Formulasi Mikroemulsi Kurkumin Dari Ekstrak Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Sebagai Analgetik KELOMPOK 5 Fera Febriani (1041411064) Hidayatul Laili (1041411076) Mardiana Nur Astuti (1041411093) Nii Nyoman Candrika Maitri (1041411107) Sofia Atika (1041311146)
PENDAHULUAN Tanaman obat yang termasuk suku Zingiberaceae, simplisia temu lawak merupakan bahan yang terbanyak dipakai di dalam negeri untuk pabrik jamu atau obat tradisional. Selain digunakan di dalam negeri, simplisia temu lawak juga diekspor ke Singapura, Jerman, dan Taiwan (Syukur & Hernani 2002).
Tanaman temulawak secara empirik banyak digunakan sebagai obat dalam bentuk tunggal maupun campuran untuk mengatasi gangguan-gangguan saluran cerna, gangguan aliran getah empedu, sembelit, radang rahim, kencing nanah, kurang nafsu makan, radang lambung, cacar air, dan terdapat beberapa penelitian yang melaporkan bahwa temulawak memiliki aktivitas antitumor, antikanker dan hepatoprotektif (Sidik, dkk., 1992; Bejawan et al., 2003). Kandungan minyak atsiri dalam rimpang terdiri atas kurkumin, kamfer, glukosida, zat pati, felandren, mirsen, isofuranogermacreene, dan xantorizol (Duryatmo 2003).
Pengertian Mikroemulsi adalah dispersi cair transparan dengan ukuran tetesan 20-200 nm. Keuntungan mikroemulsi yaitu meningkatkan kelarutan obat, stabil secara termodinamik, mudah dibuat dan biaya murah (Neubert, 2011). Selain itu mikroemulsi juga dapat meningkatkan permeasi obat lipofilik serta obat hidrofilik. Mikroemulsi yang merupakan agregat stabil, mampu melarutkan sejumlah kuantitas bahan larut minyak, larut air dan ampifilik karena antar mukanya yang ekstensif, keberadaan air dan minyak.
Senyawa kurkumin Kurkumin[1, 7-bis (4,hidroksi-3-metoksifenil)- 1,6-heptadiene-3, 5-dion] adalah pigmen kuning yang diekstrak dari tanaman rimpang family jahe antara lain: Curcuma longa, Curcuma domestica (kunyit) dan Curcuma xanthorrhiza (temulawak). Berikut struktur kimia kurkumin : Kurkumin (C21H20O6) atau diferuloyl methane
Manfaat kurkumin Curcumin memiliki efek antiinflamasi, anti-proliferatif, antioksidan, serta anti-nfeksi. Sehingga digunakan sebagai terapi beberapa penyakit seperti osteoarthritis, hepatitis, Alzheimer, dislipidemia, terapi luka, diabetes, obesitas dan sindrom metabolik (Aggarwal, 2013). Minyak atsiri dalam ekstrak kunyit dapat menurunkan lemak abdominal melalui regulasi ekspresi beta oksidasi peroksisom di hati. Curcumin dan minyak atsiri juga bekerja secara sinergis dalam regulasi gen-gen yang mengatur metabolisme lemak (Honda, 2006).
Isolasi dan ekstraksi Serbuk rimpang temu lawak (5945 g) dimasukkan ke dalam maserator yang pada bagian bawahnya telah dilapisi dengan kapas ditambahkan pelarut methanol secukupnya dan dibiarkan kira-kira 10 menit agar proses pembasahan simplisia berlangsung Proses maserasi tersebut dilakukan selama 3 x 24 jam sambil sesekali diaduk-aduk. Setiap 24 jam ekstrak ditampung dan pelarut diganti dengan yang baru Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan penguap vakum putar pada suhu 40-50 ºC Ekstrak kental yang diperoleh difraksionasi dengan cara partisi menggunakan campuran air-etil asetat (1:1) hingga diperoleh fraksi air dan fraksi etilasetat.
Setelah itu dilakukan isolasi Setelah itu dilakukan isolasi. senyawa aktif dari fraksi etil asetat dengan metode kromatografi cair vakum (KCV) menggunakan fase diam silika gel 60 H (Merck), fase gerak n-heksan-etil asetat dengan kepolaran yang bertambah secara bergradien dilanjutkan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif menggunakan fase diam silika gel 60 (Merck) dan larutan pengembang toluen-etilasetat (99:1) Uji kemurnian isolat dilakukan dengan analisis KLT, menggunakan fase diam silika gel GF254, fase gerak toluen-etil asetat (99:1) KLT dua arah menggunakan dua fase gerak yang berbeda, yaitu toluen-etil asetat (99:1) dan n-heksanetil asetat (6:4)
METODE PENELITIAN 1. Seleksi Berdasarkan pengalaman, rimpang temulawak berkhasiat sebagai analgetik. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang melaporkan bahwa kandungan kurkumin dari temulawak memiliki aktivitas menghilangkan rasa nyeri (MTIC 2002). 2. Uji preklinik Uji toksisitas Uji toksisitas akut menggunakan metode OECD 423. Digunakan 18 ekor tikus betina yang setiap kelompoknya terdiri dari 3 tikus betina. Kelompok I = Kelompok normal diberikan Na CMC 1% Kelompok II = Dosis ekstrak kurkumin 5mg/kgBB Kelompok III = Dosis ekstrak kurkumin 50mg/kgBB Kelompok IV= Dosis ekstrak kurkumin 300mg/kgBB Kelompok V = Dosis ekstrak kurkumin 2000mg/kgBB Kelompok VI= Dosis ekstrak kurkumin 5000mg/kgBB
Cara Kerja : Tikus dipuasakan dulu selama 3-4 jam sebelum perlakuan Cara Kerja : Tikus dipuasakan dulu selama 3-4 jam sebelum perlakuan. Setelah dipuasakan tikus ditimbang dan diberikan perlakuan. Setelah diberi perlakuan tikus dipuasakan selama 1-2 jam, lalu diberi makan kembali. Tikus diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan selanjutnya diamati selama 14 hari. Tanda tanda toksisitas yang diamati meliputi kulit dan bulu, mata, letargi (kelesuan), konvulsi (kejang), tremor (gemetar), diare, dan mati. Data yang diperoleh diolah secara statistic dengan SPSS dan uji anova. Perhitungan LD50 menggunakan software AOT 425 StatPgm. Pada hari ke 14 semua tikus dimatikan untuk dilihat organ heparnya.
Uji farmakodinamik Dilakukan pada 28 ekor tikus putih jantan galur wistar yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok I= Kontrol negative KelompokII=Dosis ekstrak kurkumin 40mg/kgBB Kelompok III = Dosis ekstrak kurkumin 80mg/kgBB Kelompok IV= Dosis ekstrak kurkumin160mg/kgBB Metode induksi menggunakan metode Tail Immersion.
Cara kerja: Tikus diadaptasi terlebih dahulu selama 1 minggu Cara kerja: Tikus diadaptasi terlebih dahulu selama 1 minggu. Kemudian tikus diukur berat badannya. Kemudian dikelompokkan menjadi 4 kelompok dengan pembagian seperti diatas. 60 menit setelah pemberian dosis pada masing masing kelompok dilakukan proses induksi dengan cara mencelupkan ekor tikus pada air panas dengan suhu 45ᵒC-55ᵒC. Catat latency time nya. Latency time adalah waktu yang dibutuhkan oleh tikus dari dicelupkannya ekor tikus hingga menunjukkan respon nyeri atau belum ada respon setelah 30 detik maka induksi dihentikan dan catat latency time nya. Hasil pengukuran dianalisis dengan uji anova.
3. Standarisasi sederhana Penentuan Identitas Metode Ekstraksi Serbuk rimpang temu lawak (5945 g) dimasukkan ke dalam maserator yang pada bagian bawahnya telah dilapisi dengan kapas, kemudian ditambahkan pelarut methanol secukupnya dan dibiarkan kira-kira 10 menit agar proses pembasahan simplisia berlangsung, kemudian ditambahkan pelarut metanol sampai seluruh serbuk terendam. Proses maserasi tersebut dilakukan selama 3 x 24 jam sambil sesekali diaduk-aduk. Setiap 24 jam ekstrak ditampung dan pelarut diganti dengan yang baru.
Isolasi Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan penguap vakum putar pada suhu 40- 50ºC dan kecepatan putar 80 rpm, lalu diuapkan di atas penangas air pada suhu 40 ºC sampai berat ekstrak konstan. Ekstrak kental yang diperoleh difraksionasi dengan cara partisi menggunakan campuran air-etil asetat (1:1) hingga diperoleh fraksi air dan fraksi etilasetat. Setelah itu dilakukan isolasi. senyawa aktif dari fraksi etil asetat dengan metode kromatografi cair vakum (KCV) menggunakan fase diam silika gel 60 H (Merck), fase gerak n-heksan-etil asetat dengan kepolaran yang bertambah secara bergradien, dilanjutkan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif menggunakan fase diam silika gel 60 (Merck) dan larutan pengembang toluen-etilasetat (99:1). Uji kemurnian isolat dilakukan dengan analisis KLT, menggunakan fase diam silika gel GF254, fase gerak toluen-etil asetat (99:1), dan KLT dua arah menggunakan dua fase gerak yang berbeda, yaitu toluen-etil asetat (99:1) dan n-heksan : etil asetat (6:4) (Musfiroh dkk., 2011).
Identifikasi Isolat Rimpang Temulawak Konfirmasi kemurnian isolat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis dua dimensi menggunakan dua sistem pengembang yang berbeda. Pengembang pertama toluen-etilasetat (99:1) dan kedua n-heksan- etilasetat (6:4). Bercak yang diperoleh memberikan bercak tunggal pada deteksi menggunakan aniline sulfat 10% (Musfiroh dkk., 2011). Identifikasi isolat rimpang temulawak dilakukan dengan metode spektrometri ultraviolet, inframerah, dan massa. Isolat murni selanjutnya ditentukan strukturnya dengan spektrometer FTIR (Perkin Elmer Spectrum one), NMR 1D (1H (500 Mhz) dan 13 C (125 MHz) Agilent DD2), NMR 2D (HMQC=Heteronuclear Multiple Quantum Coherence dan HMBC=Heteronuclear Multiple Bond Coherence) dan spektrometer massa (MS) (Hartiwi Diastuti dkk., 2011).
Penapisan fitokimia Dilakukan terhadap simplisia, ekstrak metanol, dan fraksi etilasetat dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis. Kondisi KLT yang digunakan adalah sebagai berikut : Fase diam : Silika gel F 254 nm Fase gerak : toluene : etil asetat (93:7) Penampak Bercak : vanillin sulfat 10%
Formula Sistem mikroemulsi Sediaan Gel R/Ekstrak 0,5 Isopropil meristat 1,56 Tween 80 14,13 Air suling 14,13 R/ Mikroemulsi 30 Na-CMC 5% Gliserin 10% Propilenglikol 5% Aquades ad100%
3. Evaluasi Sediaan Sistem Mikroemulsi Pengujian organoleptis. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan organoleptis (bau, warna, dan kejernihan), pemeriksaan pH dan viskositas. Uji stabilitas sediaan mikroemulsi dengan metode freeze and thaw Pengujian dilakukan dengan memasukkan sediaan mikroemulsi ke dalam vial yang ditempatkan pada suhu rendah ± 4°C selama 24 jam. Lalu sediaan dipindahkan pada suhu tinggi ± 40°C selama 24 jam, dilakukan selama 6 siklus. Sediaan Gel Uji Organoleptik Meliputi pemeriksaan bau, warna, dan kejernihan pemeriksaan pH dan viskositas.
Uji homogenitas Caranya, gel dioleskan pada kaca transparan dimana sediaan diambil 3 bagian yaitu atas, tengah dan bawah. Homogenitas ditunjukkan dengan tidak adanya butiran kasar (Ditjen POM, 2000). Uji pH Uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan gel untuk menjamin sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada kulit. pH sediaan gel diukur dengan menggunakan stik pH universal. Stik pH universal dicelupkan ke dalam sampel gel yang telah diencerkan, diamkan beberapa saat dan hasilnya disesuaikan dengan standar pH universal. pH sediaan yang memenuhi kriteria pH kulit yaitu dalam interval 4,5 – 6,5 (Tranggono dan Latifa, 2007). Uji Daya Sebar Uji daya sebar dilakukan untuk menjamin pemerataan gel saat diaplikasikan pada kulit yang dilakukan segera setelah gel dibuat. Gel ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian diletakkan ditengah kaca bulat berskala. Di atas gel diletakkan kaca bulat lain atau bahan transparan lain dan pemberat sehingga berat kaca bulat dan pemberat 150 g, didiamkan 1 menit, kemudian dicatat diameter penyebarannya. Daya sebar gel yang baik antara 5-7 cm (Garget al.,2002). Uji Konsistensi Uji konsistensi dilakukan untuk mengetahui stabilitas sediaan gel yang dibuat dengan cara mengamati perubahan konsistensi sediaan setelah disentrifugasi Uji konsistensi dilakukan dengan cara mekanik menggunakan sentrifugator dengan cara sediaan disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 5 jam. Perubahan fisik diamati apakah terjadi pemisahan atau bleeding antara bahan pembentuk gel dan pembawanya yaitu air dan pengujian hanya dilakukan pada awal evaluasi (Djajadisastra, 2009).
4. Uji klinik Dilakukan studi klinik kurkumin dengan cara 25 pasien diterapi dengan sediaan gel yang dioleskan 2x sehari selama 2 bulan. Kemudian dimonitor responnya.
KESIMPULAN Dibuat sediaan mikroemulsi dalam gel dengan bahan aktif senyawa kurkumin dari ekstrak temulawak. Pembuatan sediaan mikroemulsi dalam bentuk gel diharapkan mampu mengurangi rasa nyeri. Diharapkan dengan dibuatnya sediaan mikroemulsi sediaan akan lebih stabil dan tidak mudah rusak. SARAN Kurkumin dibuat bentuk mikroemulsi dalam sediaan oral Diharapkan Formulasi mikroemulsi dapat dikembangkan lebih lanjut