAN DARI NEGARA X Rp 1.000.000.000 ( DENGAN TARIP PAJAK 40% ). c. PENGHASILAN DARI NEGARA Y Rp 2.000.000.000 ( DENGAN TARIP PAJAK 30% ) JUMLAH PENGHASILAN NETO = Rp 5.000.000.000 APABILA PENGHASILAN NETO SAMA DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK, MAKA PAJAK PENGHASILAN TERUTANG MENURUT TARIP Psl 17 ADALAH SEBESAR Rp 1.400.000.000 . BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK LUAR NEGERI UNTUK SETIAP NEGARA ADALAH :
PAJAK YANG TERUTANG DILUAR NEGERI SEBESAR Rp 400.000.000.- UNTUK NEGARA X = 1.000.000.000. 5.000.000.000. PAJAK YANG TERUTANG DILUAR NEGERI SEBESAR Rp 400.000.000.- LEBIH BESAR DARI BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK YANG DAPAT DIKREDITKAN, MAKA JUMLAH YANG DIPERKENANKAN HANYA SEBESAR Rp 280.000.000.- b. UNTUK NEGARA Y = 2.000.000.000. PAJAK YANG TERUTANG DI LUAR NEGERI SEBESAR Rp 600.000.000. LEBIH BESAR DARI BATAS KREDIT PAJAK YANG DAPAT DIKREDITKAN, MAKA JUMLAH KREDIT PAJAK YANG DIPERKENANKAN HANYA SEBESAR Rp 560.000.000. X 1.400.000.000. = Rp 280.000.000. X 1.400.000.000. = Rp 560.000.000.
PEMBETULAN SPT TAHUNAN KARENA PERUBAHAN PENGHASILAN DARI LUAR NEGERI, DILAKUKAN SEBAGAI BERIKUT : CONTOH : PENGHASILAN LN ( MENURUT SPT ) Rp 1.000.000.000. PENGHASILAN DALAM NEGERI Rp 2.000.000.000. PENGHASILAN LN ( SETELAH DIKOREKSI DI LN) Rp 2.000.000.000. PAJAK PENGHASILAN YG TERUTANG DI LN MISALNYA 40%. PPh Psl 25 YANG DIBAYAR Rp 500.000.000. PPh TERUTANG SEBELUM DAN SESUDAH KOREKSI FISKAL DI LN Sbb : SPT SPT PEMBETULAN 1. PENGHASILAN LN Rp 1.000.000.000. 1. PENGHASILAN LN Rp 2.000.000.000. 2. PENGHASILAN DN Rp 2.000.000.000. 2. PENGHASILAN DN Rp 2.000.000.000. 3. P K P Rp 3.000.000.000. 3. P K P Rp 4.000.000.000. 4. PPh TERUTANG Rp 840.000.000. 4. PPh TERUTANG Rp 1.120.000.000. 5. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI : 5. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI : 1.000.000.000. 2.000.000.000. 3.000.000.000. 4.000.000.000. 6. PPh YG HARUS BAYAR Rp 560.000.000. 6. PPh YG HARUS BAYAR Rp 560.000.000. 7. PPh Psl 25 Rp 500.000.000. 7. PPh Psl 25 Rp 500.000.000. 8. PPh Psl 29 Rp 60.000.000. 8. KURANG BAYAR Rp 60.000.000. 9.PPh 29 Rp 60.000.000 10. HARUS BAYAR LAGI Rp N I H I L X 840.000.000. = Rp 280.000.000. X 1.120.000.000.= 560.000.000.
DAPAT PULA TERJADI BAHWA KOREKSI FISKAL DI LN BERUPA KOREKSI YANG MENYEBABKAN PENGHASILAN DAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG TERU TANG DI LN LEBIH KECIL DARI YANG DILAPORKAN DALAM SPT TAHUNAN, SEHINGGA PAJAK DI LN MENJADI LEBIH BAYAR. KOREKSI FISKAL DI LN TERSEBUT AKAN MENGAKIBATKAN PPh TERUTANG DI INDONESIA JUGA MENJADI LEBIH KECIL, SEHINGGA PPh MENJADI LEBIH BAYAR. KELEBIHAN BAYAR PAJAK TERSEBUT DAPAT DIKEMBALIKAN KEPADA WP SETELAH DIPERHITUNGKAN DENGAN UTANG PAJAK LAIN. CONTOH : PENGHASILAN LN ( MENURUT SPT ) Rp 1.000.000.000. PENGHASILAN DALAM NEGERI Rp 2.000.000.000. PENGHASILAN LN ( SETELAH DIKOREKSI DI LN ) Rp 500.000.000. PAJAK ATAS PENGHASILAN YG TERUTANG DI LN 40%. - PPh Psl 25 YANG DIBAYAR Rp 500.000.000.
SPT (Rp) SPT PEMBETULAN(Rp) BACK 1. PENGHASILAN LUAR NEGERI. 2. PENGHASILAN DALAM NEGERI. 3.PENGHASILAN KENA PAJAK 4.PPh TERUTANG 5. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI 1.000.000.000.X Rp 840.000.000. 3.000.000.000. 6.HARUS DIBAYAR DI INDONSIA 7.PPh PASAL 25 8.PPh PASAL 29 1.000.000.000. 2.000.000.000. 840.000.000. = 280.000.000. 560.000.000. 500.000.000. 60.000.000. 1. PENGHASILAN LUAR NEGERI 2. PENGHAISILAN DALAM NEGERI 3. PENGHASILAN KENA PAJAK 4. PPh TERUTANG 500.000.000 X Rp 700.000.000. 2.500.000.000. 6. HARUS DIBAYAR DI INDONSIA 7. PPh PASAL 25 8. KURANG BAYAR 9. PPh PSL 29 TELAH BAYAR 10. LEBIH BAYAR 700.000.000. = 140.000.000. N I H I L BACK