Bung Hatta sebagai Model Kepemimpinan

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
5 JULI AGENDA-AGENDA MENDASAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI DIY WURYADI KETUA DEWAN PENDIDIKAN DIY.
Advertisements

Amanat pada Hari Kooperasi I 12 Juli 1951 Apabila kita membuka undang-undang dasar negara kita, dan membaca dan merenungkan isi pasal 38*), maka tampaknya.
Thomas Suyatno. Pengantar Rupanya suatu komitmen yang lebih aktif dan lebih kreatif ingin dikembangkan, ditingkatkan, dan dimobilisasi oleh Koordinator.
Materi kuliah Pemilu dan Perilaku Politik
BAB 3 JATI DIRI SERTA SITEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI PGRI
UNDANG UNDANG DASAR NRI TAHUN 1945 DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Hakikat PKn.
Nama Dosen : Bpk Mujiyono
I. PENGERTIAN DASAR KOPERASI
WAWASAN NUSANTARA Oleh : Aditya Hendra Moh. Khoirul Anwar
BAB VIII POLITIK.
BAB 3 Berkomitmen Terhadap Kaedah Pokok Fundamental
Matakuliah : J0072 – Ekonomi Koperasi Tahun : 2006 Versi : R1
KEWIRAUSAHAAN (ENTREPREUNERSHIP)
Kelompok 2 Nama anggota : Ajeng Bella P. (02) Amalia Utami (03)
Perkembangan Koperasi di Era Reformasi
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
BAB 1 Pembelaan Negara A. Negara B. Pentingnya Usaha Pembelaan Negara
Bapak Bangsa Sejati Mohammad Hatta
PEMAHAMAN WARGA NEGARA TENTANG KONSTITUSI DAN HAK ASASI WARGA NEGARA
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
KEPEMIMPINAN DALAM POLITIK DAN PEMERINTAHAN (KEPEMIMPINAN BIROKRASI)
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
Latar Belakang, Konsep, Implementasi dan Tantangan
NILAI DAN PRINSIP Nilai-nilai 1945
NILAI DAN PRINSIP Nilai-nilai 1945
TUGAS PANCASILA Oleh Nurita Armiddina (A1D515024) Administrasi Pendidikan Universitas Jambi.
PERTEMUAN 4 HARLINDA SYOFYAN, S.Si., M.Pd
Pertemuan I Pendahuluan Poni Sukaesih Kurniati, S.IP., M.Si.
Pendapat Tentang Sarjana
ORGANISASI, KEPEMIMPINAN & PERILAKU ADMINISTRASI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Sebagai Wartawan Sebagaimana dengan Bung Karno, Bung Hatta meyakini pentingnya peranan pers. Tidak banyak orang yang mengetahui betapa ampuhnya senjata.
Pertemuan I Pendahuluan Poni Sukaesih Kurniati, S.IP., M.Si.
KOMPETENSI V PERTEMUAN MINGGU VI
KOMPETENSI !V V PERTEMUAN MINGGU VI
KOPERASI & kewirausahaan
Pertemuan I Pendahuluan Poni Sukaesih Kurniati, S.IP., M.Si.
SISTEM EKONOMI Pertemuan 4.
Kepemimpinan dan Budaya Pelayanan
Pendidikan Kewarganegaraan
Gerakan Kemandirian Nasional
Kekuasaan Negara.
Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraa Republik Indonesia
Pengertian, Asas dan Prinsip Koperasi
Apa dan Mengapa Demokrasi?
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
Pertemuan I Pendahuluan Poni Sukaesih Kurniati, S.IP., M.Si.
AKUNTABILITAS BIROKRASI
UUD 1945 Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum diamandemen yang terdiri dari : Pembukaan UUD.
EKONOMI KOPERASI Koperasi adalah organisasi bisnis yang mempunyai kepentingan yang sama bagi para anggotanya. Dalam melaksanakan usahanya, koperasi terletak.
PENDIDIKAN PANCASILA BAB. X. Petumbuhan Faham Kebangsaan
POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL
Masyarakat madani.
Geostrategi Nasional Pengertian geostrategi:
Undang Undang Sisdiknas no. 20 Tahun 2003
Presented By: Lailatul Hikmah
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
JATI DIRI KOPERASI PENGERTIAN? LANDASAN,ASAS,TUJUAN KOPERASI?
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN GURU
Peran Politik Luar Negeri dalam Hubungan Internasional Kelompok 6 1.DINDA APRILLA PRATIWI 2.DESI ERIKA 3.EDO SUSANTO 4.QOLBIYAH KHOIRUNNISA 5.SAHVIRAH.
UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945 Pembukaan
Pendidikan Kewarganegaraan
Toman Sony Tambunan, S.E, M.Si NIP
WAWASAN NUSANTARA Latar Belakang, Konsep, Implementasi dan Tantangan.
RIA KURNIASARI. KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menganalisis hakikat, fungsi dan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di SD.
Agama Bahá’i.
1 PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN Gede Raka Departemen Teknik Industri ITB 19 April 2004.
KEWARGANEGARAAN Ary Handayani 1. Menggali sumber sosiologis & politis tentang pendidikan kewarganegaraan di Indonesia Membangun argumen tentang dinamika.
Desentralisasi atau otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Transcript presentasi:

Bung Hatta sebagai Model Kepemimpinan Setahun usia pemerintah Presiden Megawati Soekarnoputri mengundang penilaian atas kepemimpinannya. Di antaranya, kepemimpinannya dinilai tidak jelas visinya, tidak komunikatif, tidak menggelombangkan semangat ke rakyat, tidak pula menggerakkan birokrasi pemerintahannya. Disorot tajam, kepemimpinannya yang belum menciptakan iklim dimulainya suatu pemerintahan yang bersih ke dalam serta membangkitkan gelombang kebersihan ke seluruh birokrasi serta lingkungan masyarakat, termasuk elite politik maupun masyarakat bisnis. Lagi-lagi tergiang kata bersayap pujangga Friedrich von Schiller yang sering dikutip Bung Hatta “zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil”. Sekurang-kurangnya suatu zaman pancaroba dan zaman peralihan menerpa bangsa Indonesia. Seorang pemimpin diperlukan. Pemimpin macam apa. Pertanyaan pemimpin macam apa semakinmendesak, ketika orang melihat ke kiri dan ke kanan dan tidak pula merasa menemukan sosok yang sepadan dengan tangtangan zaman. Suatu hasil polling menunjukkan dari kalangan muda pun, sosok-sosok pemimpin belum tampil secara meyakinkan. Demikianlah, pemimpin disorot sebagai persoalan besar yang dihadapi bangsa. Suatu koinsidensi yang mencerahkan pun tiba. Pada tanggal 12 Agustus 2002 genaplah usia Bung Hatta. Peringatan seabad pejuang, pendiri bangsa dan koproklamator bergaung luas dan marilah kita cerna agar bergaung mendalam pula. Zaman besar di masa lampau, yakni zaman kebangkitan, pergerakan dan perjuangan kemerdekaan telah berhasil menemukan orang-orang besar pula. Mereka itulah para penggerak dan pendiri bangsa. Beberapa mencuat dan menonjol di atas rekan-rekan se zamannya. Seorang di antaranya adalah Mohammad Hatta. Sungguh suatu anugerah zaman, bahwa seabad peringatannya jatuh ketika kita, bangsa Indonesia, sedang membuka mata-telinga, pikiran dan hati untuk belajar dari pengalaman sejarah bangsa sendiri serta pengalaman sejarah bangsa-bangsa lain. Setiap pemimpin bangsa meninggalkan sosok, kepribadian, karakter, visi, komitmen, serta pergulatan dan suri tauladan yang dapat diambil hikmahnya. Untuk menghadapi pancarobanya perubahan zaman seperti kita jalani sekarang ini, sosok Bung Hatta benar-benar suatu mercusuar. Ambillah tugas pemimpin yang paling mendesak dewasa ini, ialah menyelenggarakan pemerintah dan pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan kekuasaan, wewenang, kesempatan, dan koneksi. Dan dengan demikian juga suatu pemerintah yang mau dan mampu menghentikan proses degradasi dan demoralisasi bangsa dalam urutan yang paling sentral dan menentukan yakni penyelenggaraan kekuasaan. Bung Hatta berpuluh tahun berada di sentral kekuasaan. Ia mempunyai modal pengabdian yang sekiranya ia kemudian akan menagihnya untuk kepentingan pribadi, masyarakat dan lingkungan akan menenggangnya. Ia tidak memanfaatkannya. Ia tidak memanfaatkan sampai akhir hayatnya. Pemimpin-pemimpin lain jatuh bangun, terutama dalam ranah penggunaan kekuasaan dan kesempatan. Bung Hatta uncorruptable, tak terkorupsikan ketika memegang kekuasaan. Tidak pula memanfaatkan modal pengabdian maupun koneksi, ketika dengan sukarela meninggalkan kekuasaan. Patut dipelajari, mengapa ia sanggup tak terkorupsikan sementara yang lain-lain, termasuk Bung Karno jatuh bangun. Ada elemen keagamaan pada sosok pribadinya yang difahami serta dihayati secara serius sekaligus dengan pandangan yang tercerahkan oleh pendalamannya terhadap falsafah Barat dan Marxis. Begitu di antaranya, penjelasan Malvin Rose, penulis biografi politik Mohammad Hatta. Faham dan perjuangannya menegakkan Kedaulatan Rakyat dipengaruhi latar belakang Minangkabau yang egaliter serta lebih bebas dari struktur dan kultur feodal daripada di Jawa. Sesuai pula dengan kepribadiannya yang introver dan kaku, jika ia secara konsisten dan secara konsekuen menempuh jalan lurus. Namun ada hal lain yang terutama untuk zaman sekarang, perlu ditegaskan. Mohammad Hatta berhasil menumbuhkan pada pribadinya, pilihan dan komitmen asketisme. Yakni asketisme seorang pemimpin. Lagi-lagi kata Malvin Rose, ia mendisiplinkan diri sendiri untuk menekan nafsu dan emosi alamiah dengan cara memusatkan seluruh jati dirinya pada pencapaian kemerdekaan Indonesia. Ia barulah berkeluarga setelah Indonesia Merdeka. Ia melanjutkan asketismenya dalam menyelenggarakan kekuasaan dan ketika berada di tengah kekuasaan. Kecuali pemahaman, asketisme seperti dihayati oleh Bung Hatta adalah soal pilihan. Memang pilihan itu menjadi bagian bahkan faktor yang menentukan apakah kepemimpinannya berhasil atau tidak Mengenai pilihan ini, sebaiknya ditegaskan dan dipahami. Semua pekerjaan, profesi dan jabatan kecuali pertimbangan dan dimensi pribadi juga mempunyai dimensi kemasyarakatan. Tetapi pastilah berbeda pertimbangan, dimensi serta implikasi dan konsekuensinya, apakah seseorang memilih sebagai ilmuwan, sebagai pebisnis atau sebagai politikus. Di masa lampau, ketika ekonomi pasar dan konsumerisme global dan lokal belum semerajalela sekarang, pilihan-pilihan lebih sederhana. Tetapi betapapun zaman berubah, terutama dengan merajalelanya konsumerisme dan materialisme kapitalis, toh pilihan-pilihan itu tetap memiliki konsekuensi dan implikasi masing-masing. Termasuk tentu saja anugerah, imbalan serta pengakuannya. Kalau Hatta memilih sebagai pedagang, ia pun akan berhasil amat jauh. Tetapi dengan sadar, sejak muda, ia memilih bidang lain. Bidang pengabdian politik untuk memerdekakan bangsa dan negaranya, untuk mendidik dan mencerahkan rakyat, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial. Memang lebih berat pilihan menempuh jalur pengabdian politik untuk zaman sekarang. Tetapi, pilihan toh sukarela. Bisa saja, jalur tidak selalu merupakan pilihan yang dipilih secara sadar sejak semula. Apalagi dalam masa peralihan yang berpancaroba, jalur bisa karena untung-untungan. Tetapi, begitu atau pilihan sadar atau koinsidensi membawanya, harus dipahami dan disadari pilihan jalur politik, kepemimpinan politik pada semua jenjangnya, apalagi pada jenjang–jenjang tinggi, membawa konsekuensi dan implikasinya. Tentu saja, kebanggaan, imbalan, pengakuan bahkan fulfillment, pemunculan diri dalam pekerjaannya, tetapi ada. Berbeda, tetapi ada dan semuanya membanggakan Pada Hatta dan pemimpin sezamannya, pilihan dibuat sejak muda. Otaknya cerdas. Ketekunannya luar biasa. Mengapa rencana studinya di Belanda yang direncanakan 5 tahun molor menjadi 11

tahun? Ia sibuk memimpin Perhimpunan Indonesia, organisasi orang-orang muda Indonesia yang belajar di Belanda. Ia menghadiri konferensi internasional di mana-mana di Eropa, memperkenalkan cita-cita, perjuangan, dan tujuan Indonesia Merdeka. Ia sekaligus lewat tulisan dan diskusi, merumuskan tujuan Indonesia Merdeka, falsafah Indonesia Merdeka. Ia membina lewat Perhimpunan Indonesia dan forum lain, terwujudnya Indonesia Baru, yang merdeka, berkedaulatan rakyat, adil-makmur, maju, terbuka, hadir secara independen dan aktif dalam pergaulan bangsa-bangsa. Pilihan sejak muda dan karena itu juga konsekuensinya, yakni persiapan sejak muda, itulah pelajaran lain dari sosok Hatta bagi generasi muda Indonesia. Tidaklah berarti, tidak terbuka pilihan yang menyusul kemudian, tetapi pilihan kemudian pun, harus dipahami konsekuensi, implikasi serta tuntutannya. Bung Karno amat kuat karismanya apalagi untuk rakyat banyak. Bung Hatta bukannya sosok tanpa karisma. Karismanya terhadap rakyat banyak tidak sekuat Bung Karno, tetapi terhadap setiap lingkungannya otoritas dan kredibilitas Hatta terasa. Karisma itu terpancar dari sosok pribadinya yang berintegritas tinggi serta kompeten. Bung Hatta percaya kepada rakyat. Karena itu, ia konsisten dan konsekuen menegakkan Kedaulatan Rakyat. Ia pun sadar, rakyat perlu dididik. Dididik untuk membaca dan menulis agar terbuka pintu untuk menimba pengetahuan dan pengalaman. Seperti pemimpin pergerakan lainnya, ia mengajar di sekolah, terutama ia juga mengajar lewat media seperti Daulat Rakyat serta pendidikan kader. Meskipun caranya tidak se-vokal Bung Karno, Hatta pun mementingkan pendidikan karakter rakyat. Mandiri, tahu hak dan kewajiban, mau mengambil tanggung jawab. Dipengaruhi serta dicerahkan lewat pendidikan dan pergaulannya selama 11 tahun sudi dan bergerak di Eropa, Bung Hatta juga sampai pada pemahaman, Indonesia Merdeka bukan saja dalam makna politik, tetapi juga ekonomi, sosial dan budaya. Bung Hatta berulangkali memperingatkan kemungkinan jebakan feodalisme, maka ia pun terus-menerus memperjuangkan demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat. Sejarah katanya tidak kenal andaikata. Namun sebagai bahan pelajaran dan pengalaman, bukankah Indonesia akan lain fase perkembangnnya, andaikata Bung Karno sebagai Presiden dan pemimpin bangsa serta Hatta sebagai juga pemimpin dengan menyelenggarakan pemerintah. Yang kemudian tidak tersentuh, bahkan tumbuh sebagai jebakan baru adalah proses emansipatoris bangsa dalam bidang sosial dan budaya, terutama dalam kaitannya dengan bangkitnya lagi feodalisme, baik kultur maupun strukturnya. Dalam alam dan suasana itu, baik ekonomi etatisme maupun ekonomi pasar tidak sanggup menghasilkan kemakmuran yang merata bagi rakyat. Yang dihasilkan baik dalam ekonomi etatisme maupun dalam ekonomi pasar adalah kemakmuran untuk orang-seorang yang berada dalam kekuasaannya dan lingkungannya serta kesenjangan besar bagi rakyat banyak. Bung Hatta terpanggil untuk pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial yang memperbaiki dan meratakan kemakmuran kepada rakyat, memilih jalan koperasi. Tetapi koperasi yang dipilihnya adalah gerakan koperasi di negara-negara Skandinavia. Negara-negara itu bukan berekonomi negara seperti negara-negara komunis. Negara-negara itu, seperti berkembang lebih nyata di kemudian hari, mengacu kepada kerangka referensi ekonomi masyarakat, sebutlah ekonomi pasar sosial. Lagipula, betapapun dimensi politik dalam arti mandat keadilan sosial adalah kental pada ekonomi koperasi, tetapi gerakan itu adalah gerakan dan disiplin sosial ekonomi. Inilah yang juga disalahartikan ketika koperasi diterapkan di negeri kita. Akhirnya sampai sekarang ini, koperasi lebih merupakan lembaga dan gerakan yang kosong dan tidak memadai hasilnya. Bahkan juga terkena imbas salah guna kekuasaan dan kesempatan. Koperasi lebih menyuburkan pengurus daripada anggotanya. Mengapa sosok kepemimpinan Hatta sangatlah relevan dan aktual untuk menumbuhkan kepemimpinan serta menjawab tantangan masa kini? Karena amatlah jelas, contoh, teladan pimpinan yang kecuali cerdas, cakap, efektif juga bersosok asketis amatlah diperlukan kini dan mendatang. Adalah teladan yang ibaratnya dapat menggerakkan gunung dewasa ini. Di mulai dari pimpinan yang menyinarkan teladan. Segera diikuti oleh suatu kecerdasan dan kecakapan, bahwa untuk memimpin atau menyelenggarakan pemerintah di Indonesia yang berpenduduk besar; berkepulauan majemuk serta mengalami krisis dan pancaroba sekarang ini, diperlukan Tim. Tim pemerintah dan pemerintahan. Orang-orang bersosok, berkarakter, memiliki kecerdasan dan kecakapan dalam bidangnya yang bekerja sama, menggerakkan roda pemerintahan sehingga tidak sekedar omong dan rapat, tetapi “get things done” terlaksana. Sosok Hatta yang kecuali cerdas dan cakap juga efektif, karena ketekunannya, karena mau mengontrol dan mau check and recheck. Menggerakkan bahkan turun kelapangan secara langsung dan tidak langsung. Karena kehabisan akal, dewasa ini, amat sering kita dengar pernyataan dari mana mulai dan bagaimana? Mengacu kepada Hatta, amatlah jelas jawabannya, mulai dari diri sendiri, bahkan padanya mulai dari diri sendiri secara konsisten dan konsekuen melawan arus. Mulai dari lingkungan masing-masing. Tidak saling menunggu, justru saling mendahului. Di mana rakyat berada dan apa peranannya? Sekali lagi, terutama mengingat kondisi kita dewasa ini, pemimpin dan pemerintahlah yang harus memulai dengan memberi contoh yang efektif. Tetapi, sesuai dengan prinsip Kedaulatan Rakyat serta sesuai dengan tanggung jawab yang juga bergeser kepada publik, masyarakat pun terpanggil mengambil tanggung jawab lebih besar dan lebih efektif. Bukan sekadar melek huruf yang merupakan pendidikan rakyat, kata Bung Hatta, tetapi bahkan juga terutama karakternya. Karakter rakyat. Apakah untuk zaman kita, pendidikan karakter rakyat sama atau kental konotasinya dengan pendidikan masyarakat kewargaan, masyarakat madani, civil society? Kertas dan karya para Founding Fathers negara lain seperti Amerika Serikat, dikumpulkan dan diterbitkan. Bukan untuk disimpan dalam museum, tetapi untuk bekal pelajaran sejarah dan untuk terus dikembangkan, dikaji ulang serta diperkaya untuk menjawab perkembangan dan tantangan zaman. Seratus tahun Bung Hatta tahun 2002, Seabad Bung Karno tahun 2002, mengapa tidak menjadi momentum untuk pekerjaan besar dan pekerjaan bersejarah itu. Jakob Oetama Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Bung Hatta, Penerbit Buku Kompas, Oktober 2003