HUKUM PERKAWINAN ADAT
Sejarah dan Pendapat-Pendapat Hukum Perkawinan Sejarah dan Pendapat-Pendapat I. Didalam membicarakan sejarah, dapat kita mengambil kitab dari Prof. Elwood di dalam kitabnya “The Psychology Of Human Society” yang menyatakan bahwa kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai suatu tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih tersusun dari unsur-unsur keharusan biologis, sehingga merupakan elemen untuk hidup berkelompok yaitu : - dorongan untuk makan, - dorongan untuk mempertahankan diri, - dorongan untuk melangsungkan jenis. II. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Aristoteles, bahwa manusia adalah zoon politicon (makhluk sosial). Dengan demikian tegaslah bahwa perkawinan adalah merupakan peristiwa penting untuk kehidupan individu maupun masyarakat maupun bangsa. III. Hal tersebut juga dinyatakan dengan tegas oleh Plato di dalam eugenetiknya (ilmu perbaikan keturunan), dimana Plato menyatakan bahwa wanita-wanita yang baik agar dikawinkan dengan pria yang baik supaya mendapat keturunan yang baik pula. Baik disini tidaklah baik dalam arti fisik, akan tetapi baik dalam arti ilmu.
IV. a. Pendapat Prof. Dr. Steinmetz yang menyatakan “amat disayangkan sekali bahwa para rama dan para suster tidak diperbolehkan kawin, sehingga mereka tidak mempunyai keturunan”. Sedangkan mereka sebenarnya adalah orang-orang pilihan. V. Sebagai analog eugenetik Plato, maka pada masa sekarang banyak terjadi kunstmatige inseminatie (insiminasi buatan). Arti Insiminasi buatan adalah : pembuahan tidak dengan persetubuhan. VI. Persoalan perkawinan adalah lebih merupakan persoalan psikhis/kejiwaan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam hal-hal sebagai berikut :
Di dalam BW diakui adanya perkawinan in extremis yang berarti perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah lanjut usianya ataupun dimana salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia. Dalam falsafah orang Jawa, dalam mengambil menantu, suami ataupun isteri diambil sebagai patokan ialah : bibit, bebet dan bobot. Bibit berarti : keturunan dari orang baik-baik ditinjau dari sudut kejiwaan. Bebet berarti : jika seorang wanita adalah wanita yang suci, dan jika seorang pria yang gagah perkasa berarti pria yang berani bertanggung jawab. Bobot berarti : diambil dari orang yang berbudi pekerti
Menurut hukum adat perkawinan adalah urusan individu, urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat maupun urusan derajat satu sama lain dengan hubungannya yang sangat berbeda-beda. Pengertian Perkawinan menurut hukum agama adalah perbuatan yang suci (sakramen) yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumahtangga serta berkerabat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Menurut Hukum Islam, Perkawinan adalah perikatan antara wali perempuan (calon isteri) dengan calon suami perempuan itu. Menurut Hukum Kristen Katolik, Perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali. Menurut Hukum Hindu, Perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu.
Menurut Hukum Agama Budha yang merupakan Keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977, Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri yang berlandaskan cinta kasih (metha), kasih sayang (karunia), dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkati oleh Sangyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa.
Hukum Perkawinan Adat Perkawinan dlm Hukum Adat meliputi kepentingan dunia lahir dan dunia gaib. HAZAIRIN: Perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan untuk perbuatan menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.
A. Van Gennep Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan) peralihan status kedua mempelai. Peralihan ini terdiri 3 tahap: - rites de separation - rites de merge - rites de aggregation
Djojodigoeno: Perkawinan merupakan suatu paguyuban atau somah (Jawa: keluarga), dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya, sebagai suatu ketunggalan Cth: Adanya harta gono-gini, adanya istilah garwa (Jawa), adanya perubahan nama setelah kawin menjadi nama tua
PERTUNANGAN Suatu fase sebelum perkawinan, dimana pihak laki-laki telah mengadakan prosesi lamaran kepada pihak keluarga perempuan dan telah tercapai kesepakatan antara dua belah pihak untuk mengadakan perkawinan. Pertunangan baru mengikat apabila pihak laki-laki telah memberikan kepada pihak perempuan tanda pengikat yang kelihatan (Jawa: peningset atau panjer).
Beberapa alasan / motif pertunangan: - Ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki dapat berlangsung dalam waktu dekat. - Untuk membatasi pergaulan pihak yang telah diikat pertunangan - Memberi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk lebih saling mengenal
Kedua belah pihak telah terikat untuk melangsungkan perkawinan Akibat pertunangan: Kedua belah pihak telah terikat untuk melangsungkan perkawinan Tetapi, walaupun sudah terikat dalam pertunangan bukan berarti kedua mempelai harus melaksanakan perkawinan. Tetap dimungkinkan terjadinya pembatalan pertunangan
Kemungkinan pembatalan pertunangan: 1. Oleh kehendak kedua belah pihak 2. Oleh kehendak salah satu pihak - Jika dilakukan pihak yang menerima tanda tunangan, mengembalikan tanda tunangan sejumlah atau berlipat dari yang diterima. - Jika dilakukan pihak yang memberi tanda tunangan, tanda tunangan tidak dikembalikan. Perkawinan tanpa pertunangan: - kawin lari - kawin rangkat
PERKAWINAN dan Sifat Genealogis Perkawinan dlm sistem PATRILINEAL Perkawinan dlm sistem MATRILINEL Perkawinan dlm sistem PARENTAL
1. Perkawinan Patrilineal Perkawinan dengan pembayaran “JUJUR” Jujur sebagai tanda diputuskannya hubungan si isteri dengan persekutuannya Setelah perkawinan, si isteri masuk sepenuhnya ke dalam keluarga / persekutuan si suami Sistem pembayaran jujur: - Secara kontan - Dibayar dikemudian hari - Tidak dibayar
(Bali: “Nunggonin,” Batak: “Mandinding.”) Jika Jujur dibayar di kemudian hari: (Bali: “Nunggonin,” Batak: “Mandinding.”) Hubungan antara menantu laki-laki dengan keluarga isteri seperti “buruh” dan “majikan”. Si laki-laki harus memberikan jasanya pada keluarga mertuanya, tetapi ia tidak masuk ke keluarga isterinya (tetap sebagai anggota persekutuan asalnya) Selama jujur belum dibayar, anak yang lahir akan masuk menjadi anggota persekutuan keluarga isteri.
Jika jujur telah dibayar, anak-anak setelah pembayaran jujur tersebut masuk ke keluarga laki-laki Jika jujur tidak dibayar: Dimaksudkan agar si laki-laki masuk ke keluarga isteri Sehingga anak yang dilahirkan nanti menjadi penerus keturunan /clan dari bapak mertua laki-laki tersebut.
Dalam perkawinan sistem patrilineal dikenal kawin ganti suami (levirat)/ kawin ganti isteri (sororat) Jika suami mati, maka si isteri yang menjada harus kawin lagi dengan saudara almarhum suaminya, atau jika si isteri mati maka si suami harus kawin dengan saudara almarhum isterinya
Perbedaan Jujur dan mas kawin/mahar Konsep adat Kewajiban kerabat pria yang dilakukan pada saat pelamaran kepada kerabat wanita untuk dibagikan kepada marga pihak perempuan Dilakukan pada saat pelamaran Tidak bisa dihutang Konsep Islam Kewajiban mempelai pria kepada mempelai wanita (individu) Dilakukan setelah akad nikah Bisa dihutang
2. Perkawinan Matrilineal Merupakan kebalikan perkawinan jujur Dilakukan dalam rangka mempertahankan keturunan pihak isteri Pihak pria tidak membayar jujur kepada pihak perempuan, bahkan untuk daerah Minagkabau proses pelamaran dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki.
Suami turut berdiam di rumah isteri dan keluarga isteri. Tetapi suami tidak masuk ke dalam keluarga isterinya, melainkan tetap masuk keluarganya sendiri. Anak-anak keturunan dari perkawinan tersebut nantinya akan masuk ke dalam clan isterinya, dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
3. Perkawinan Parental Si suami masuk ke dalam keluarga isterinya, dan sebaliknya. Sehingga akibat adanya perkawinan, baik suami maupun isteri menjadi mempunyai dua kekeluargaan. Dikenal pemberian hadiah perkawinan dr pihak laki-laki kepada pihak perempuan, tetapi bukan berfungsi sebagai jujur melainkan lebih kepada sumbangan biaya perkawinan dari pihak laki-laki.
SISTEM PERKAWINAN Ada tiga macam: 1. Sistem Endogami (Berlaku di daerah toraja) 2. Sistem Eksogami (Gayo, Alas, Tapanuli, Minagkabau, Sumatera Selatan, Buru, dan Seram). 3. Sistem Eleutherogami (Paling banyak diterapkan di daerah-daerah di Indonesia
UU No. 1 Th 1974 Perkawinan diatur secara unifikasi Hukum adat tentang perkawinan dikesampingkan, karena yang digunakan adalah hukum agama (psl 2 ayat 1) Perkawinan dikonsepkan sebagai suatu perjanjian (psl 6 ayat 1)
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 menyebutkan : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang maha Esa. Hal ini sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang mengusulkan agar di dalam perkawinan membentuk suatu brayat dan menimbulkan harta bersama. .
ALASAN BPHN 1. Ada perkawinan yang tidak membentuk brayat, yaitu : di Jawa Barat adanya perkawinan yang disebut : nyalindung kagelung manggih koyo di Jawa Tengah masih banyak juga adanya perkawinan yang disebut selir dan gundik. di dalam mastarakat patrilinial di Batak masih adanya perkawinan amani manu di masyarakat matrilinial masih adanya perkawinan bertandang 2. Timbulnya vergesellschaftung dari keluarga Akibat-akibat dari vergesellschaftung yang tidak baik bagi individu maupun masyarakat adalah angka perceraian naik dan banyak anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain dinyatakan, bahwa: - usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. - Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. - Bahkan bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orangtuanya. - Perkawinan harus dicatatkan, yang tujuannya adalah agar peristiwa perkawinan menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi warga masyarakat pada umumnya.
HARTA PERKAWINAN UU 1 / 74: Psl 35-37 Terdiri dari (psl 35): 1. Harta bersama 2. Harta bawaan Harta bersama Adalah hak bersama suami dan istri, digunakan atas perjanjian kedua belah pihak. (Psl 36 ayat 1) Harta bawaan Hak sepenuhnya masing2 pihak (Psl 36 ayat 2)
Menurut Konsep Hk Adat Harta Perkawinan: 1. Harta Bersama / Harta Pencarian (Jawa: harta gono-gini, Minangkabau: harta suarang, dll) Meliputi segala kekayaan yang diperoleh suami atau isteri atau kedua-duanya secara bersama-sama, selama berlangsungnya perkawinan. 2. Harta Bawaan / Harta Asal (Jawa: gawan, Lampung: sesan, dll) Meliputi: harta / barang yg diperoleh suami / istri sebelum mereka menikah, harta / barang yang diperoleh dari warisan atau hibah. 3. Harta Pusaka / Harta peninggalan (hny utk daerah tertentu, spt: Batak, Minangkabau) Penguasaan harta perkawinan bergantung sistem kekerabatannya.
Masyarakat Patrilinieal: Istri kedudukannya tunduk pada hukum kekerabatan suami Shg semua harta perkawinan dikuasai oleh suami Tidak ada pemisahan harta yang penguasaannya berbeda-beda Semua harta, meliputi harta pencarian (bersama), harta bawaan (harta hasil warisan dan hadiah), hingga harta pusaka (harta peninggalan) penguasaannya (hak mengaturnya) dipegang oleh suami.
Masyarakat Matrilineal: “Harta tepatan tinggal, harta pembawaan kembali, harta suarang dibagi, harta sekutu dibelah.” Terdapat pemisahan kekuasaan thd harta perkawinan. Harta pusaka adalah harta milik bersama kerabat, penguasaannya dipegang oleh Mamak Kepala Waris. Suami atau istri hanya mempunyai hak pakai saja (cth: hak utk mengusahakan dan menikmati hasil panen dari tanah pusaka, hak mendiami rumah gadang) dan bukan memilikinya Harta bersama (harta suarang) dikuasai secara bersama oleh suami dan istri Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing.
Masyarakat Parental: Kedudukan suami – istri sejajar Hanya dibagi menjadi: harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama dikuasai bersama untuk kepentingan bersama Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing
lembaga keluarga : merupakan kesatuan sosial yang terkecil yang terdiri dari suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin, dimana suami isteri tersebut dibenarkan atau disahkan untuk mengadakan hubungan kelamain oleh masyarakat. Fungsi sosial keluarga yaitu untuk reproduksi (melanjutkan keturunan), kerjasama ekonomi rumah tangga, edukatip (pendidikan) dan hubungan emosional anggota keluarga.
Bentuk-Bentuk Perkawinan Bentuk perkawinan jujur (bride gilt marriage) Bentuk perkwainan semendo (suitor service marriage) Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage) Bentuk-bentuk perkawinan yang sampai saat ini masih hidup Perkawinan Pinang. Perkawinan levirat. Perkawinan lari.
Adat Menetap Sesudah Perkawinan Pola Ambilokal atau Utrolokal Yang memberikan kebebasan untuk memilih tempat tinggal, setelah perkawinan kepada masing-masing pihak. Pola Patrilokal atau Virilokal Yang menentukan keharusan pasangan suami isteri menetap di lingkungan kediaman keleuarga suami. Pola Matrilokal atau Uxorilokal Yang menentuikan keharusan pasangan suami isteri menetap di lingkungan kediaman keluarga isteri. Pola Bilokal Yang menentukan bahwa yang bersangkutan untuk waktu tertentu harus tinggal di lingkungan keluarga suami dan untuk masa-masa tertentu pula harus tinggal di lingkungan keluarga isteri.
Pola Neolokal Yang mengharuskan kepada pasangan suami isteri untuk mencari tempat tinggal baru yang berada di luar lingkungan keluarga pihak suami maupun pihak isteri. Pola Avunkulokal Yang menetapkan bahwa pasangan suami isteri harus bertempat tinggal di kediaman saudara laki-laki dari ibu suami. Pola Natolokal Yang menentukan bahwa pasangan suami isteri harus tinggal terpisah, yaitu suami di tempat kerabat suami dan isteri di kerabat isteri.
Larangan Perkawinan (Pasal 8 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri. Berhubungan susuan, yaitu antara yang bersangkutan dengan orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi paman susuan. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang . mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
LARANGAN TERTENTU DI DAERAH JAWA Pria dengan saudara sepupu ayahnya. Pria dengan saudara perempuan ayah atau ibunya. Pria dengan seorang wanita yang adalah kakak dari isteri kakak kandungnya (yang lebih tua). Inilah yang lazimnya disebut sebagai “dadung kepuntir”. Pada dasarnya larangan-larangan dalam melakukan perkawinan bertujuan utama untuk mencegah terjadinya incest.
Yang dapat mencegah perkawinan adalah : para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah. saudara. wali nikah. Wali. pengampu dari salah seorang calon mempelai. pihak-pihak yang berkepentingan pejabat yang ditunjuk.
Yang dapat mengajukannya pembatalan : para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suamiatau isteri suami atau isteri. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. pejabat yang ditunjuk. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi setelah perkawinan itu putus
Perkawinan Yang Dilarang Nikah Mut’ah Nikah yang tujuannya tidak untuk selamanya. 2. Nikah Muhallil Pernikahan antara laki-laki dengan seorang wanita yang telah ditalak tiga Nikah Tafwidh Nikah yang tidak dinyatakan kesediaan membayar mahar (mas kawin) Nikah Syighar Nikah tukar menukar calon suami istri yang berrada di bawah perwaliannya.
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang yang lain Keturunan dapat bersifat : Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain, misalnya antara bapak dan anak, antara kakak, bapak dan anak. Disebut lurus ke bawah kalau rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek. Menyimpang atau bercabang, apabila antara ke dua orang tua atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek-nenek dan lain sebagainya.
Derajat Kekerabatan Masyarakat Jawa saudara kandung (keturunan derajat pertama) saudara misan (satu kakek dan nenek) saudara mindo (kakek dan nenek ke dua) cucu (keturunan derajat ke dua) buyut (keturunan derajat ketiga) canggah (keturunan derajat ke empat) wareng (keturunan derajat ke lima) udeg-udeg gantung siwur (keturunan derajat ke enam) petarangan bubrah (keturunan derajat ketujuh)
Hubungan kekeluargaan merupakan faktor yang sangat penting dalam : Untuk kepentingan keturunan, dibuatlah “silsilah” yaitu suatu bagan dimana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami/isteri, baik yang lurus ke atas, lurus ke bawah maupun yang menyimpang. Hubungan kekeluargaan merupakan faktor yang sangat penting dalam : Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami-isteri (misalnya : terlalu dekat, adik kakak sekandung dan lain sebagainya); Masalah waris, hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta peninggalan.
ANAK KANDUNG DAN ANAK SAH Anak kandung berorientasi pada konsep biologis, yang artinya adalah anak yang beribu wanita yang melahirkannya dan berayah laki-laki suami ibunya dan yang penyebab kelahiran dia. Anak Sah berorientasi pada konsep yuridis, artinya adalah anak yang lahir selama dan sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pengertian Anak Luar Kawin Atau Anak Tidak Sah (anak kampang, anak haram jadah, anak kowar), Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi pernikahan; Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya; Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah; Anak dari kandungan ibu karena dberbuat zina dengan orang lain; Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa ayahnya.
Akibat-akibat Hukum Dari Hubungan Antara Orang Tua Dengan Anak larangan perkawinan antara anak dengan orang tuanya (antara anak laki-laki dengan ibunya, antara anak perempuan dengan ayahnya). kewajiban orang tua untuk mengurus anak-anaknya. pada perkawinan anak perempuan, ayah menjadi wali.
1. Pengangkatan Anak : Seorang anak yang bukan anak kandung dari suami isteri, tetapi lahir batin dianggap sebagai anak kandung sendiri. 2. Anak Peliharaan : Seorang anak yang dipelihara oleh suatu keluarga, hanya dengan dasar kasihan. 3. Quasi Adopsi : Seorang anak yang lahirnya sama dengan hari dan wetonnya dengan salah satu orang tuanya, maka dalam suatu upacara adat anak tersebut diberikan kepada salah seorang keluarga, namun setelah upacara anak tersebut dikembalikan kepada orang tua asli.
Motivasi Pengangkatan Anak Untuk meneruskan silsilah, Tidak mempunyai keturunan, Untuk memancing lahirnya anak, Karena kasih sayang dan ingin menolong (rasa kekeluargaan dan perikemanusiaan),
Proses Pengangkatan Anak Pengangkatan anak secara diam-diam Pengangkatan anak secara terang - Non Yudiciil - Yudiciil - Pengesahan anak angkat - Pengangkatan anak
Akibat Hukum Pengangkatan Anak Pada masyarakat patrilinial : hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya secara kelembagaan menjadi putus. Si anak angkat menjadi masuk ke dalam marga orang tua angkatnya, sehingga anak angkat tidak mewaris dari harta peninggalan orang tua kandungnya. Pada masyarakat parental : Secara kelembagaan masih ada hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya (masih memiliki dua orang tua), oleh karena itu si anak angkat mengambil air dari dua sumber yaitu dari orang tua angkatnya dan orang tua kandungnya.
Kedudukan Hak Mewaris Anak Angkat Anak angkat memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung. Anak angkat menjadi ahli waris bersama dengan anak kandung terhadap harta bersama orang tua angkatnya Anak angkat berhak mewaris terbatas pada harta gono-gini (harta bersama). Anak angkat tidak berhak mewaris terhadap harta pusaka (asli). Anak angkat bisa menutup hak mewaris ahli waris asal
Kep. Menteri Sosial R.I. No. 41/HUK/KEP/VII/1984 Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia 1. Calon Orang tua angkat : a. berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun; b. selisih umur antara calon orang tua angkat dengan calon anak angkat minimal 20 tahun c. pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun dengan mengutamakan yang keadaannya sebagai berikut : - tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter ahli), atau - belum mempunyai anak atau - mempunyai anak angkat seorang dan mempunyai anak kandung
d. dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenang, serendah rendahnya lurah/kepala desa setempat. e. berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari KepolisianR.I. f. dalam keadaan sehat jasmani dan rokhani berdasarkan surat keterangan dokter Pemerintah. g. mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak. Calon Anak Angkat : a. berumur kurang dari 5 (lima) tahun. b. persetujuan tertulis dari Pemerintah negara asal calon anak angkat. c. berada dalam asuhan organisasi sosial.
PERCERAIAN Dalam pandangan adat adalah suatu hal yang semaksimal mungkin harus dihindari. Masyarakat patrilineal cenderung tdk mengenal (mengharamkan sama sekali) perceraian Sebab-sebab dimungkinkannya perceraian: Istri berzinah Ketidakmampuan istri/suami untuk menghasilkan keturunan Suami meninggalkan isteri dalam waktu yang sangat lama /isteri berkelakuan tidak sopan Adanya kesepakatan bersama untuk bercerai
PERCERAIAN Putusnya perkawinan pada umumnya disebabkan karena dua sebab, yaitu cerai mati dan cerai hidup. Cerai hidup mungkin disebabkan karena beberapa hal : isteri berzinah. tidak ada keturunan karena permufakatan karena isteri meninggalkan suaminya untuk kemudian tinggal di tempat kediaman keluarganya.
ALASAN PERCERAIAN a. Salah satu pihak (suami atau isttri) berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya, perbuatan yang buruk yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama (lima) 5 tahun atau hukuman yang lebih berat. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. f. Antara suami istri, terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul; h.Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga.
TATA CARA PERCERAIAN Talak Talak ialah pembubaran ikatan perkahwinan dengan lafaz talaq. Penceraian boleh dilakukan dengan lafaz soreh (jelas) dan lafaz Kinayah (sindiran). Ta’lik Talak Ta'liq artinya perjanjian yang dibuat oleh suami selepas akad nikah . Cerai ta'liq boleh dilakukan apabila berlaku pelanggaran atas ta'liq dan setelah gugatan dibuat serta disahkan oleh Pengadilan. 3. Khuluk Perceraian tebus talaq ialah satu perceraian yang diminta oleh isteri kepada suaminya dengan memberi uang atau harta benda sebagaimana yang dipersetujui melalui ijab dan qabul. Cerai Khulu' adalah merupakan cerai bain sughra dan tidak boleh dirujuk melainkan dengan akad dan mas kahwin yang baru.
4. Fasah Fasakh ialah pembubaran perkahwinan disebabkan oleh sesuatu perkara yang diharuskan oleh Hukum Syara'. Di antara perkara- perkara yang mengharuskan Fasakh ialah apabila suami atau isteri: - Tidak diketahui di mana mereka berada selama waktu lebih daripada satu tahun. - Tidak mengadakan peruntukan nafkah isteri selama waktu 3 bulan. - Telah dihukum penjaran selama waktu tiga tahun atau lebih. - Tidak menunaikan tanpa sebab nafkah batin selama setahun. 5. Anggapan Mati Anggapan mati ialah apabila suami telah mati atau dipercayai telah mati atau telah tidak didapati apa-apa kabar mengenai diri suami selama wktu 4 tahun atau lebih. Apabila keadaan itu berkelanjutan dan isteri itu hendak kawin lagi hendaklah mendapatkan pengesahan anggapan mati dari Pengadilan.
Akibat Perceraian terhadap Harta Perkawinan Harta Bersama Harta bersama diatur menurut hukum masing-masing (hk Islam, Adat, atau B.W) (Pasal 37) Dlm masyarakat patrilineal tdk mengenal perceraian, shg jk tjd mrp pelanggaran adat, shg istri tdk berhak menuntut bagian harta bersama (maupun jg thd harta bawaannya) Pada masyarakat parental, dan pada umumnya, harta bersama dibagi antara kedua belah pihak, masing-masing separuh. Jika salah satu pihak meninggal berada di bawah kekuasaan pihak yg masih hidup, utk kemudian diwariskan kpd anak-anaknya. Jk tdk ada anak, dibagikan kpd kerabat pihak yg meninggal.
Aspek Perkawinan 1. Aspek Hukum Perkawinan diwujudkan dalam bentuk akad yang merupakan perjanjian yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. 2. Apek Sosial Sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berbeda mempunyai rasa tertarik untuk mengenalnya, mencintai bahkan untuk hidup bersama. Dengan perkawinan berakibat penting dalam masyarakat yaitu dengan keturunan yang pada akhirnya membentuk keluarga yang merupakan bagian masyarakat. 3. Aspek Keagamaan Antara individu dengan individu yang lainnya atau antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya tidak ada yang lebih atau kurang derajat kemanusiaannya. Yang menjadi ukuran, manusia mana yang lebih tinggi disisi Allah hanyalah ketaqwaannya atau kepatuhannya dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama Allah
Fakta hukum yang membuktikan telah terjadinya suatu perkawinan adalah suatu kejadian atau peristiwa hukum tertentu yang umumnya berupa perbuatan manusia yang dapat dijadikan patokan atau pegangan yang menguatkan bahwa suatu perkawinan antara dua orang tertentu memang telah terjadi sehingga secara yuridis telah mempunyai nilai keabsahan yaitu telah dicatat di Catatan Sipil bagi yang non muslim, ijab kabul bagi yang muslim dan rangkaian peristiwa dalam acara/upacara-upacara perkawinan dalam adat.
lembaga keluarga : merupakan kesatuan sosial yang terkecil yang terdiri dari suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin, dimana suami isteri tersebut dibenarkan atau disahkan untuk mengadakan hubungan kelamain oleh masyarakat. Fungsi sosial keluarga yaitu untuk reproduksi (melanjutkan keturunan), kerjasama ekonomi rumah tangga, edukatip (pendidikan) dan hubungan emosional anggota keluarga.
Hakekat Perkawinan Mengatur dan mengesahkan hubungan sex, Memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil hubungannya yaitu anak, Memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, Memenuhi kebutuhan akan harta, Memenuhi kebutuhan akan gengsi dan naik klas dalam masyarakat, Pemeliharaan hubungan baik antara kelompok kerabat Memenuhi kebutuhan sex.